Sabtu, 30 Juni 2012

Stop NGOs program on REDD + : Local Govt

Pemprov Kalteng Minta LSM Pelaksana Reed+ Dihentikan Published on Wednesday, 23 May 2012 12:57

Palangka Raya, 18/5 (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) meminta lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selama ini membantu pelaksanaan program Reducing, Emissions From Degradation and Deforestation-Plus (REDD+) dihentikan, kata Sekretaris Daerah Provinsi Siun Jarias.

"Banyak LSM yang memanfaatkan program REDD+ dengan melaksanakan berbagai aktivitas tanpa berkoordinasi dengan pemerintah. Bahkan kami menilai kegiatan tersebut tanpa arah yang jelas karena belum adanya strategi nasional (Stranas) pelaksanaannya," katanya di Palangka Raya, Jumat.
Pemerintah telah selesai dan menetapkan strategi daerah (Strada) melalui Keputusan Gubernur No.10/2012 tentang Strada dan rencana aksi REDD+. Strada tersebut sebagai acuan pelaksanaan program REDD" di daerah ini, ujarnya.

Oleh karena itu, tambahnya, semua LSM yang sudah dan akan melaksanakan aktivitas REDD+ maupun perubahan iklim diminta berhenti sampai ada koordinasi dengan Pemprov Kalteng.
Apabila kalangan LSM ingin terlibat dalam program REDD+, wajib mengacu pada keputusan Gubernur mengenai kegiatan tersebut sementara kegiatan yang ingin dilaksanakan sebelum berkoordinasi dengan Pemprov Kalteng harus dihentikan.

"Adanya Strada terkesan mendahului Stranas. Sebab sampai saat ini Stranas belum disampaikan ke Pemprov Kalteng. Kami menilai, bila tidak ada acuan tersebut maka kegiatan para LSM semakin tidak jelas, dan rawan merugikan masyarakat sekitar," ucapnya.
Berdasarkan informasi yang ada, dana untuk pelaksanaan REDD+ sudah tersedia di Jakarta yang di rupiahkan berkisar Rp10 triliun. Oleh sebab itu, selama ini dana tersebut hanya dinikmati orang luar, dan masyarakat Kalteng hanya ributnya saja.

Dia menjelaskan, Strada yang telah dibuat tersebut disusun oleh tim yang berjumlah 12 orang, terdiri dari akademisi, birokrat dan ahli lingkungan. Tim tersebut dibentuk dan dipimpin langsung Gubernur Agustin Teras Narang yang bekerja sama sekitar empat bulan.
"Kami berharap, dengan adanya Strada Kalteng terhadap REDD+ tersebut, pelaksanaan programnya betul-betul bisa memberi manfaat bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat," ujarnya.
  
Kearifan lokal
Ditambahkan, selama ini Pemprov Kalteng, media massa harus melakukan pengawasan dan menyosialisasikan program REDD+. Sedangkan LSM yang melaksanakan program tersebut, rata-rata bukan berasal dari Kalteng yang kurang mengerti dengan kearifan lokal.
Salah seorang Tim Penyusun Strada REDD+ Kalteng, Suwido Limin menambahkan, dalam Strada tersebut secara tegas mengatur tentang visi, misi, strategi dan acuan program melaksanakan REDD+ tersebut.

Strada tersebut mengatur tentang bentuk yayasan, atau perusahaan yang nantinya ingin dan akan terlibat dalam proyek REDD+. Selain itu juga mengatur tentang kawasan mana saja yang boleh dan tidak boleh dijadikan lahan REDD+.

Oleh karena itu, pemerintah mengatur soal tersebut. Kalau tidak diatur seperti itu, orang Dayak akan kehilangan tempat tinggal. Semua kawasan dijadikan hutan untuk mendapatkan keuntungan.
"Itu yang harus dipublikasikan kepada masyarakat banyak, agar orang-orang Jakarta yang sering datang dan tinggal di hotel mewah itu malu serta tahu diri," katanya.
http://antara-kalteng.com/Kalimantan-Tengah/pemprov-kalteng-minta-lsm-pelaksana-reed-dihentikan.html

Jumat, 29 Juni 2012

Harassment continues in palm oil plantation in Mindanao

Manila, Philippines - Residents of Bagocboc and Tingalan in Misamis Oriental, Mindanao, particularly those affiliated with Pangalasag – a local organisation of indigenous Higaonons which has been very vocal against the establishment and expansion of a palm oil plantation in their area, continue to face injustice at the hands of the government authorities.

Pangalasag members reported that local police force have warned them of being prosecuted if they join any actions against A Brown Company, Inc. – the company behind the palm oil plantation in Opol. The local police also took photographs of the Pangalasag members’ houses, which is a clear form of harassment to instil terror to those who dare oppose the palm oil operations. Furthermore, a relative of a Higaonon elder was one of the labourers retrenched by the palm oil plantation immediately after the company found out his affiliation to Pangalasag.

According to Jomorito Goaynon, chairperson of Kalumbay Regional Lumad Organization which has been part of the recently held international fact-finding mission (IFFM) led by Pesticide Action Network Asia and the Paficic (PAN AP), “It is very clear whose side the local government of Opol is siding to. A Brown is also keen on not showing any respect to our indigenous culture and life.”

Sr. Ma. Famita Somogod, MSM, coordinator of the Rural Missionaries of the Philippines – Northern Mindanao Sub-Region added that “While trampling on the right to land of the indigenous peoples concerned, A Brown is also pushing the human rights and fundamental freedoms of the community into the state of disgrace.”

The Provincial Environment and Natural Resources Officer also admitted that A Brown has yet to secure a permit after already operating for two years. Goaynon said that they fear that the environmental department (DENR) will fast-track the issuance of the necessary permit to legitimise the plantation’s operation and eventually displace the farmers and Higaonons in Bagocboc and Tingalan.

PAN AP calls on the Philippine government to rethink its programme on palm oil development in the country. “The government should protect the inherent rights of the people and ensure the free and prior informed consent of the indigenous people as enshrined in the UN Declaration of the Rights of Indigenous Peoples.  The indigenous peoples’ rights are being marginalised in favour of profits from this industry” says PAN AP Executive Director Sarojeni Rengam.

Meanwhile, Dr. Romeo Quijano of PAN Philippines stated that “as the palm oil plantation continues to operate, more and more hazardous agro-chemicals will be introduced to the area that will negatively impact the lives of the people as well as the biodiversity of the area.” Since the establishment of the plantation, villagers no longer use the water from a nearby stream for drinking and food preparation for fear of being poisoned.

PAN AP, together with the Asian Peasant Coalition (APC), Peasant Movement of the Philippines (KMP), Rural Missionaries of the Philippines (RMP), Sentro Kitanglad, Kalumbay Regional Lumad Organization and Pangalasag recently conducted an IFFM in the area and the report can be downloaded here: The Real Trespassers (June 2012). PAN AP also setup an online petition for the concerned individuals and groups to pressure A Brown and the Philippine government to pull out the plantation, reinstate farmers and Higaonons to their lands, and give redress to the victims of human rights violations.

For more information, contact:

Virgilio Tamayao Jr                                                                                                          
PAN AP                                                                                                               
jingo.tamayao@panap.net    

Minggu, 24 Juni 2012

ASEAN Human Rights Declaration draft ignores rights of indigenous peoples


Joint Statement from Asia Indigenous Peoples Pact and Jaringan Orang Asal SeMalaysia

19 June 2012
For Public Release
pic: courtesy of the jakarta post
SABAH, Malaysia: Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) and Jaringan Orang Asal SeMalaysia (JOAS) express deep regret that there was no specific reference concerning the collective rights of the Indigenous Peoples as enshrined in the UNDRIP in the drafting of the ASEAN Human Rights Declaration (AHRD) draft during the national consultation held at Institute of Diplomacy and Foreign Relations in Kuala Lumpur on June 12, 2012.
 
JOAS representative to the meeting was surprised to learn that Indigenous Peoples issues had been removed from the latest draft. The organizing chairman told her that there was no update on Indigenous Peopleswhose issues have now been placed under general and specific context which include women, children and marginalized groups. JOAS representative's request for some information about the contents of the draft was only met with a reply “Sorry nothing specific on Indigenous Peoples.”
 
The representative also regretfully learned that copies of the draft declaration were not handed out to participants following instructions from the 'top' to the organizer.

JOAS representative however managed to read and hand in the submission of the Indigenous Peoples Task Force on ASEAN and AIPP to the Drafting of the of the ASEAN Human Rights Declaration. It was the second time the document was submitted. The first time was by an AIPP representative in a similar forum in Bangkok.

AIPP and JOAS, that represent Indigenous Peoples in Asia and Malaysia respectively, also express deep disappointment with the ASEAN Intergovernmental Committee on Human Rights (AICHR) for rejecting the parties' request to participate in the regional consultation on June 22, 2012 to be held in Kuala Lumpur. While ASEAN is claiming cultural diversity in the ASEAN countries, it continues to disregard and refuse to recognize the existence of Indigenous Peoples and their collective rights. It will be a shame and definitely will be below international human rights standards if the ASEAN Human Rights Declaration fails to include the recognition of the rights of Indigenous Peoples.

Both parties demand that the ADHR must have a reference to the UNDRIP or at least some provisions that respect the rights of Indigenous Peoples. Anything less would only place the declaration below internationalhuman rights standards.
 
For further inquiries, contact AIPP (aippmail@aippnet.org) or JOAS (joasmalaysia@gmail.com)

----
Prabindra Shakya
Research and Communication Development Programme
Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP)
108 Moo 5 Tamboon Sanpranate Amphur Sansai
Chiang Mai 50210 THAILAND
Tel: 66 5338 0168
Fax: 66 5338 0752
Website: www.aippnet.org

Jumat, 22 Juni 2012

Konflik Petani Padang Lawas vs PT SRL dan SSL

Narasi ini adalah summary Konflik antara Petani di Padang Lawas versus PT SRL dan SSL. Para petani tergabung dalam Kelompok Tani Torang Jaya Mandiri asal Kabupaten Padang Lawas. PT SRL (Sumatera Riang Lestari) dan PT SLL (Sumatera Silva Lestari), adalah perusahaan hutan tanaman industri (HTI), yang menyuplai kebutuhan kayu untuk pabrik kertas, serta anak perusahan RAPP di Riau.

Dari penelusuran saya, PT SRL memiliki konsesi dibeberapa kabupaten di Sumatera, antara lain di Pulau Rangsang, Tempuling, dan Rupat, propinsi Riau masing masing seluas 18.890 hektar 48.635 hektar dan 38.590 hektar (http://en.kpshk.org/index.php/headline/read/2011/02/09/1245/revoke-hti-license-of-pt-rapp-save-the-peat-forests-of-riau.kpshk).

Di Sumatera Utara,  PT SRL memiliki konsesi seluas 65.000 hektar, dan PT SSL seluas 42.000 ha, berlokasi di Padang Lawas (http://jikalahari.or.id). Selain itu PT SRL juga memiliki lahan seluas kurang lebih 60.000 hektar di desa Sei Meranti, kecamatan Torgamba, Labuhan Batu Selatan, berbatasan dengan Riau.Perusahaan-perusahaan rakus tanah ini berkonflik dengan puluhan kelompok tani di Sumatera, yang mendorong munculnya petani tak bertanah, dan korban korban konflik tanah (please see in detail; The Loss of Reason, Saurlin, 2011).

Petani kecil sekitar konsesi perusahaan ini sejak lama bertani padi dan sebagian lagi menanam sawit. Dalam sepuluh tahun belakangan petani ramai ramai beralih menanam tanaman sawit. Eskalasi konflik meningkat ketika terjadi pergesekan dengan perusahaan-perusahan hutan tanaman industri ini.

Berikut ini adalah klippingan kasus konflik yang menyangkut Petani Padang Lawas dengan SLR dan SLL.

Mogok Makan, Petani Palas Roboh
http://regional.kompas.com/read/2012/06/07/15092528/Mogok.Makan.Petani.Palas.Roboh
MEDAN, KOMPAS.com - Satu orang dari puluhan petani mengatasnamakan Kelompok Tani Torang Jaya Mandiri asal Kabupaten Padang Lawas (Palas) yang melakukan aksi mogok makan di depan gedung DPRD Sumut, roboh. Akibatnya, ia harus dilarikan ke RS Malahayati, Jalan Diponegoro Medan, Kamis (7/6/2012).

Petani yang pingsan tersebut bernama Lindani br Nainggolan (37). Kondisinya mulai melemah karena sejak kemarin melakukan aksi mogok makan . Begitu juga dengan belasan rekannya yang melakukan aksi serupa. Kondisi ini terutama dialami kaum perempuan. Umumnya mereka mengalami pusing dan mual-mual.

"Lindani tiba-tiba jatuh pingsan dan ditangisi rekan-rekannya. Dia kemudian dibopong ke becak dan dilarikan ke RS Malahayati. Memang sebelum ikut aksi sudah diserang flu," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan di dampingi Sugianto, pendamping para petani.

Seperti yang diberitakan, para petani ini datang ke Kota Medan melakukan aksi mogok makan dengan melakban mulutnya sejak kemarin, Rabu (7/6/2012). Aksi ini mereka lakukan untuk menentang penyerobotan, perusakan lahan, dan kriminalisasi petani yang dilakukan PT Sumatera Riang Lestari (PT SRL) dan PT Sumatera Silva Lestari (PT SSL) di Desa Tobing Tinggi, Kecamatan Aek Nabara Barumun, Palas.

Para petani menuding dua perusahaan ini sudah lebih dari 50 kali menyerobot dan merusak tanaman milik mereka. Bahkan, pada 25 April lalu Pamswakarsa perusahaan tersebut membakaran rumah petani. Polresta Tapanuli Selatan (Tapsel) dinilai berpihak kepada perusahaan dengan melakukan pengawalan terhadap Pamswakarsa dan melakukan penangkapan terhadap Sinur Situmorang (62).

Sinur ditangkap dan ditahan Polres Tapsel walaupun sudah dimohonkan penangguhan penahanan, dan masyarakat sudah memohon jaminan keamanan dan keselamatan tindakan Polres dan PT SRL yang melakukan kriminalisasi serta pembakaran rumah warga. "Perkaranya tidak diproses sampai hari ini. Masyarakat sangat tertekan dan suasana di areal pertanian begitu mencekam karena PT SRL terus melakukan perusakan tanaman warga," tegas Irfan Fadila Mawi, Kadiv SDA LBH Medan.

-----------------------

Selasa, 12 Juni 2012 - 11:05:11 WIB
Petani Padang Lawas Masih Lakukan Aksi Jahit Mulut
http://www.jarrakonline.com/detail-2304-petani-padang-lawas-masih-lakukan-aksi-jahit-mulut.html
Medan (JarrakOnline), Para petani Kabupaten Padang Lawas yang berunjuk rasa dengan menginap di gedung DPRD Sumatera Utara di Medan, Senin malam melakukan aksi jahit mulut.

Aksi menjahit mulut itu dilakukan dua petani Padang Lawas, H Silitonga dan N Sidabutar, sebagai bentuk kesedihan karena merasa tanahnya diserobot PT SRL serta PT SSL, dua perusahaan hasil tanaman hutan.

Salah seorang pengunjuk rasa, Ronald, mengatakan, aksi menjahit mulut itu akan terus dilakukan, hingga pemerintah membantu mengembalikan tanah mereka.

Dikatakan, aksi menjahit mulut tersebut merupakan bentuk keseriusan dalam memperjuangkan tanah yang menjadi hak petani.

Ketika dipertanyakan tentang adanya keinginan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Padang Lawas memediasi petani dengan dua perusahaan itu, pengunjuk rasa mengaku belum mengetahui.

"Sampai saat ini, belum ada kami dengar," tuturnya.

Para petani dari Kecamatan Aek Nabara Barumun, Kabupaten Padang Lawas itu telah mengingap di gedung DPRD Sumatera Utara (Sumut) sejak Rabu (6/6).

Ketika berkunjung ke Kantor Gubernur Sumut pada Kamis (7/6) lalu, Pelaksana Tugas Bupati Padang Lawas, Ali Sutan Harahap, mengatakan, pihaknya akan memediasi warga dengan manajemen SRL dan SSL.

Sebenarnya, menurutnya, Pemkab Padang Lawas telah melakukan upaya penyelesaian dengan menurunkan tim dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang berdialog langsung dengan warga.

Namun, lanjutnya, proses penyelesaian tersebut membutuhkan waktu karena pihaknya juga perlu memiliki data tentang atas hak oleh warga atas lahan yang dikelola dua perusahaan itu.

Karena itu, pihaknya akan memediasi warga dengan dua perusahaan itu, agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

"Kami juga ingin masalahnya cepat selesai," kata Ali Sutan Harahap.  (ant/co)
-----------------------------

Kasus Padang Lawas Bukti Hukum Telah Jadi Alat Kekuasaan

Wahyudi Siregar - Okezone
http://news.okezone.com/read/2012/06/12/340/645432/kasus-padang-lawas-bukti-hukum-telah-jadi-alat-kekuasaan

MEDAN - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Sumatera Utara menilai aksi pembiaran oleh pemerintah propinsi dan Kepolisian Daerah Sumatera Utara, terhadap kasus penyerobotan lahan dan pembakaran rumah warga di tiga desa di Kabupaten Padang Lawas, adalah bentuk arogansi pemerintah.

"Ini lah bukti di negara kita ini hukum bukan lagi menjadi panglima, tapi sudah menjadi alat kekuasaan. Idealnya proses penuntasan kasus penyerobotan ini dilakukan berdasarkan undang-undang. Ditanggapi, ditabulasi kemudian di selidiki. Bukan main gusur atau main bakar. Kan bisa dibuka secara transparan, apalagi oknum polisi terlibat menggusur warga, apalagi statusnya belum jelas." kata Wakil Ketua DPD PDI-P Sumatera Utara yang juga Anggota DPRD Sumut Brilian Moktar, saat mendampingi puluhan petani asal Padang Lawas Utara, yang melakukan aksi mogok makan dan jahit mulut di depan kantor DPRD Sumut, Senin (11/6/2012) Malam.

Brilian mengatakan aksi unjuk rasa ini harusnya membuat pengambil kebijakan di Sumatra Utara malu, karena apa yang mereka sebut berjuang untuk rakyat selama ini, dibuktikan dengan pembiaran terhadap pembiaran yang terjadi langsung di hadapannya.

"Saya secara pribadi maupun secara lembaga sudah menyampaikan pada Kapolda dan Gubernur supaya segera menyelesaikan kasus ini, mereka sudah berjanji untuk segera mengambil sikap, tapi sampai sekarang setelah bermalam-malam aksi ini tetap berlanjut,” keluhnya.

Desakan petani pada DPRD memang belum maksimal ditindaklanjuti, karena panjangnya prosedur yang harus dijalani. Namun dengan desakan seluruh pihak, diharapkan persoalan ini dapat dijadikan prioritas oleh seluruh fraksi yang memiliki kepentingan berbeda-beda.

"Idealnya ada pansus yang kita buat untuk kasus ini, tapi kan prosesnya panjang. Biarlah ini di blow up, biar semua terbelalak. Di Dewan ini pun macam-macam kepentingan. Yang tak perduli pun ada." ucapnya.

Sejumlah anggota dewan lintas fraksi saat ini diakui Brilian sudah berkomitmen untuk mendorong penyelesaian kasus ini. Diharapkan ketiganya mampu menjadi pendobrak kebisuan Dewan.

"Ada saya, Syamsul Hilal dan Khaidir Ritonga yang sudah berkomitmen, beberapa lainnya sudah juga menunjukkan dukungan, doakan sajalah kami bisa mendobrak senyapnya kepentingan di dewan ini," tutupnya.


(ydh)

  

Selasa, 19 Juni 2012

Menuntut Profesionalisme POLRI dalam Kasus PTPN II Deli Serdang Sumut

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sawit Watch, Elsam, Walhi, YLBHI, *Komisi
Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan* (KontraS) dan warga Desa
Sei Mencirim dan Desa Namurube Julu, Deli Serdang mempertanyakan
profesionalitas aparat Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam penanganan
konflik tanah antara warga dengan PTPN II di Deli Serdang.

Konflik pertanahan yang sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu menyisakan
derita pedih yang tak berkesudahan. Sejak konflik mengemuka hingga saat ini
lebih dari 100 orang menjadi korban kekerasan. Termasuk 3 (tiga) orang yang
pernah ditembak aparat kepolisian di tahun 1998 lalu.

Peristiwa terakhir adalah diculiknya 6 (enam) warga hingga berujung pada
penahanan sewenang-wenang yang dilakukan oleh anggota kepolisian terhadap
Zakaria (46), Arifin Keliat (63), Alpiyan, Jafaruddin (42), Sapriadi (32)
dan Edi Polo (30).

Kami mensinyalir, penculikan dan penahanan sewenang-wenang ini merupakan
buntut dari peristiwa  tanggal 19 April dan 22 Mei 2012, dimana 2 kali
terjadi  bentrok antara warga dan PTPN II.  Saat itu pihak PTPN-II
mendatangi lahan milik masyarakat Desa Sei Mencirim dan Desa Namurube Julu
untuk melakukan okupasi lahan, melihat rombongan dari pihak PTPN-II
masyarakat sekitar melakukan penghadangan terhadap rombongan tersebut.
 Peristiwa  ini telah dilaporkan oleh warga tanggl 28 Mei 2012 ke Polsek
Kutalimbaru, namun hingga saat ini laporan tersebut tidak pernah
ditindaklanjuti oleh Kepolisian setempat.

Belakangan, aparat kepolisian malah cenderung agresif dengan melakukan
penculikan (penangkapan diluar prosedur)  dan penahanan sewenang-wenang
terhadap warga.  Alih-alih menindaklanjuti laporan masyarakat, yang terjadi
justru sebaliknya, aparat kepolisian bertindak sebagai centeng perkebunan
dengan melakukan berbagai tindakan intimidasi hingga kriminalisasi terhadap
petani. Sampai saat ini pun tindakan teror terhadap masyarakat masih tetap
berlangsung, seperti patroli dengan pasukan secara berlebihan pada jam-jam
tertentu seperti layaknya medan perang.

Terkait dengan peristiwa tersebut kami menuntut kepada Kapolda Sumatra
Utara untuk:

1.   Berhenti bersikap menjadi *centeng* perusahaan dalam
penanganan konflik perkebunan termasuk hentikan tindakan teror, intimidasi,
penculikan dan penahanan secara sewenang-wenang terhadap warga serta
menarik pasukan yang berlebihan dilapangan.

2.   Menindak dengan tegas aparat kepolisian yang melakukan
tindakan penculikan, penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai dengan
prosedur terhadap 6 (enam) orang warga tersebut.

3.   Memberikan akses seluas-luasnya bagi pemberi bantuan hukum
untuk membantu warga yang saat ini ditahan oleh kepolisian.

4.  Bersikap adil dan tidak memihak perusahaan, dengan
menindaklanjuti laporan warga ke Polsek Kutalimbaru pada tanggal 28 Mei
2012 dengan nomor laporan polisi: STPL/46/V/2012/Rest.Medan/Sek.
Kutalim,
terkait dengan penyerangan yang dilakukan oleh pihak PTPN-II tanggal 22 Mei
2012.

Selasa, 12 Juni 2012

A green or greedy economy? Sustainable development at risk

 

 
In Rio de Janeiro 20 years ago, world leaders gathered in search of a solution to the Earth’s sustainability. As a result, a concept called “sustainable development” was established.

The model integrated economic and social development with environmental sustainability. The agreement was also provided with action plan Agenda 21, but unfortunately, to this very day the aspirations of the world have not transpired. Instead, they have worsened with the escalation of starvation, global economic crisis and deteriorating environmental management. People start to realize that economic development will intensify pressure on our planet.

Luckily, this month, world leaders will again regroup in Rio, under the name “Rio+20”. The solution offered is green economy and the institutionalization of sustainable development.

The Rio de Janeiro Earth Summit of 1992 succeeded in grounding important basics for international cooperation in sustainable development, such as polluter payments, common but differentiated responsibilities and the precautionary principle.

Yet the ambiguity within this commitment occurs in its persistence to deify unlimited development. On the one hand, it acknowledges the rights and roles of indigenous people, especially regarding biodiversity preservation. On the other, industrial countries and corporations are guaranteed intellectual property rights over seeds and genetic resources.

In practice, the Rio agreement and action plan barely work. Facts and figures show that earth sustainability remains at risk. The current extinction rate of plants and animals is 1,000 times faster than during the prehistoric age. Forests are vanishing, ocean resources draining and agricultural biodiversity failing due to modern industrial agriculture. Furthermore, irregular climate change aggravates the destruction of environment irrecoverably.

An extreme example could be seen in the fisheries sector. The Food and Agriculture Organization (FAO) predicts 70 percent of the world’s fisheries have been completely exploited, overexploited or significantly deleted. This started in the 1950s when large-scale fishery industries began to operate.

The failure of this sustainable development commitment à la Rio 1992 is first of all caused by a more powerful economic development agenda compared to its sustainable development counterparts, due to influences from developed countries and corporations. Too focused on its economic affairs, social and environmental pillars are often neglected. As a result, economic, environmental and social crises occur, as well as the accumulation of wealth/capital and the weakening of state functions.

The second cause of failure is a stronger economic agreement between countries that includes the rejection of the Rio principles. Third is the substantial influence from global economic institutions without equal transparency for the people. Fourth is a lack means of implementation (financial, technological and capacity building) that is an integral part of cooperation to achieving sustainable development and fifth is poor integration to the three pillars of sustainable development at every policy level.

The limelight falls on the world’s main economic actors, namely transnational corporations (TNCs). Data from 2006 shows that there were 78,000 corporations whose assets reached US$51 trillion, compared to the aggregate of global GDP, which merely reached $48.5 trillion. Consequently, poor countries invite transnational corporations for investment in the hope of improving their local economy, while TNCs are interested in more efficient production costs by reducing environmental and labor standards.

On the other hand, state roles have weakened due to global economic domination. Globalization has created non-state actors who are in fact neck-deep in degradation and environmental destruction, while there are no binding international laws in place.

Attempting to justify persisting deviated development, the United Nations Environment Program (UNEP), with support from experts, launched a book titled Towards A Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication (UNEP, 2011). This concept in particular will be one of the objectives of Rio+20.

According to UNEP, one of the foundations is that there is no dilemma between economic advancement and environmental sustainability. If it turns out that “concurrent crises of different kinds” (the climate crisis, the crisis in biodiversity, fuel, food and water, and finally the financial system and the entire economy) have always existed, it is in fact the result of the “misallocation of capital”.

During these two decades, such big capital is only allocated for land, fossil fuel, and financial assets with its derivatives. Only a little is allocated to renewable energy, energy efficiency, mass transportation, sustainable agriculture, environmental protection, and biodiversity as well as to conservation of land and water.

Another viewpoint within the concept is the description regarding “market failures”, which is defined as an acknowledgment of the market concept failure of building civilization. However, why do responses to this concept still tend to signify maximization of short-term profits?

In reality, there are still numerous notions to be explored further within the Green Economy concept: First, the Green Economy is directed to the earth’s conservation by offering value/price to biomass, biodiversity and ecosystem functions that are integrated as sellable items to the financial market.

Second, the fact that the capacity of existing political systems are very limited in controlling and restricting markets due to political pressure and corporate-originated finances.

Third, the Green Economy’s main targets are developing countries wealthy in biodiversity, and fourth, the main actors who will be invited to be the motors of the green economy are transnational corporations and international financial institutions, the behaviors of which have run counter to sustainable development.

Adjacent to that, it needs to be addressed that the biggest challenge in reducing poverty is not relentless growth, but how to achieve fair distribution of the Earth’s limited resources. It is truly impossible to reduce poverty when 1 percent of the population controls a half of the planet’s prosperity resources.

If the concept of the Green Economy is not significantly altered during discussions at Rio+20, a Greedy Economy, as opposed to a Green Economy, will emerge, which will inevitably make the Earth and its population suffer. We should have learned from our own experiences by now.

The writer is national coordinator of the Alliance for Prosperous Villages.

http://www.thejakartapost.com/news/2012/06/13/a-green-or-greedy-economy-sustainable-development-risk.html#.T9gHZx4vlUQ.facebook