Sabtu, 29 September 2012

Organised crime behind up to 90 percent of tropical deforestation

Thu, 27 Sep 2012 13:00 GMT
Source: alertnet // Thin Lei Win
By Thin Lei Win

BANGKOK (AlertNet) – Organised crime trade worth billions of dollars is responsible for 50 to 90 percent of illegal logging in parts of the Amazon basin, Central Africa and Southeast Asia, with implications for deforestation, climate change and the well-being of indigenous people, said a report released Thursday.
“Green Carbon: Black Trade,” by the United Nations Environment Programme (UNEP) and INTERPOL, said illegal logging is now worth $30 to $100 billion annually and accounts for 15 to 30 percent of the overall timber trade.
Most wood products with illegal origin are destined for China, while Japan, the EU and the United States are also primary importers.

“Illegal logging is not on the decline, rather it is becoming more advanced as cartels become better organised,” said the heads of UNEP and INTERPOL in the report’s preface.
Conflict, corruption, decentralised government structures and weak environmental laws fuel the practice, with criminal groups combining old-fashioned tactics such as bribes with high-tech methods including hacking government websites to obtain permits, said the report.
“Murder, violence, threats and atrocities against indigenous forest-living peoples,” also are problems associated with the trade, the report said.

Criminals are using an increasingly sophisticated range of tactics, the report said, from laundering illegal logs through a web of palm oil plantations and saw mills, to shifting activities between regions and countries to avoid local and international policing efforts.
An internationally coordinated law enforcement scheme and training effort – estimated to cost around $20 to $30 million annually – is essential to substantially reduce the crimes, the report said.
“As long as the profits in illegal logging remain high and the risks of getting caught are very low, there is little incentive to abandon illegal practices,” it warned.

UNDERMINING CLIMATE EFFORTS
Protecting forest is important for a range of reasons, from maintaining biodiversity and natural systems such as water filtration and consistent rainfall to protecting their ability to store carbon dioxide, one of the primary greenhouses gases emitted by burning fossil fuels and blamed for climate change.

Deforestation, largely of tropical forests in countries such as Brazil, Indonesia, Uganda and the Democratic Republic of Congo (DRC), is responsible for around 17 percent of all man-made emissions - larger than those emitted by ships, aviation and land transport combined, said UNEP.
Illegal deforestation also undermines attempts to mitigate climate change through programmes such as Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD+) which provides payments to forest countries and communities for conserving forests.

“Reducing deforestation, and especially illegal logging, is... the fastest, most effective and least controversial means to reduce global emissions of climate gases,” said the report.
A much-heralded apparent decline in illegal logging in the 2000s was only temporary, the report said, marking a shift from obvious activity to more advanced laundering operations. Those have included things such as criminals benefitting from tax fraud and misuse of government subsidies, the report said.

It described more than 30 ways of procuring and laundering illegal timber, including mixing illegally logged logs with legal ones and selling them as part of legal land clearing operations for palm oil or soy plantations.

“Much of the laundering of illegal timber is only possible due to large flows of funding from investors based in Asia, the EU and the US, including investments through pension funds,” the report said.

HUGE PROFITS
The illegal business is highly profitable, with revenues up to 5-10 times higher than legal timber cutting for all parties involved, including corrupt police and judicial figures. In most cases, governments, law enforcement officers and ordinary citizens are the losers.

In Indonesia, the amount of logs allegedly produced through plantations increased from 3.7 million cubic metres in 2000 to over 22 million in 2008, the report said. The UN Office on Drugs and Crime estimates that less than half of the plantations actually existed.

In the Democratic Republic of Congo, over 200 rangers in the Virunga National Park have been killed in the past 10 years defending the park boundaries against militias operating a charcoal trade estimated to be worth over $28 million annually.

“Demand for timber or wood products is rising in many countries, including China, which is expected to almost double its wood consumption by 2020,” the report said. World demand for timber is expected to increase by 70 percent by 2020, it said.

INTERPOL and UNEP are hoping a pilot project called LEAF (Law Enforcement Assistance for Forests) could be the answer.

The programme will provide assistance to INTERPOL member countries on a range of forest-related issues, including training in intelligence gathering and help building a structure and platform suitable to enforce national laws governing forestry and to meet international commitments such as REDD.

http://www.trust.org/alertnet/news/organised-crime-behind-up-to-90-percent-of-tropical-deforestation-report

*Pic: A tree stump sits in a clearing cut by a timber company next to the village of Areias in Trairao, in the Brazilian state of Para, on May 27, 2012. REUTERS/Nacho Doce

Kamis, 27 September 2012

Menengok Komitmen Reforma Agraria

Jurnal Nasional | Selasa, 25 Sep 2012
 
Usep Setiawan
 
KETIKA merayakan Hari Tani Nasional, 24 September 2012, fenomena konflik agraria belum juga berujung. Kuantitas maupun dimensinya kian berkecambah. Memanasnya konflik agraria di lapangan turut menaikkan tensi politik lokal, regional, sampai nasional. Konflik agraria pun berpotensi merongrong stabilitas sosial politik yang lebih luas.
Media massa kerap melaporkan, ibarat bom waktu, sengketa lahan di hampir seluruh Indonesia setiap saat bisa meledak menjadi aksi kekerasan, anarkisme, dan gangguan sosial. Menguatnya konflik agraria menantang untuk segera dicegah, ditangani, dan diselesaikan secara menyeluruh. Penanganan sporadis dan parsial sudah tak lagi efektif. Butuh terobosan, respons cepat, langkah akurat dan mendasar. 

Merujuk laporan pemantauan sejumlah lembaga (BPN, Komnas HAM, dan KPA: 2012), konflik atau sengketa agraria memanas terutama di wilayah-wilayah yang dikelola perusahaan besar di bidang kehutanan, perkebunan, dan pertambangan, baik milik swasta maupun negara. Sengketa kehutanan terjadi merata di hampir semua wilayah Indonesia.
Petani penggarap di sekitar kawasan hutan yang dikelola perusahaan kehutanan kerap menjadi korban. Latar belakang konflik kehutanan biasanya terjadi karena penetapan suatu areal sebagai kawasan kehutanan. Padahal areal-areal tersebut sudah menjadi wilayah kelola rakyat. Sengketa kehutanan juga menyeruak akibat desakan kebutuhan rakyat di sekitar kawasan hutan yang butuh ruang hidup.

Konflik juga menghangat di sejumlah wilayah perkebunan besar, baik yang dikelola perusahaan swasta maupun negara. Sengketa perkebunan umumnya terjadi karena penetapan atau perpanjangan izin dan/atau hak usaha bagi suatu perusahaan. Bisa juga karena tumburan klaim hak atas tanah antara perusahaan dengan masyarakat di sekitarnya. Dalam banyak kasus, sengketa perkebunan kerap disertai kekerasan fisik akibat represi pihak perkebunan atau aparat keamanan. Rakyat biasanya bereaksi balik atas tindakan kekerasan ini.

Pada sektor pertambangan, konflik tak kalah sengit. Masuknya investasi raksasa yang mengusahakan barang tambang kerap memicu ketegangan dengan masyarakat di sekitarnya. Meski barang tambang terkandung di perut bumi, namun tak terhindarkan penguasaan tanah oleh korporasi. Dalam banyak kasus, proses perizinan dan praktik usaha pertambangan mengabaikan hak masyarakat. Ketidakpuasan dan ketersisihan rakyat melahirkan konflik pertambangan yang memicu konflik sosial lebih luas.
 
Merumuskan Formula
Kalangan gerakan sosial mengekspresikan keprihatinan kondisi agraria dan nasib petani melalui peringatan Hari Tani Nasional 2012. Di Jakarta, tak kurang dari 15.000 petani merayakan Hari Kelahiran UU Pokok Agraria No 5/1960 ini. Perayaan juga digelar di penjuru Tanah Air dengan berbagai cara. Koalisi di tingkat nasional yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia (Sekber PHRI) menyampaikan sembilan tuntutan. Intinya, kalangan gerakan sosial mendesak pelaksanaan reforma agraria dan penghentian perampasan tanah. Dituntut pula penghentian peran TNI/Polri dalam konflik agraria, serta audit terhadap berbagai izin usaha keagrariaan (HGU, HGB, HPH, HTI, IUP, dan sebagainya).

Selain itu, dituntut penegakan hak asasi petani, nelayan dan buruh serta perwujudan kedaulatan pangan. Koalisi juga mendesak pembubaran Perhutani. Sekber PHRI mendesak agar berbagai produk legislasi dan regulasi yang berpotensi dan terbukti merampas tanah rakyat segera dicabut. Politik hukum agraria nasional harus dikembalikan pada semangat Konstitusi dan UU Pokok Agraria (Lihat: Siaran Pers Bersama yang ditandatangani pimpinan SPI, SPP, KPA, AGRA, WALHI dan AMAN, 24 September 2012).

Secara spesifik, merespons kompleksitas konflik agraria, penulis mendorong pengembangan sejumlah langkah strategis. Didasari kajian mendalam dan komprehensif serta pendataan khusus atas wilayah-wilayah konflik/sengketa tanah di sekitar wilayah kelola perusahaan kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Perlu dibangun komunikasi dan koordinasi khusus jajaran pemerintahan agar dicapai kesepahaman atas pola penanganan dan penyelesaian konflik agraria. Dikembangkan pula model penataan keagrariaan mengacu kesepahaman instansi sektoral, pemerintahan daerah serta masyarakat sekitar.

Perlu perhatian khusus pemerintah atas kenyataan konflik agraria di wilayah hutan, kebun dan tambang. Dibutuhkan solusi bersama atas menguatnya konflik/sengketa tanah di lapangan yang multisektoral dan lintas instansi. Diperlukan juga mekanisme antisipasi konflik antara perusahaan pemegang izin/hak usaha dengan masyarakat dengan mengedepankan dialog persuasif.

Yang tak kalah strategis, hendaknya disusun mekanisme baru penetapan kawasan dan pemberian izin usaha untuk perusahaan besar yang menjamin keuntungan sosial-ekonomi-ekologi bagi bangsa dan negara. Paralel dengan itu, ditinjau ulang berbagai izin usaha agar menguntungkan negara, pemerintah dan pemerintah daerah, serta terutama masyarakat sekitar. Agar tak menambah ruwet, sebaiknya dilakukan moratorium izin/hak usaha baru bagi perusahaan besar di lapangan agraria.

Mengerasnya konflik agraria jangan sampai memupus momentum reforma agraria, justru makin mengukuhkan alasan logis perwujudan keadilan agraria. Keadilan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam lainnya akan mampu memperbaiki kualitas keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Inilah formula mujarab pencegah merebaknya kekerasan, anarkisme dan gangguan sosial-politik akibat konflik agraria.

Pertanyaannya, apakah komitmen untuk melaksanakan reforma agraria di pemerintahan yang dikomandoi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih ada? Semangat Pancasila dan ajaran Trisakti (berdaulat secara politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan) kian mendesak untuk dijadikan obor penerang. Pelaksanaan reforma agraria niscaya mencabut akar penyebab konflik agraria. Kekuatan petani ialah sakaguru reforma agraria.

*Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Quo Vadis Reforma Agraria?

Sinar Harapan, 26 September 2012
 
Noer Fauzi Rachman*)
 
Pada perayaan Hari Tani 24 September 2012 kemarin, lebih dari sepuluh ribu petani dan aktivis berdemonstrasi, termasuk di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), Jakarta, menuntut BPN di bawah kepemimpinan Hendarman Supandji untuk tanggap terhadap masalah yang dihadapi oleh petani, khususnya yang hidup dalam konflik-konflik agraria. Lebih dari itu, para demonstran menuntut BPN menjalankan reforma agraria sebagai jawaban atas struktur penguasaan tanah yang semakin hari semakin timpang saja. Menurut penulis, demonstrasi semacam ini akan terus menerus berlangsung karena tidak adanya penyelesaian yang adekuat, menyeluruh dan tuntas terhadap kasus-kasus konflik-konflik agraria yang bersifat struktural, kronis dan berdampak luas.

Artikel pendek ini hendak menunjukkan bahwa apa yang disebut Reforma Agraria telah diagendakan dan dijalankan oleh BPN di bawah kepemimpinan Joyo Winoto (2005-2012), namun tidak memperoleh dukungan yang memadai dari kementerian lainnya, dan juga dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  “Reforma Agraria” yang dirancang oleh BPN terdahulu mensyaratkan kerjasama lintas kementerian, setidaknya Kementrian Kehutanan dan Kementrian Pertanian. Namun, kerjasama ini tidak berjalan karena masing-masing badan pemerintahan memiliki dan terus memelihara “ego sektoral”, suatu kecenderungan dari suatu badan pemerintah untuk hanya memenuhi kepentingan lembaga/sektornya sendiri-sendiri tanpa perduli dengan kepentingan lembaga/sektor lainnya. Yang juga tidak terjadi adalah upaya Presiden SBY untuk mengkordinasikan dan mensinkronkan kepentingan yang berbeda-beda dari badan-badan pemerintah untuk menjalankan Reforma Agraria tersebut.

Agenda redistribusi tanah 8,15 juta hektar tanah-tanah negara yang berada dalam “kawasan hutan negara” yang tergolong hutan produksi Konversi (HPK) yang terletak di 474 lokasi di 17 provinsi – tak berjalan sama sekali. Menurut Laporan Persiapan Pelaksanaan PPAN BPN 2007, dari keseluruhan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang berjumlah 22.140.199 ha, didalamnya telah dikuasai masyarakat lokal seluas 13.411.025 hektar, lebih dari 60 persen (Badan Pertanahan Nasional 2007:56). BPN memiliki detil data dan peta tanah seluas 8.15 juta hektar itu. Sayangnya, komunikasi dan koordinasi BPN dengan Kementerian Kehutanan mengenai agenda tersebut sama sekali tidak memadai. Kementerian Kehutanan tidak bersedia memenuhi agenda ini, dan tetap mempertahankan diri sebagai ‘tuan tanah negara’ terbesar, melalui penguasaan sekitar 70 persen wilayah Republik Indonesia dalam “Kawasan Hutan Negara”.

Kementerian Pertanian pun tidak mendukung program Reforma Agraria yang diinisiasi  BPN tersebut. Alih-alih menyokong segala upaya memberdayakan petani penerima tanah-tanah yang diredistribusi oleh BPN dengan segala fasilitas, asistensi, kredit, dan bentuk-bentuk “access reform” lainnya untuk membuat tanahnya produktif, efisien dan berkelanjutan, Kementerian Pertanian menjalankan skema-skema baru untuk menggenjot produksi pangan, terutama beras, dalam program food security,  mengagendakan RUU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang kemudian menjadi UU No. 41/2009, hingga memfasilitasi perusahaan-perusahaan raksasa untuk membuat perkebunan-perkebunan baru untuk produksi makanan dan energi, termasuk yang paling luas: Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

Selain dari Kementerian Kehutanan dan Pertanian, hambatan utama lainnya adalah tidak disetujuinya usulan BPN untuk membentuk Lembaga Pengelola Reforma Agraria, suatu badan otorita khusus yang dirancang mengurus segala sesuatu berkenaan dengan upaya merencanakan hingga memberdayakan para penerima tanah objek land reform dan membuat tanah-tanah yang diredistribusikan itu produktif dan bisa dikelola secara berlanjutan. Namun, pembentukan Badan yang diancangkan berbentuk “Badan Layanan Umum” (BLU) ini, yakni suatu jenis badan usaha pemerintah yang tidak ditujukan untuk kepentingan profit, tidak berhasil memperoleh otorisasi dari Departemen Keuangan sehubungan dengan keharusan untuk menunjukkan bahwa badan ini tidak akan terus-menerus bergantung pada dana APBN, melainkan sanggup secara terus-menerus hidup  dari perputaran uang yang bermula dari modal awal yang akan diberikan pemerintah. Walhasil, ide Lembaga Pengelola Reforma Agraria ini kemudian dihilangkan dari draft RPP Reforma Agraria, yang juga belum tuntas dijadi pertauran pemerintah hingga Joyo Winoto diganti oleh Hendarman Supandji.

Dengan keterbatasan ini, pada prakteknya apa yang disebut Reforma Agraria oleh Joyo Winoto adalah suatu skema  legalisasi hak atas tanah melalui jalur “pemberian hak di atas tanah negara”, dimana diagendakan sekitar 1,1 juta hektar tanah Negara yang berada di bawah jurisdiksi BPN.  Sumber lain untuk “redistribusi tanah” adalah “tanah-tanah terlantar”. “Tanah-tanah terlantar” adalah  tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Hasil identifikasi BPN luasan “tanah terlantar” tersebut mencapai 7.386.289 hektar” terdiri dari Hak Guna Usaha 1.925.326 ha, Hak Guna Bangunan 49.030 ha, Hak Pengelolaan 535.682 ha, dan tanah dengan ijin lokasi dan lainnya 4.475.172 ha (Sumber Data: Deputi Pengendalian Tanah dan Pemberdayaan Masyarakat, BPN 2009).

Untuk melakukan pengambilalihan keseluruhan “tanah terlantar” ini, BPN membuat PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayaguaan Tanah Terlantar. Sebagai pasangannya BPN memprakarsai RPP tentang Reforma Agraria yang memuat ketentuan kategori asal tanah yang akan diredistrribusikan, yang disebut sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), kriterian penerima TORA, dan mekanisme distribusinya, hingga pemberdayaan subjek yang menerima TORA. Namun, berbeda dengan RPP tentang Tanah terlantar yang berhasil selesai menjadi PP No 41/2009, RPP RA tidak berhasil menjadi PP.

Penulis kerap bertanya pada pejabat-pejabat di BPN mengenai mengapa RPP ini tidak kunjung dibahas di Rapat Kabinet dan disetujui? Dari waktu ke waktu saya mendapatkan jawaban bahwa dukungan politik atas Reforma Agraria kurang memadai, dan menggantungkan pada hubungan antara Joyo Winoto dengan Presiden. Presiden pun tidak menggunakan kewenangannya untuk membuat RPP itu terwujud menjadi PP.
Quo vadis Reforma Agraria?
 
*) Noer Fauzi Rachman PhD adalah Direktur Sajogyo Institute, Penasehat pada Kemitraan untuk Pembaruan Tata-Pemerintahan, Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, dan dosen luar biasa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB).

Rabu, 26 September 2012

Petani Protes Perampasan Tanah

Sinar Harapan, 24 September 2012

JAKARTA - Peringatan Hari Tani 24 September diwarnai dengan aksi massa di berbagai daerah dan ibu kota dengan tuntutan pelaksanaan Pasal 33 UUD 45 dan UU Pokok Agraria No 5/1960.
Mereka menuntut penghentian kontrak, MoU, dan pemberian perizinan pada perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mengakibatkan perampasan tanah rakyat. 

Di Jakarta, massa petani, nelayan, organisasi masyarakat, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia (Sekber PHRI) menggelar aksi di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Istana Kepresidenan, Senin ini.
Mereka meminta pemerintah menghentikan segala bentuk perampasan tanah rakyat dan segera melaksanakan pembaruan agraria sesuai dengan Konsitusi1945 dan UUPA 1960.
 
Tuntutan serupa juga disampaikan para petani yang menggelar aksi massa di sejumlah daerah, dari Aceh, Lampung, hingga Nusa tenggara Barat. Sejumlah serikat tani berskala nasional, seperti Serikat Petani Indonesia (SPI) maupun Serikat Tani Nasional (STN) berada di belakang aksi-aksi ini.
 
Selama beberapa tahun terakhir, konflik agraria yang membenturkan para petani dengan aparat keamanan maupun pihak perkebunan atau pertambangan terus terjadi. Data SPI menunjukkan, sepanjang 2011, sebanyak 35 petani menjadi korban kriminalisasi; 273.888 tergusur dari tanahnya; dan 18 tewas karena mencoba memperjuangkan tanahnya.
Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Noer Fauzi Rachman, menyebut konflik agraria memang telah meluas di berbagai daerah yang menghadap-hadapkan petani dengan badan-badan usaha raksasa yang bergerak dalam bidang infrastruktur, produksi, dan ekstraksi.
 
Menurutnya, konflik juga dipicu oleh pemberian izin konsesi oleh pejabat publik, termasuk Menteri Kehutanan, Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Kepala BPN, gubernur, dan bupati. Dalam berbagai kasus tidak jarang kaum tani masih dihadapkan dengan aparat kepolisian, TNI, atau preman setempat.
 
“Hukum, penggunaan kekerasan, kriminalsiasi tokok, manipulasi, penipuan, pemaksaan persetujuan dilakukan secara sistematik dan meluas untuk menghilangkan kepemilikan tanah rakyat,” ungkapnya kepada SH, Minggu (23/9).
Menurutnya, salah satu konflik agraria terjadi di bidang perkebunan, khususnya sawit, karena kebanyakan luas perkebunan kelapa sawit sering kali lebih luas dari konsesi legalnya. Mengutip data Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, tahun 2012, Noer Fauzi menunjukkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 8,1 juta hektare (ha). Sementara seluruhnya diperkirakan bisa mencapai 11,5 juta ha.
 
Menurut data Dirjenbun, Kementerian Pertanian, luas kebun sawit milik petani adalah di atas 40 persen. Sementara menurut Noer Fauzi, jumlahnya kurang dari 30 persen. Dengan percepatan luasan 400.000 ha per tahun, menurutnya, luasan kebun sawit digenjot pemerintah dan swasta luasan kebun sawit ditargetkan mencapai 20 juta ha.
Akibat dari penguasaan lahan untuk sawit ini, Deptan mengakui bahwa pada 2012 sebanyak 59 persen dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di 22 provinsi dan 143 kabupaten terlibat konflik dengan masyarakat.
 
“Konflik perkebunan kelapa sawit tersebar di di Kalimantan Tengah dengan 250 kasus, Sumatera Utara 101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus. Totalnya 591 konflik,” kata dia.
 
Di Riau, para petani berhadapan dengan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan PT Sumatra Riang Lestari (SRL). Dalam setahun, menurut Ketua Serikat Tani Riau (STR) Muhammad Ridwan, ada 162.000 ha kawasan hutan yang dibabat hanya untuk menjamin keberlangsungan industri kertas internasional.
 
Pembabatan hutan oleh PT RAPP dilakukan di kawasan gambut dan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Riau. Sementara itu, PT SRL sedang membuka kawasan hutan di Pulau Rangsang seluas 18.890 ha, Pulau Tempuling 48.635 ha, dan Pulau Rupat 38.590 ha. Perlawanan petani juga terjadi di Kampar, Bengkalis, dan Siak.
 
Ridwan mengatakan, Senin ini, ribuan petani akan menggelar aksi di kantor gubernur dan DPRD Pekanbaru untuk menuntut pencabutan semua SK Menteri Kehutanan yang dianggap merugikan petani.
 
Di Sumatera Utara, konflik agraria saat ini berlangsung antara petani dengan BUMN maupun perkebunan swasta. Koordinator Komite Tani Menggugat, TBR Simamora mengatakan, hari ini massa tani dari Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Deli Serdang akan mengepung DPRD dan kantor gubernuran di Medan.
“Kami menuntut agar pemerintah membatalkan semua konsesi, MoU dan kontrak yang merampas tanah rakyat,” ungkapnya.
 
Ia menjelaskan, kaum tani dari Kabupaten Deli Serdang yang terhimpun dalam Himpunan Petani Penggarap Tanah Negara (HPPTN), Kelompok Tani Sehati, Kelompok Tani Selambo, Kelompok Tani 71-79, dan Kelompok Tani Duren Tunggal selama ini mempertahankan tanah eks HGU seluas 5.500 ha.
 
Perjuangan yang sama juga dilakukan oleh kelompok-kelompok tani dari Kabupaten Serdang Bedagai. Sementara itu Kelompok tani Torang Jaya Mandiri dari Kabupaten Padang Lawas mempertahankan tanah seluas 1.500 ha yang akan diambil alih oleh PT Sumatra Riang Lestari dan PT Sumatra Silva Lestari untuk HTI yang menyediakan bahan baku kertas internasional.
 
Data BPN pada 2011, menyebut ada 875 konflik agraria di Sumatera Utara. Namun menurut Polda Sumut mencapai 2.553 konflik agraria.
 
Di Sumatera Selatan, terdapat 150 konflik agraria yang melibatkan masyarakat tani yang berhadapan dengan perusahaan swasta dan pemerintah daerah. Menurut aktivis tani, Firdaus, saat ini kelompok tani yang masih terus melawan adalah dari Kecamatan Muaro Belido, Kabupaten Muara Enim melawan PT Inderalaya Agro Lestari yang merampas lahan ulayat rakyat seluas 4.500 ha. Kelompok tani dari Kecamatan Rantau Bayur, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan juga sedang melawan perampasan tanah oleh PT Rumpun Enam Bersaudara seluas 2.000 ha.
 
Menurut Ketua STN Yoris Sindhu Suharjan, atas nama Pasal 33 dan UUPA rakyat berhak menguasai dan mengelola tanah tanah tersebut lewat koperasi.
 
Terbelit Utang
Di luar konflik tanah, nasib petani juga masih jauh dari sejahtera. Peningkatan harga bahan pangan pokok dalam satu tahun terakhir tidak mengindikasikan kesejahteraan petani.
 
Ekonom Institute of Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, petani di Indonesia belum belum masuk ke zona sejahtera sebab kenaikan angka nilai tukar petani tidak sebanding dengan kenaikan inflasi.
"Banyak petani tebu sejahtera karena luas lahan yang mereka miliki lebih dari 2 ha. Petani padi juga sawit pun ada yang sejahtera, tapi yang luas lahan miliknya 2 ha lewat ya,’’ kata dia.
 
Menurut Avi, kenaikan harga pangan pokok belum bisa mengentaskan kemiskinan secara langsung, apalagi trennya petani yang justru terbelit dari persoalan sosial ekonomi seperti utang atau sakit keras, sehingga membutuhkan dana besar. Solusi satu-satunya yang mereka miliki adalah menjual tanah mereka.
 
Harga tanah yang terus naik tiap tahun justru membuat petani tergiur untuk menjualnya. Karena itu, pembaruan agraria kemudian menjadi harapan banyak petani.
 
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin membenarkan bahwa dalam satu tahun terakhir, tingkat kesejahteraan petani di Indonesia atau disebut Nilai Tukar Petani (NTP) tidak sebanding dengan beban inflasi yang harus mereka tanggung.
 
NTP Agustus 2012 sebesar 105,26, sedangkan NTP Agustus 2011 sebesar 105,11. Artinya, naik NTP hanya 0,14 persen, sementara laju inflasi year on year Agustus 2012 ke Agustus 2011 sebesar 4,58 persen. Ini sangat tidak sebanding.
Namun menurut Mentan Suswono, kondisi tingginya harga bahan pangan pokok saat ini sudah memberi insentif bagi petani. Setidaknya efek sejahteranya terjadi pada petani yang memiliki luas lahan lebih dari 2 ha.
Itu karena teori perlindungan terhadap harga jual gabah petani sudah betul. Di sisi lain ada kenaikan harga pupuk di awal tahun 2012 membawa konsekuensi naiknya biaya produksi usaha tani. Tanpa pemberian insentif yang memadai kepada para petani, penurunan tingkat pendapatan akan berujung pada penurunan angka nilai tukar petani. (CR-27)
 

Minggu, 23 September 2012

Farmers demand fair land conflict settlement

A- A A+

Paper Edition | Page: 2
Thousands of farmers in North Sumatra, Lampung, West and East Java are slated to take to the streets in observance of National Farmers Day and demand the government settle agrarian conflicts fairly.
In Medan, North Sumatra, some 2,000 farmers from various regions in the province have planned to hold a massive rally on Monday at the provincial legislature building and gubernatorial office to press relevant authorities to settle thousands of unresolved land conflicts, mostly with state-run and private plantations.

The farmers, affiliated with the Farmers Litigation Committee (KTM), plan to urge North Sumatra interim Governor Gatot Pujo Nugroho to sign a petition containing their demands to resolve thousands of land disputes in the province.

KTM spokesman Johan Merdeka said the protesting farmers would occupy the gubernatorial office should Gatot fail to respond to the farmers’ demands.

“The crowd will resort to anarchy if the interim government fails to respond to the issue,” Johan told The Jakarta Post on Sunday.

According to Johan, preparations for the rally have been thoroughly consolidated as farming communities hailing from various regions, such as Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Batubara, Asahan, North Labuhan Batu, South Labuhan Batu and Central Tapanuli regencies, were expected to attend.

He added that farmers who would be involved in the rally on Monday were mainly those involved in land disputes in their villages.

“The current condition of farmers in the regions is of grave concern. They are often suppressed and subject to violence by security personnel every time a dispute takes place,” he said, adding that security forces should not be heavy-handed in facing protesters tomorrow so as to avoid chaos.
North Sumatra Agrarian Reform (RAS) joint secretariat coordinator Ahmadsyah said the police’s disproportional response in resolving issues associated with farming, especially land disputes, had often been blamed for widespread conflicts.

Ahmadsyah said the land disputes involving farmers in North Sumatra tended to rise from year to year. He added that last year, 25 land disputes were recorded in the province. As of July this year, added Ahmadsyah, 27 cases of land disputes had been recorded, surpassing last year’s figure in just six months.

“This year, North Sumatra has had the worst record in terms of agrarian conflicts. Police have often opted for intimidation, violence and even shootings in resolving land disputes in the province,” said Ahmadsyah.

RAS information and recording team leader Saurlin Siagian said police had arrested 147 farmers in various regencies in North Sumatra in ownership disputes in the past seven months.
Saurlin added a majority of those arrested were currently facing legal proceedings. Six of them have been sentenced to between six months and two years in prison for vandalism and oil palm theft.
According to Saurlin, the roundup of the 147 farmers was the biggest in the history of agrarian conflict in the province.

“The arrest of farmers this year is the worst in the past 14 years,” said Saurlin.
When contacted about the planned rally by thousands of farmers on Monday, Medan Police chief Monang Situmorang hoped the rally would be carried out peacefully and non-violently. Monang urged the farmers not to resort to anarchy when expressing their aspirations.

“Please do demonstrate but don’t resort to anarchy,” he said.
Thousands of farmers, as well as the victims of the Mesuji tragedy in North Lampung and South Sumatra, also planned to stage protests at the governors offices in Palembang and Bandar Lampung to demand a fair solution to the prolonged dispute between local farmers and private palm oil plantations in the two provinces.

Spokesman for the Moromoro Farmers’s Association in Bandar Lampung, Syahrul Sidin, said they would blockade the East Highway to seek national attention to their grievances.
“It is a good moment for us to press the authorities to avoid the use of force in land dispute settlement and to take the farmers’ side in seeking a fair solutions with giant plantation companies,” he said as quoted by Antara news agency.
http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/24/farmers-demand-fair-land-conflict-settlement.html