Senin, 28 Mei 2012

Bom Waktu" Sengketa Lahan


Senin 28 Mei 2012
 Jakarta, Kompas -  Ratusan perambah di kawasan hutan Register 45 Mesuji, Lampung, hari Minggu (27/5) mengamuk. Mereka merusak fasilitas milik perusahaan pemegang hak pengelolaan hutan tanaman industri, PT Silva Inhutani Lampung.
Akibat aksi itu, kaca dan perlengkapan pos satuan pengamanan PT Silva Inhutani Lampung (SIL) di areal gerbang masuk Alba V rusak. Massa juga sempat mengancam akan membakar pabrik pengolahan minyak kelapa sawit milik PT Tunas Baru Lampung (TBL) yang berlokasi di dekat Register 45 Mesuji. Aktivitas di PT TBL terhenti.
”Pabrik diancam akan dibakar. Semua karyawan tidak bekerja dan menjaga pintu gerbang. Jika massa datang, kami akan mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan pabrik,” kata Suratno, karyawan PT TBL, seperti disebut dalam laporan Pemerintah Kabupaten Mesuji.
Bupati Mesuji Khamamik datang ke lokasi kerusuhan di Register 45 Mesuji. Dia mendesak polisi menindak perambah yang anarkistis. Aksi perambah itu menjadi ”balasan” setelah 20 rumah semipermanen milik perambah di kawasan eks Pelita Jaya atau Blok 28, yang masuk wilayah Register 45 Mesuji, Sabtu ditertibkan perusahaan. Sebagian perambah yang tidak menerima penertiban itu, bersama perambah dari kawasan lain, membalas dan merusak pos PT SIL.
Kepala Kepolisian Resor Persiapan Mesuji Ajun Komisaris Besar Nazaruddin membenarkan, PT SIL melakukan penertiban terhadap sebagian kecil perambah secara mandiri. Namun, jumlah perambah semakin bertambah menyusul mencuatnya konflik agraria di Mesuji akhir tahun lalu.
Ribuan sengketa lahan
Kekerasan dan anarkisme terkait sengketa lahan di Register 45 Mesuji, berdasarkan catatan Kompas, hanya satu dari ribuan kasus sengketa lahan di negeri ini. Kasus di Mesuji memang berulang kali meletup. Namun, bentrokan terkait penguasaan dan pemanfaatan lahan itu sebenarnya tidak hanya terjadi di Mesuji.
Minggu lalu, pekerja PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II di Deli Serdang, Sumatera Utara, terlibat bentrokan dengan warga Namo Rube Julu, Kecamatan Kutalimbaru. Konflik itu terkait kepemilikan lahan perkebunan tebu Sei Semayang. Lima warga dan 17 pekerja PTPN II terluka dan dilarikan ke rumah sakit.
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan, sampai 2011 terdapat 14.337 sengketa pertanahan dengan berbagai tingkatan. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum juga mencatat, pada September 2009-April 2011 ada 910 perkara sengketa tanah yang dilaporkan.
Sengketa lahan yang setiap saat bisa meledak menjadi aksi kekerasan dan anarkisme, bahkan gangguan sosial, terjadi di hampir seluruh Indonesia. Di Sumut saja, dalam kurun 2005-2011 terjadi 2.833 kasus konflik lahan. Data dari Polda Sumut menunjukkan, konflik lahan terjadi hampir merata di wilayah provinsi itu.
Konflik karena persoalan lahan sering terjadi di Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Simalungun, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, dan Mandailing Natal. Konflik itu biasanya terjadi antara warga dan perambah dengan PTPN dan perusahaan perkebunan swasta. Konflik yang mencuat berupa perusakan, pembakaran fasilitas perusahaan dan rumah, serta pembunuhan.
Di Kalimantan Barat, menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalbar, konflik akibat sengketa lahan terjadi di hampir semua kabupaten di provinsi itu. Konflik itu antara lain terjadi di Bengkayang, Sintang, Ketapang, Sanggau, Kapuas Hulu, Landak, Kubu Raya, dan Sambas. Konflik umumnya terjadi karena penduduk merasa lahan yang mereka miliki secara turun-temurun diambil alih perusahaan untuk kebun kelapa sawit.
Konflik misalnya terjadi di Desa Seruat Dua, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, yang melibatkan warga dan PT Sintang Raya (SR). Masyarakat mengklaim, hutan adat seluas 700 hektar dari total 900 hektar diserobot PT SR. Hutan adat yang bersebelahan dengan kawasan kelola PT SR kini sudah gundul dan ditanami bibit kelapa sawit. Namun, Manajer PT SR Jhony membantah, pihaknya menyerobot hutan adat milik desa itu.
Dari Jawa Timur, Kepala BPN Kabupaten Jember Raharjo Sanyoto mengakui, sampai saat ini masih ada enam lahan hak guna usaha (HGU) yang dikuasai perusahaan swasta, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah yang bersengketa dengan warga. Banyak warga tak punya bukti kuat untuk penguasaan lahan HGU itu. Mereka mengaku bukti itu dimusnahkan pemerintah Hindia Belanda atau pemerintah Orde Baru.
Sengketa lahan di Jember diwarnai penangkapan warga oleh Polres Jember. Lima warga ditahan karena dituduh merusak pohon karet milik PT Hasfarm. Warga sebelumnya memaksa merebut lahan PT Hasfarm seluas 397 hektar, tetapi berbenturan dengan aparat.
Di Sumatera Selatan, warga juga menuntut lahan yang dikuasai PTPN VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir. Bahkan, aksi menuntut lahan itu, dengan melakukan pendudukan, pematokan lahan, hingga penutupan jalan perkebunan, dilakukan oleh warga dari 13 desa. Akibatnya, kata Kepala Bagian Humas PTPN VII Abdul Hamid, pabrik gula Cinta Manis berhenti giling dan merugi Rp 15,52 miliar.
Di Sumsel terdapat sekitar 30 sengketa lahan yang belum selesai. Ade Kurnia, Kepala Desa Karanganyar, Kecamatan Lawang Wetan, Kabupaten Banyuasin, misalnya, mengatakan konflik lahan di wilayahnya sudah lebih dari lima tahun belum selesai. Pemerintah tidak tegas. Warga desanya berebut lahan dengan PT Guthrie Pecconina Indonesia yang mengembangkan perkebunan kelapa sawit.
Meledak kapan pun
Bungaran Antonius Simanjuntak, antropolog dari Universitas Negeri Medan, mengingatkan, konflik antarwarga akibat sengketa lahan bisa meledak kapan saja. Konflik terjadi lantaran pemerintah dinilai tidak tegas dan cenderung membela pengusaha atau badan usaha. Rakyat dibiarkan tertindas.
Padahal, kata Bungaran, sebelum ada administrasi modern seperti sekarang, semua tanah itu milik rakyat. Mereka menandai batas tanahnya dengan menanam pohon atau kuburan. Lahan itu pada masa lalu direbut pemerintah dan diserahkan kepada pengusaha atau badan usaha.
Untuk itu, ia mengimbau agar pemerintah menelusuri sejarah setiap lahan yang menjadi pemicu konflik. Pendekatan jangan melulu administrasi karena banyak yang tidak jelas dan tumpang tindih.
Aktivis pertanahan Benget Silitonga mengatakan, konflik lahan tak akan selesai dengan damai jika pemerintah tetap mengedepankan sikap formal dan represif. Pemerintah perlu menginisiasi musyawarah di luar jalur hukum.
(AHA/BIL/HAM/IRE/UTI/MHF/RAZ/HAN/SIR/JON)

Tidak ada komentar: