Kamis, 27 September 2012

Menengok Komitmen Reforma Agraria

Jurnal Nasional | Selasa, 25 Sep 2012
 
Usep Setiawan
 
KETIKA merayakan Hari Tani Nasional, 24 September 2012, fenomena konflik agraria belum juga berujung. Kuantitas maupun dimensinya kian berkecambah. Memanasnya konflik agraria di lapangan turut menaikkan tensi politik lokal, regional, sampai nasional. Konflik agraria pun berpotensi merongrong stabilitas sosial politik yang lebih luas.
Media massa kerap melaporkan, ibarat bom waktu, sengketa lahan di hampir seluruh Indonesia setiap saat bisa meledak menjadi aksi kekerasan, anarkisme, dan gangguan sosial. Menguatnya konflik agraria menantang untuk segera dicegah, ditangani, dan diselesaikan secara menyeluruh. Penanganan sporadis dan parsial sudah tak lagi efektif. Butuh terobosan, respons cepat, langkah akurat dan mendasar. 

Merujuk laporan pemantauan sejumlah lembaga (BPN, Komnas HAM, dan KPA: 2012), konflik atau sengketa agraria memanas terutama di wilayah-wilayah yang dikelola perusahaan besar di bidang kehutanan, perkebunan, dan pertambangan, baik milik swasta maupun negara. Sengketa kehutanan terjadi merata di hampir semua wilayah Indonesia.
Petani penggarap di sekitar kawasan hutan yang dikelola perusahaan kehutanan kerap menjadi korban. Latar belakang konflik kehutanan biasanya terjadi karena penetapan suatu areal sebagai kawasan kehutanan. Padahal areal-areal tersebut sudah menjadi wilayah kelola rakyat. Sengketa kehutanan juga menyeruak akibat desakan kebutuhan rakyat di sekitar kawasan hutan yang butuh ruang hidup.

Konflik juga menghangat di sejumlah wilayah perkebunan besar, baik yang dikelola perusahaan swasta maupun negara. Sengketa perkebunan umumnya terjadi karena penetapan atau perpanjangan izin dan/atau hak usaha bagi suatu perusahaan. Bisa juga karena tumburan klaim hak atas tanah antara perusahaan dengan masyarakat di sekitarnya. Dalam banyak kasus, sengketa perkebunan kerap disertai kekerasan fisik akibat represi pihak perkebunan atau aparat keamanan. Rakyat biasanya bereaksi balik atas tindakan kekerasan ini.

Pada sektor pertambangan, konflik tak kalah sengit. Masuknya investasi raksasa yang mengusahakan barang tambang kerap memicu ketegangan dengan masyarakat di sekitarnya. Meski barang tambang terkandung di perut bumi, namun tak terhindarkan penguasaan tanah oleh korporasi. Dalam banyak kasus, proses perizinan dan praktik usaha pertambangan mengabaikan hak masyarakat. Ketidakpuasan dan ketersisihan rakyat melahirkan konflik pertambangan yang memicu konflik sosial lebih luas.
 
Merumuskan Formula
Kalangan gerakan sosial mengekspresikan keprihatinan kondisi agraria dan nasib petani melalui peringatan Hari Tani Nasional 2012. Di Jakarta, tak kurang dari 15.000 petani merayakan Hari Kelahiran UU Pokok Agraria No 5/1960 ini. Perayaan juga digelar di penjuru Tanah Air dengan berbagai cara. Koalisi di tingkat nasional yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia (Sekber PHRI) menyampaikan sembilan tuntutan. Intinya, kalangan gerakan sosial mendesak pelaksanaan reforma agraria dan penghentian perampasan tanah. Dituntut pula penghentian peran TNI/Polri dalam konflik agraria, serta audit terhadap berbagai izin usaha keagrariaan (HGU, HGB, HPH, HTI, IUP, dan sebagainya).

Selain itu, dituntut penegakan hak asasi petani, nelayan dan buruh serta perwujudan kedaulatan pangan. Koalisi juga mendesak pembubaran Perhutani. Sekber PHRI mendesak agar berbagai produk legislasi dan regulasi yang berpotensi dan terbukti merampas tanah rakyat segera dicabut. Politik hukum agraria nasional harus dikembalikan pada semangat Konstitusi dan UU Pokok Agraria (Lihat: Siaran Pers Bersama yang ditandatangani pimpinan SPI, SPP, KPA, AGRA, WALHI dan AMAN, 24 September 2012).

Secara spesifik, merespons kompleksitas konflik agraria, penulis mendorong pengembangan sejumlah langkah strategis. Didasari kajian mendalam dan komprehensif serta pendataan khusus atas wilayah-wilayah konflik/sengketa tanah di sekitar wilayah kelola perusahaan kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Perlu dibangun komunikasi dan koordinasi khusus jajaran pemerintahan agar dicapai kesepahaman atas pola penanganan dan penyelesaian konflik agraria. Dikembangkan pula model penataan keagrariaan mengacu kesepahaman instansi sektoral, pemerintahan daerah serta masyarakat sekitar.

Perlu perhatian khusus pemerintah atas kenyataan konflik agraria di wilayah hutan, kebun dan tambang. Dibutuhkan solusi bersama atas menguatnya konflik/sengketa tanah di lapangan yang multisektoral dan lintas instansi. Diperlukan juga mekanisme antisipasi konflik antara perusahaan pemegang izin/hak usaha dengan masyarakat dengan mengedepankan dialog persuasif.

Yang tak kalah strategis, hendaknya disusun mekanisme baru penetapan kawasan dan pemberian izin usaha untuk perusahaan besar yang menjamin keuntungan sosial-ekonomi-ekologi bagi bangsa dan negara. Paralel dengan itu, ditinjau ulang berbagai izin usaha agar menguntungkan negara, pemerintah dan pemerintah daerah, serta terutama masyarakat sekitar. Agar tak menambah ruwet, sebaiknya dilakukan moratorium izin/hak usaha baru bagi perusahaan besar di lapangan agraria.

Mengerasnya konflik agraria jangan sampai memupus momentum reforma agraria, justru makin mengukuhkan alasan logis perwujudan keadilan agraria. Keadilan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam lainnya akan mampu memperbaiki kualitas keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Inilah formula mujarab pencegah merebaknya kekerasan, anarkisme dan gangguan sosial-politik akibat konflik agraria.

Pertanyaannya, apakah komitmen untuk melaksanakan reforma agraria di pemerintahan yang dikomandoi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih ada? Semangat Pancasila dan ajaran Trisakti (berdaulat secara politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan) kian mendesak untuk dijadikan obor penerang. Pelaksanaan reforma agraria niscaya mencabut akar penyebab konflik agraria. Kekuatan petani ialah sakaguru reforma agraria.

*Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Tidak ada komentar: