Rabu, 06 Juni 2012

KRONOLOGIS KONFLIK TANAH PADANG HALABAN (1942-2012)


1942
Jepang masuk ke Padang Halaban, bersama dengan kuli kontrak (Jawa) yang dibawa Belanda. Kuli kontrak diperintahkan untuk mengganti tanaman sawit dan karet menjadi tanaman pangan untuk logistik perang. 

1945
Kuli kontrak membangun desa-desa dari tanah konsesi yang telah diserahkan oleh pemerintah Jepang. Desa atau Kampung yang dibangun berada diareal dengan luas sekitar 3000 ha yakni:
1.       Panigoran (4 dusun),
2.       Sidomulyo,
3.       Karang Anyar,
4.       Sidodadi
5.       Purworejo,
6.       Kartosentono (Taman Sari, Banjar Sari, Brussel)
1954
Kampung-kampung ini diberikan bukti kepemilikan tanah berupa Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTTPT) yang diberikan oleh Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah (KRPT) a/n M. Harahap. Dilindungi oleh UU Darurat No. 8 Tahun 1954
1956
KTPPT diberikan kepada 2040 KK di 6 kampung dengan luasa sekitar 1-2 ha/kk. Selain itu, ada surat keterangan dari Kepala Kampung, surat gant rugi, surat peralihan warisan, IPEDA , KTP seorang masy. a/n Tabel (1956)
1962
Kampung Sidomulyo mendapat penghargaan sebagai desa terbaik di Sumut oleh Gubsu Ulung Sitepu.
1965
Masyarakat petani dituduh sbg BTI, sebanyak 119 orang tokoh desa yang dituduh terlibat BTI dihilangkan oleh TNI. Setelah itu, tanah diambil oleh TNI dan menjadi perkebunan kembali antara lain kepada NV. Sumcama (Brussel), yang kemudian dijual kepada PT. Plantagen AG dan PT. Serikat Putra. Kebun kebun ini kemudian dibeli oleh PT. Smart tahun 1970.
1966-1967
Terjadi intimidasi kepada masyarakat di 6 desa. Pemerintah desa dibantu TNI/Polri mengutip KTPPT KRPT milik masyarakat di 6 kampung dengan dalih data tersebut akan diperbaharui, jiak tidak diserahkan akan dituduh sebagai BTI.
1968
 Ada proses tawar menawar ganti rugi tanah. Tanah akan dijadikan perkebunan karet dan sawit untuk perusahaan PT. Plantagen AG. Proses ini tidak disepakati seluruh masyarakat. Akhirnya proses ganti rugi dipaksakan dengan todongan senapan oleh TNI.
1969-1972
Terjadi penggusuran masyarakat di 6 desa, dan seluruh penduduk desa direlokasi dan dikonsentrasi di sebuah tempat yang lebih sempit. Sebagai contoh,  desa Panigoran, dari 500 ha diperkecil menjadi 20 ha. Beberapa dusun hilang. Dari sekitar 3000 hektar perkampungan dan tanah warga di 6 desa, diperkecil menjadi hanya 100 ha. Penggusuran menggunakan bulldozer. PT Plantagen AG, pernah menjanjikan lahan seluas 3000 HA di lahan lain, tetapi ternyata lahan yang dimaksudkan sudah dikuasai HGU-nya oleh PT Jaya Selamat Abadi. HGU tersebut diterbitkan oleh Kepala Agraria kabupaten Labuhan Batu, Raja Sulung Bahsar.
PT Plantagen AG, kemudian menjual tanahnya kepada PT Smart, anak perusahaan Sinar Mas.
1972-1998
Pada periode ini, praktis tidak ada pergolakan, karena pemerintahan militer Suharto yang brutal.
1998
Sejak reformasi bergulir, keberanian petani mulai muncul, petani mulai mengorganisir diri dalam wadah kelompok tani, yang kemudian disebut Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS)
2000
Melihat banyaknya aksi unjuk rasa yang dilakukan petani, Gubsu menawarkan relokasi atau uang sebesar 20 juta. Masyarakat menolak, dan minta tanah dikembalikan kepada petani. KPTHS kemudian bergabung ke GERAG AGRESU
2001-2009
Karena situasi yang berlarut larut tanpa penyelesaian, petani melakukan reklaiming di areal eks tanah mereka di perkebunan PT Smart.
5 Maret 2009, masyarakat KTPHS melakukan reklaiming di kampung Sidomukti, dan berhasil menguasai tanah seluas 11 ha. 15 Maret 2009: reklaiming dilanjutkan ke Panigoran dan menguasai kurang lebih 20 ha, dan mendirikan 11 rumah di dalamnya.
18 Mei 2009: Gugatan perdata ke Pengadilan Negeri 3000 ha didaftarkan.
2010
Petani melakukan perluasan reklaiming menjadi 50 ha, dan membangun sebanyak 100 rumah di dalamnya. Gugatan KTPHS di pengadilan negeri kalah, dan kemudian naik banding ke Pengadilan tinggi di Medan.
2011
Ditanah reklaiming 50 ha, rumah rumah rakyat semakin banyak, da menjadi 200 rumah. Proses banding di Pengadilan Tinggi Sumatra Utara di Medan kalah, kemudian kasasi ke MA,  saat ini sedang menunggu proses di MA.
2012
Januari 2012: Tanah reklaiming semakin luas, dan menjadi 83 ha
3 Juni 2012. Peristiwa dipicu oleh kejadian pada pukul 10 malam, 3 Juni 2012, yakni terbakarnya bangunan pos penjagaan yang rencananya diperuntukkan untuk pos polisi, yang dibangun oleh perusahaan PT Smart di dalam area reklaiming petani Padang Halaban. Pos polisi itu terdiri dari bangunan semi permanen 3 x 5 meter, beratap seng.  Pukul 12 malam, sebanyak 5 truk polisi mendatangi lokasi kejadian, dan berjalan-jalan di sekitar rumah penduduk. Lewat tengah malam, kelihatan sebagian polisi tinggal di sekitar pos sekuriti PT Smart, dan sebagian lagi pergi.
4 Juni 2012. Pada pukul 13.00, tanggal 4 Juni 2012, ratusan polisi dari Polres Labuhan Batu mendatangi lokasi dimana para petani melakukan penguasaan lahan, sehingga terjadi perlawanan dari petani. 3 orang yang sedang duduk di kedai kopi langsung ditangkap oleh Pihak kepolisian. Melihat kejadian itu, ramai-ramai petani berkumpul, mendatangi, dan protes terhadap penangkapan 3 orang itu. Ketika mendekat, sekitar 10 meter, seorang diduga polisi, tidak memakai seragam, meminta supaya warga tidak mendekat. Karena tidak dihiraukan, terduga polisi mengacungkan pistol, dan melepaskan penembakan. Terduga polisi berseru: “Maju kalian, saya tembak”. Setelah melepaskan tembakan, terduga polisi segera melepaskan jaketnya, dan pergi mengendarai mobil Avanza berwarna hitam, meninggalkan teman-temannya.
Dalam waktu yang bersamaan, seorang petani, bernama Gusmanto, tergeletak berlumuran darah dibagian kaki. Petani diduga mengalami luka tembak, bernama Manto, alias Gusmanto, 18 tahun, penduduk desa Pulo Jantan. Dari pemeriksaan Puskesmas Aek kota Batu, ditemukan luka robek di betis kaki sebelah kiri, akibat terduga penembakan. Tetapi, Humas Polres Labuhan Batu, AKP MT Aritonang, menyangkal adanya penembakan terhadap petani. Saat ini tim dari Lentera sedang melakukan investigasi terhadap korban yang diduga korban penembakan.
Tiga orang petani mendapat perlakuan kekerasan berbentuk pemukulan, dan saat ini telah ditangkap oleh Polres, antara lain Adi suma 45 th, penduduk desa Sidomulyo, Sum alias Sumbing, 30 tahun, desa Siamporik, dan Suma, 50 tahun, dari desa Pulo Jantan.
Polisi yang bersenjata lengkap akhirnya berhasil menangkap 60 orang petani, dan membawanya ke kantor Polres Labuhan Batu dengan memakai tiga unit truk Dalmas. Mereka ditangkap secara paksa, disisir dari rumah kerumah dan akhirnya menyerahkan diri tanpa perlawanan. Saat ini semua petani dimaksud berada di Polres Labuhan Batu.
Sementara itu, sekitar pukul 15.40, tanggal 4 Juni 2012, di area konflik, puluhan orang dari pekerja perusahaan mendirikan posko berdekatan dengan posko-posko milik petani Padang Halaban. Kemudian, pihak petani yang terdiri dari perempuan sebanyak 50 orang, melakukan perlawanan.
5 Juni 2012. Sekitar 10 pagi, sebanyak 50 orang petani yang ditangkap dipulangkan, sementera 10 orang sisanya tetap ditahan di Polres Labuhan Batu, yakni; Adi Suma (dugaan pembakaran pos polisi), Purwono (Dugaan pengancaman satpam), Rakimin, Katijan (dugaan penebang pohon sawit, februari 2012), Rame, Adi Harahap alias Sumbing, Amir, Edi, Juaris Harahap, Nasib Bunder (Dugaan pencurian buah sawit). Sore hari, Beko/Esvakator mulai diarahkan ke areal tanah reklaiming, dibawah pengawalan Brimob yang didatangkan dari Tanjung Balai. 
6 Juni 2012. Ratusan polisi dari Dalmas dan Brimob, satpam PT Smart dan pam swakarsa melakukan pengrusakan terhadap perumahan, lahan pertanian, dan tanaman holtikultura yang dimiliki petani. Syafii, sekretaris KTPHS, Rasim, Gusmanto dan Aan Sagita ditetapkan sebagai DPO.
(Tim Lentera)


Sekilas Konflik antara PT Smart dengan KPTHS

PT Smart adalah anak perusahaan Sinar Mas Group, salah satu perusahaan perkebunan sawit terbesar seluruh Indonesia. PT Smart mengklaim memiliki lahan seluas 7.464, 92 hektar di Padang Halaban, dengan 1 unit pabrik kelapa sawit sebagai tempat pengolahan sawit mentah.
10 desa(sebelum pemekaran, 6 desa) di sekitar perkebunan saat ini sedang berusaha mereklaim tanahnya seluar 3.000 dari 7.464, 92 hektar tanah yang diusahai oleh PT Smart. Hingga saat ini, petani mengklaim telah berhasil mengambil alih tanah seluas 52 hektar secara faktual.
Versi PT Smart, tanah di akuisisi dari Perusahaan perkebunan Plantagen AG sekitar tahun 1970-an. Sementara versi warga kelompok tani yang tergabung dalam KTPH-S (Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya), warga telah mendapat ijin garap seluas 3.000 hektar di Padang Halaban, sejak tahun 1945, ketika pendudukan Jepang, dan dikukuhkan oleh pemerintah Soekarno dengan surat KTTPT (Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan atau memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5 Tahun 1960. Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar pajak atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu.  Pada awal pemerintahan Suharto, penggusuran mulai terjadi kepada petani.(Tim Lentera)

Tidak ada komentar: