Rabu, 30 Maret 2011

36 LSM Nyaris Bentrok dengan Pengusaha Sawit

36 LSM Nyaris Bentrok dengan Pengusaha Sawit

Selasa, 29 Maret 2011 23:04 | Oleh Kartini Zalukhu | | |

LSM dari berbagai daerah lakukan aksi di depan Hotel Tiara Convention Center | Dokumentasi

Medan, suarausu-online.com – Tiga puluh enam lembaga swadaya masyarakat yang melakukan demonstrasi, nyaris bentrok dengan Gabungan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Aksi tersebut berlangsung di depan Hotel Tiara Convention Center dan dilanjutkan di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara, Selasa (29/3).

Ratusan massa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia tersebut menyatakan sikapnya yang menolak ekspansi perkebunan yang dilakukan pengusaha sawit. Mereka juga mengkritik penyelenggaraan Semarak Seratus Tahun Industri Kelapa Sawit di Indonesia yang diadakan GAPKI di Hotel Tiara Convention Center (28-30/3).

Sempat terjadi aksi saling dorong antara massa dan pengusaha sawit yang keluar dari hotel. Keadaan semakin memanas ketika massa membakar replika bola dunia dan berorasi di atas salah satu mobil yang diparkir. Namun petugas kepolisian langsung melerai kedua belah pihak.

Massa menyerukan bahwa UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan telah merugikan rakyat serta mendesak Bank Internasional, Bank nasional dan Bank Asing untuk menghentikan kredit kepada pengusaha yang ingin memperluas perkebunan sawit. “Sudah seratus tahun berlalu namun rakyat tetap menderita,” ujar Fuad, koordinator aksi.

George Junus Aditjondro, salah satu peserta demo yang juga penulis buku kontroversial, Membongkar Gurita Cikeas turut berorasi. “Pengusaha-pengusaha itu dilindungi pemerintah. Padahal sudah jelas-jelas ekspansi sawit hanya menguntungkan para pengusaha,” ucapnya.
http://suarausu-online.com/new/index.php?option=com_content&view=article&id=618:36-lsm-nyaris-bentrok-dengan-pengusaha-sawit&catid=35:berita-kota&Itemid=18

Batasi Korporasi, Mandirikan Petani Sawit

Rabu, 30 March 2011

Seabad perkebunan kelapa sawit di Indoesia, lebih produktif konflik ketimbang produksi.

Pemerintah seharusnya mulai mendesain masa depan petani kelapa sawit untuk mandiri. Yaitu, dengan melakukan transformasi struktur perkebunan yang dimulai dari evaluasi izin usaha perkebunan serta membatasi penguasaan Hak Guna Usaha hingga 90 tahun.

“Meski perkebunan sawit di Indonesia sudah seabad, kebijakan soal masa depan petani kelapa sawit makin mundur,” papar Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit, Mansuetus Darto saat peringatan seabad perkebunan sawit di Pekanbaru, Riau, seperti dikutip siaran pers Walhi, Rabu (30/3).

Seorang petani kelapa sawit di Riau, Yuslim, dalam siaran pers sama menguraikan kondisi yang dia alami. Dia menjelaskan, masih berlangsung konflik petani yang bermitra dengan pemilik lahan, PT TBS. “Juni tahun lalu, ibu Yusniar tewas tertembak polisi karena berjuang agar mendapat lahan yang seharusnya dia miliki,” tuturnya.

Yuslim menerangkan lahan kelapa sawit TBS dikelola dengan sistem plasma-inti. Dia mencatat, hingga kini, kebun yang tidak diberikan kepada petani sekira 1.700 hektare (ha) oleh TBS.

Yuslim memaparkan, masyarakat menduduki kebun inti. Namun, TBS belum merespon. Konflik disebabkan akibat TBS membangun kebun plasma setengah hati. Padahal, kredit sudah maksimal untuk membangun kebun plasma yang lebih baik.

Dia menyayangkan, dalam setiap konflik, TBS selalu melibatkan aparat Kepolisian. Tindakan aparat kepolisian dinilai berlebihan. “Apalagi kalau TBS bermasalah dengan petani,” tandasnya.

SPKS mencatat, contoh kasus lain seperti TBS dilakukan juga oleh PT MAI dan PT Torganda di Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Kedua perusahaan itu mencaplok ladang-ladang masyarakat. Selanjutnya, mengusir paksa masyarakat dan membakar rumah-rumah penduduk pada tahun 2010.

Hariansyah Usman, Direktur Walhi Riau menguraikan, konflik paling tinggi di Riau terjadi di perkebunan. Tahun 2010, sekitar 24 persen dari total luasan kebun terjadi konflik.

Luasan konflik disebabkan masih berlakunya model paksa seperti zaman penjajahan dulu. SPKS mencatat, tahun 2010 sebanyak 129 petani kelapa sawit di kriminalisasi hingga dipenjara. “Cara penjajahan masih dipraktikkan pada masa saat ini,” tandas Hariansyah.

Menurut catatan SPKS, sebanyak 20.117 ha kebun rakyat di Riau belum diremajakan. Keadaan itu terjadi karena banyak penolakan petani kelapa sawit yang menentang pola manajemen satu atap dalam revitalisasi perkebunan. Pola manajemen satu atap di atur melalui, Permentan No.33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan dan Permenkeu No.117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan.

Pola manajemen satu atap adalah pengelolaan kebun plasma yang dilakukan oleh perusahaan baik dalam hal menanam, memelihara hingga memanen dan mengambil hasilnya. Petani akan mendapatkan hasil bersih yang diberikan perusahaan.

Luas perkebunan kelapa sawit di Riau seluas 2,8 juta dan sekitar 50,51 persen dikelola oleh 356.000 Kepala Keluarga (KK). Sisanya dikuasai beberapa perusahaan perkebunan dan sekira 50 persen dari luas perkebunan swasta dikuasai oleh Malaysia.



Selain itu, menurut temuan Walhi, ekspansi kebun sawit di hutan gambut berkontribusi besar terhadap tingginya angka deforestasi serta peningkatan emisi karbon provinsi Riau. Setiap kejadian bencana asap selalu saja ditemukan titik api dalam areal konsesi perusahaan kebun. “Kala momentum satu abad ini, pemerintah Riau melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait ambisi menjadi produsen sawit terbesar,” tutur Hariansyah.

Walhi mencatat, kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada era 1870-an.

Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura" (Wikipedia, 2008).

Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial. Hal itu dirintis di Hindia Belanda oleh Adrien Hallet, seorang Belgia. Jejak itu diikuti K Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama di Indonesia berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh.

Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912.

PEOPLE VS GAPKI ON A CENTURY OF PALM OIL PLANTATION

Medan, Indonesia, March 29, 2011

National conference of civil society groups on a century of palm oil
plantation as an alternative and against celebration on a century of
economic achievement of the palm oil industry by GAPKI (Business
Association of Palm Oil) located in Medan was quite tense.

The people conference organized by 35 civil society groups and 200
supporters from grass roots in Indonesia was officially opened by
National Commision of Human Rights, KOMNAS HAM chairman, Ifdal Kasim,
27 March 2011, while the conference of GAPKI was opened by vice
minister of Agriculture, Bayu Krisnamurti, March 29, 2011.

The people conference shouted to stop the government plan to open 20
million hectares of oil palm which were proposed by GAPKI. The reasons
as written in the people declaration, the 8 million hectares
plantation have been destroying forests, conflicts with thousands of
peasant groups, destroying rice field, and is regarded as the biggest
contributor to carbon emissions because of peat land clearing.

GAPKI claims that 4.7 million hectares of oil palm are belongs to
corporation, and the remain, 3.3 million hectares of oil palm
plantations belongs to the peasant or smallholders. But from the
people conference perspective, proven by research, the 3.3 million
hectares are not belongs to the people. In fact, the owners are an
individual's political elite, bureaucracy and military, with an area
land from 50 hectares to 300 hectares. Thus, the term of peasants or
smallholders is mislead. The declaration stated they may say as
non-corporation owners, or Corporate-satellite owners.
The oil palm farmers joined in SPKS (Farmers' Union of Palm Oil) have
less than 10 hectares of land, or at most 2 hectares. Indonesia
government's official statistic stated that farmers in Indonesia have
land below 0.5 hectares.

Various attempts were made by GAPKI to cover up civil society
aspirations. Persons suspected to have links with GAPKI repeatedly
took down the banners of the people. In addition, at the time of
people conference, the police tried to disperse people's conferences,
but ultimately failed because the committee was able to show the
legality of the conference. The conference performed exactly in the
same place, different conference rooms with GAPKI.

On the last day of the people conference, about 700 participants of
the people groups perfomed rally from Representative building, Tiara
Hotel, and Governor Buiilding. Conflict was inevitable when theatrical
actions shown by people in front of the GAPKI conference, Tiara
Convention Hall. At the same time, the GAPKI conference having speech
by deputy minister of agriculture, Bayu Krisnamurthi, distracted by
the demonstration.

Media coverage witnessed very little of the people conference,
especially the TVs, which at that moment are in the both conference
places. Some media gave fair and balance coverage are Medan Bisnis
Daily, Detik.Com, Primaironline, Kompas.com, and Waspada. Other media
seen did not give balanced coverage.

Saurlin siagian
Executive Committee of the Alternative conference.

Selasa, 29 Maret 2011

Pembukaan Konferensi Seabad Sawit Didemo

MEDAN, KOMPAS.com - Ratusan orang yang tergabung dalam 35 lembaga non pemerintah, Selasa (29/3/2011) menggelar aksi unjuk rasa terhadap berlangsungnya pembukaan konferensi seabad sawit yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia di Hotel Tiara, Medan.

Mereka menyerukan penghentian ekspansi sawit dan pencabutan UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Para demonstran juga mendesak dunia perbankan menghentikan kredit pada korporasi dalam rangka ekspansi sawit. Sejumlah orator mengatakan sawit bukan semata-mata soal uang, namun soal kelangsungan lingkungan.

Salah satu peserta demo, George Junus Aditjondro dalam orasinya mengatakan sawit terbukti mengancam keberlangsungan bumi karena emisi karbon yang ditimbulkannya.

Pembukaan lahan sawit telah merusak hutan dan membuat ancaman emisi karbon semakin nyata. Selain itu pembukaan lahan telah menimbulkan banyak konflik agraria.

Sejumlah aktivis kemudian membakar tiruan bola dunia yang mereka bawa. George mengatakan kalau di sini hanya tiruan bola dunia yang terbakar, tapi sawit membakar dunia.

Sempat terjadi saling dorong antara demontran dan petugas keamanan berpakaian seragam dan berbaju batik, diiringi teriakan peserta konferensi, akibat demonstran berorasi di atas salah satu mobil yang diparkir. Namun secara keseluruhan aksi berlangsung damai.

Para demonstran juga menampilkan aksi teatrikal konspirasi pejabat dengan pengusaha dalam membuka lahan sawit. Para demonstran menuntut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurti yang membuka acara untuk menemui mereka, namun hingga akhir demonstrasi, tak ada yang menemui para demonstran.

Dalam konferensi pers, Ketua Umum Gapki Joefly Bahroeny mengatakan demonstrasi yang terjadi hanyalah bagian dari kampanye hitam pada sawit dan bagian dari persaingan dagang. "Banyak orang perlu waktu untuk bisa memahami sawit," kata dia.

Joefly mengatakan Eropa sangat keras menenang kebijakan sawit di Indonesia dengan mengatakan sawit Indonesia tak ramah lingkungan, namun pada kenyataannya Eropa tetap menerima CPO dari Indon esia dan menjadi negara tujuan ekspor ke-dua terbesar setelah India. Joefly mengakui mungkin ada pelanggaran di puluhan ribu hektar, namun tidak bisa dipukul rata pada 7,9 juta hektar lahan sawit yang sudah dibuka.

Menurut Joefly Indonesia akan menjadi negara dengan produsen biofluel terbesar di dunia maka tekanannya banyak.

Direktur Eksekutif Gapki Fadil Hasan mengatakan George Aditjondro tak punya pengetahuan sedikitpun soal industri sawit sebab ia sosiolog. "Apa yang dia bilang justru sebaliknya. Sawit mengeluarkan oksigen dan mengurangi pemanasan global. Sebanyak 42 persen areal sawit punya petani kecil. Tolong ini dikatakan pada dirinya," kata Fadil.

Karena demonstrasi itu, Bayu Krisnamurti yang diagendakan menjadi narasumber dalam konferensi pers batal hadir karena telah meninggalkan ruang konferensi.



http://regional.kompas.com/read/2011/03/29/15231450/Pembukaan.Konferensi.Seabad.Sawit.Didemo

KONFERENSI RAKYAT VERSUS GAPKI

konferensi nasional alternatif yg digagasi kelompok rakyat sebagai
tandingan terhadap perayaan GAPKI ( Gabungan Pengusaha Sawit
Indonesia) bertempat di Medan berlangsung cukup menegangkan.

Konferensi rakyat dibuka secara resmi oleh ketua KOMNAS HAM, Ifdal
Kasim,27 Maret 2011, sementara konferensi GAPKI dibuka oleh ketua DPRDSU, Saleh
Bangun, 28 Maret 2011.

Kelompok rakyat menyuarakan untuk menghentikan rencana pemerintah
membuka 20 juta hektar lahan sawit yang diproposalkan oleh GAPKI.
Kelompok rakyat beralasan, lahan yang ada sekarang saja, 8 juta
hektar, telah menghancurkan kawasan hutan, konflik dengan ribuan
kelompok petani, menghancurkan pertanian padi, dan dianggap sebagai
penyumbang terbesar emisi karbon karena pembukaan lahan gambut.

GAPKI mengklaim, bahwa 4,7 juta hektar lahan sawit adalah milik
korporasi, dan terdapat 3,3 juta hektar sebagai lahan perkebunan sawit
milik rakyat atau petani sawit. tetapi dari penelitian kelompok
masyarakat sipil, 3,3 juta hektar yang disebut GAPKI sebagai lahan
rakyat adalah bohong. karena ternyata para pemilik lahan tersebut
adalah perseorangan elit politik, birokrasi, dan militer, dengan luas
lahan antara 50 hektar hingga 300 hektar. Penyebutan yang tepat adalah
kepemilikan korporasi 4,7 juta hektar, dan non korporasi-satelit
korporasi seluas 3,3 juta hektar.

Sementara petani sawit yang tergabung dalam SPKS (Serikat Petani
Kelapa Sawit), memiliki lahan kurang dari 10 HA, atau paling banyak 2
HA. Dari data resmi pemerintah, petani di indonesia memiliki lahan
rata rata dibawah 0,5 HA.

Berbagai upaya dilakukan GAPKI untuk menutup-nutupi aspirasi
masyarakat sipil indonesia. Pihak yang diduga berasal dari GAPKI telah
menurunkan berulangkali spanduk-spanduk rakyat. selain itu, pada saat
konferensi, polisi berusaha membubarkan konferensi rakyat, tetapi
akhirnya gagal karena panitia berhasil menunjukkan legalitas pertemuan
yang dilakukan persis di tempat yang sama, beda ruang konferensi
dengan GAPKI.

Pada hari terakhir konferensi, benturan tidak bisa dihindari ketika
kelompok rakyat melakukan aksi teatrikal, karena dianggap telah
mengganggu acara utama GAPKI, kata sambutan dari wakil menteri
pertanian, Bayu Krisnamurti.

liputan-liputan media dapat disaksikan sangat minim mengenai
konferensi rakyat, khususnya media Televisi, yang pada saat itu juga
berada di tempat kedua konferensi. beberapa media yang memberi
pemberitaan cukup berimbang adalah Harian Medan Bisnis, Detik.Com,
Primaironline, Waspada, dan Kompas. Media lain, sejauh pengamatan
kami, tidak memberikan pemberitaan yang berimbang.

Petani dan LSM Protes Fakta Kelapa Sawit

Terkini Selasa, 29 Mar 2011 23:10 WIB

MedanBisnis-Medan.Demo menentang fakta kelapa sawit oleh petani dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) berakhir ricuh. Akibat aksi membakar miniatur bola dunia yang dekat dengan kendaraan peserta konferensi 100 tahun industri kelapa sawit di Indonesia, di depan Hotel Tiara Medan, Selasa (29/3), polisi sempat akan menangkap salah satu pendemo tersebut.
Aksi membakar dilakukan setelah terjadi adu mulut antara pendemo dengan pihak perusahaan perkebunan dan kepolisian. Selang beberapa menit, salah seorang pendemo langsung membakar miniatur bola dunia yang diletakkan di tengah-tengah antara mobil peserta konferensi.

Sempat ada pemukulan antara polisi dan pendemo namun akhirnya bisa dilerai dan demo kembali dilanjutkan dengan orasi dan teatrikal yang menggambarkan penindasan perusahaan perkebunan terhadap buruh sawit.“Sawit bukan sahabat rakyat. Sawit tidak memberikan keuntungan kepada rakyat!,” ujar salah satu pendemo.

Selain itu juga, pendemo meminta pemerintah mengembalikan tanah rakyat yang di rampas oleh korporasi perkebunan sawit. Selain itu, pemerintah harus menyediakan lahan untuk pertanian pangan dan lainnya.

Aksi demo diakhiri dengan teatrikal yang menggambarkan penindasan dialami pekerja dan buruh kelapa sawit sehari-hari. Ajakan untuk bertemu dengan Wamentan Bayu Krisnamurthi di tolak oleh pendemo karena menurut mereka tidak akan ada langkah konkrit yang diperoleh mereka.“Kami menolak bertemu dengan Wamentan karena tidak akan ada hasil menggembirakan,” ucap Ketua Serikat Petani Indonesia, Wagimin mengakhiri aksi demo.

Usai dari Tiara Convention Center, pendemo langsung menuju ke Kantor Gubernur Sumatera Utara (Gubsu). Di sana pendemo tidak diterima oleh siapapun.

Menanggapi aksi tersebut, Ketua Umum Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Pusat, Joefly J Bahroeny mengatakan, justru saat ini lahan sawit paling luas adalah milik rakyat. Dari 8 juta hektar luas areal kelapa sawit yang ada, 40% diantaranya milik rakyat.“Jadi kalau ditanya sawit ini tidak memberikan keuntungan justru salah karena sebagian besar itu milik rakyat,” ucapnya.

Sementara, Wakil Mentri Pertanian, Bayu Krisnamurhti menyatakan, tuntutan yang diminta kepada pendemo dalam aksi tersebut harus dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah setempat. "Semua permasalahan bisa diselesaikan. Jadi pemerintah daerah harus mengambil kebijakan dalam menyelesaikan semua tuntutan tersebut," katanya.( yuni naibaho)

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/03/29/26363/petani_dan_lsm_protes_fakta_kelapa_sawit/

35 LSM Tolak 20 Juta Ha Perkebunan Baru

Terkini Senin, 28 Mar 2011 23:05 WIB
35 LSM Tolak 20 Juta Ha Perkebunan Baru

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/03/28/26159/35_lsm_tolak_20_juta_ha_perkebunan_baru/

MedanBisnis-Medan. 35 lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Sumut yang konsen terhadap permasalahan perkebunan mendeklarasikan penolakan wacana pemerintah untuk membuka lahan baru seluas 20 juta hektar untuk perkebunan. Aksi penolakan ini disampaikan dalam deklarasi seratus tahun perkebunan sawit di Indonesia, di ruang Dharma Bakti Hotel Tiara Medan, Senin (28/3).
Seperti diketahui maret 2011 ini diperingati sebagai moment 100 tahun perkebunan sawit masuk ke Indonesia di Hotel Tiara, Medan. Momentum ini diperingati 2 kubu yang berbeda pandangan mengenai perkebunan sawit yang ada, yakni kubu para pengusaha kelapa sawit dan juga kubu LSM yang mengkritisi perkebunan sawit.

Adapun kubu LSM diisi oleh 35 LSM antara lain KPS, Lentera, Walhi Sumut, ELSAM, BITRA Indonesia, Sawit Watch, ELSAKA, Serikat Petani Indonesia, Sintesa, Gemawan Kalbar, Walhi Kaltim, Setara Jambi, JKMA Aceh, Jikalahari Riau, FOKKER LSM Papua, Green Peace dan ADS.

Ketua Komite Eksekutif Konferensi Alternatif 100 Tahun Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, Saurlin Siagian mengatakan, rencana pemerintah membuka lahan baru seluas 20 juta hektar untuk perkebunan kelapa sawit hanya akan menambah banyaknya persoalan yang terjadi antara masyarakat dengan pihak korporat."Dengan luas perkebunan 8 juta hektar seperti saat ini saja, banyak konflik yang timbul terutama antara korporat dengan masyarakat adat karena penyerobotan lahan," ujarnya.

Dikatakannya, peringatan 100 tahun perkebunan di Indonesia belum mampu memberikan pengaruh yang positif bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan pemberian upah dan biaya kesehatan yang rendah, menunjukkan sitem perbudakan masih berlaku. “Ini sangat merugikan masyarakat," katanya.

Pendapat bahwa ekspansi sawit akan menyerap tenaga kerja (buruh) dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan, dikatakan Saurlin, merupakan suatu kebohongan. Dari asumsi hitungan pemerintah kalau 20 juta hektar lahan perkebunan akan menyerap sekitar 10 juta buruh sangatlah jauh dari kenyataan. Fakta yang ditemukan dilapangan dalam 100 hektar lahan hanya menyerap sekitar 22 orang tenaga kerja, sehingga dengan 20 juta Hektar hanya mampu menyerap 4,4 juta buruh.

Praktek kuli kontrak dibangkitkan kembali dalam bentuk baru yaitu Buruh Harian Lepas (BHL), dan tukang berondolan yang bekerja setiap hari tanpa jaminan kerja bahkan tanpa ikatan kerja yang jelas.

"Mereka telah menyumbang sangat besar dalam upaya penunjang proses produksi, tapi mereka pula lah yang tidak memperoleh jaminan sosial sebagai pekerja," imbuhnya.

Hal senada disampaikan oleh Taufiq dari LSM Sintesa. Menurutnya konflik yang terjadi antara warga dengan korporat pemilik perkebunan juga sepertinya tidak mampu diredam oleh pemerintah dengan regulasi yang ada.

Justru regulasi dibidang perkebunan membuat potensi konflik semakin tinggi, karena didalamnya tidak ada batasan atau cluster untuk tanaman perkebunan di Indonesia.

Karena itu Forum Masyarakat Sipil Indonesia yang tergabung dalam Konferensi Alternatif Satu Abad Sawit meminta pemerintah menghentikan ekspansi perkebunan sawit, cabut Undang Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joefly J Bahroeny mengatakan, soal tudingan LSM hanya perlu ditanggapi dengan arif.

"Kita minta LSM yang ada harus memahami terlebih dahulu tentang semua kampanye negatif tersebut. Jangan terkontaminasi dari negara-negara pesaing yang memang tidak menginginkan Indonesia maju khususnya dalam produksi kelapa sawit," pungkasnya. (yuni naibaho)

Konferensi Sawit Ala LSM di Medan

Konferensi Sawit Ala LSM di Medan
Oleh Diana Saragih on Mar 28th, 2011
http://www.bisnis-sumatra.com/index.php/2011/03/konferensi-sawit-ala-lsm-di-medan/

MEDAN : Peringatan 100 tahun perusahaan kelapa sawit di Medan dihelat dua elemen masyarakat.Pertama Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumut dan kedua, Koalisi Nasional LSM Indonesia yang terdiri dari 35 LSM yang berasal dari Sumatra, Kalimantan, Papua, dan Jawa.
Di antaranya Walhi, Green Peace, Bakumsu, KPS, LBH Medan, Sintesa. Dua elemen ini sama-sama menggelar rangkaian acara berupa pameran hasil kebun sawit dan konferensi sejak 28 Maret hingga 30 Maret 2011 ini. Bedanya, muatan kepentingan atas peringatan kali ini sedikit berbeda.
GAPKI Sumut yang terdiri dari sejumlah pemilik kebun berupaya keras agar pemerintah bisa aktif memberikan dukungan terhadap pengembangan perkebunan dan ekspor dari kelapa sawit. Sementara itu Koalisi Nasional LSM yang membuat konferensi alternatif lebih menitikberatkan kepada isu perburuhan dan lingkungan yang merugi karena ekspansi sawit.
Menurut Kordinator Sintesa Abednego investasi korporasi hanya membawa derita bagi rakyat Indonesia, kerakusan industri ekstraktif, telah mematikan DAS, merusak hutan primer, lebih dari 5.000 DAS yang berada di Kawasan Taman Nasional mati akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Banjir terus meningkat pengungsi setiap tahun semakin bertambah dan meluas. Sementara para
pengusaha perkebunan kelapa sawit yang tergabung di dalam GAPKI hanya ingin merampas dan menguasai sumber-sumber agraria.
Pemerintah telah melalaikan tugasnya untuk melindungi warga negaranya, yang seharusnya mendapatkan perlindungan yang maksimal.
Komersialisasi sawit di Indonesia dimulai sejak tahun 1911. Seiring berjalannya waktu, komersialisasi berkembang ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi yang massif terutama 10 tahun terakhir ini. Ekspansi tersebut dipicu oleh tingginya permintaan pasar global Crude Palm Oil (CPO) baik untuk keperluan produk bahan makanan, aneka produk kosmetik maupun energi (agrofuel).
Ekspansi sawit mendapat dukungan lembaga keuangan internasional yang mendorong lahirnya berbagai kebijakan pemerintah dengan dalih peningkatan devisa negara, mengatasi krisis ekonomi, pengangguran dan pengentasan kemiskinan di pedesaan.
Abednego menegaskan, dari hasil sejumlah penelitian yang dilakukan pihaknya, argumentasi bahwa ekspansi sawit akan menyerap tenaga kerja (buruh) dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan suatu kebohongan. Asumsi hitungan pemerintah dan korporasi yang menyebutkan bahwa 20 juta hektare lahan perkebunan akan menyerap sekitar 10 juta buruh sangatlah jauh dari kenyataan. Fakta yang ditemukan di lapangan bahwa dalam 100 Hektare lahan hanya menyerap sekitar 22 orang tenaga kerja sehingga dengan demikian dengan 20 juta Hektare hanya menyerap 4,4 juta buruh.
Saat ini luas perkebunan sawit mencapai 7,9 juta hektare, dengan komposisi ke pemilikan 65% dikuasai oleh korporasi dan 35% oleh non korporasi atau petani berdasi. Kekuatan korporasi dalam kerangka ekspansi, memperoleh dukungan dari 20 bank besar di dunia a.l Bank Dunia (World Bank), Asian Development Bank (ADB) yang mengakibatkan hilangnya hak hidup masyarakat dan terjadinya kerusakan hutan, hancurnya ekosistem, krisis pangan dan air bersih, serta hancurnya budaya kolektif masyarakat adat.
Fenomena perburuhan di perkebunan sawit juga mengenaskan.
Gindo Nadapdap dari Kelompok Pelita Sejahtera, sebuah LSM pendamping buruh di Sumut mengatakan praktik kuli kontrak dibangkitkan kembali dalam bentuk baru yaitu Buruh Harian Lepas
(BHL) di sejumlah perkebunan di Sumut. Termasuk tukang berondolan yang bekerja setiap hari tanpa jaminan kerja bahkan tanpa ikatan kerja yang jelas serta tidak memperoleh jaminan sosial sebagai pekerja meskipun sumbangan mereka sangat besar dalam upaya menunjang proses produksi perkebunan. “Inilah fenomena perusahaan sawit di usianya yang 100 tahun,” ujar Gindo.
Konflik Tanah
Sejarah perkebunan kelapa sawit di Sumut tidak lepas dari konflik lahan antara pengusaha dan petani dan rakyat setempat.
Kordinator Advokasi BAKUMSU Saurlin Siagian mengatakan korporasi sawit melahirkan konflik agraria terutama konflik lahan sebagai dampak kapitalisasi perkebunan. Konflik lahan merupakan warisan kolonial perkebunan yang hingga saat ini masih terus berlanjut melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang menjamin masa waktu 95 tahun bagi korporasi untuk menguasai lahan dengan tidak ada pembatasan yang jelas.
Hal ini jelas-jelas merupakan kebangkitan kembali kebijakan zaman kolonial yaitu onderneeming ordonatie dan agrarichst wet 1870 yang menjamin penguasaan lahan selama 75 tahun di wilayah Sumatra Timur. Padahal substansi dan kenyataan aturan kolonial ini sudah dikoreksi oleh UUPA. Akibatnya tidak hanya kondisi kolonialisme muncul kembali, petani miskin yang memperjuangkan
tanah dan penghidupannya dari korporasi sawit pun tergusur, mereka malah seringkali di kriminalisasi. Hal ini disebabkan kemenangan korporasi sawit yang mengakibatkan seluruh wilayah republik ini dapat ditanami dengan tanaman perkebunan tanpa syarat yang mutlak.
Wakil Bupati Serdang Bedagai Soekirman yang menjadi salah satu narasumber pada seminar peringatan 100 tahun sawit oleh Koalisi LSM mengatakan daya bertahan dan daya berkembang petani pangan di sekitar perkebunan sawit menurun dan bahkan terancam hilang. Pertanian pangan secara besar-besaran berganti menjadi perkebunan sawit. Akibat konversi dari tanaman pangan ke tanaman sawit menyebabkan luas lahan tanaman pangan berkurang secara signifikan yang mengakibatkan hancurnya kedaulatan pangan.
“Dulu di wilayah Leidong Kabupaten Labuhanbatu terkenal dengan beras ramosnya, tapi sekarang lahan sawah di sana sudah dialihkan menjadi kebun sawit. Ini sungguh disayangkan mengingat saat ini kerawanan pangan sudah di depan mata,” ujarnya. (k3)
BERITA TERKAIT

Deklarasi Tolak Ekspansi Kebun Sawit

Deklarasi Tolak Ekspansi Kebun Sawit
TUESDAY, 29 MARCH 2011 16:53 IGNATIUS INDRO, REPORTER GREEN RADIO
http://www.greenradio.fm/news/latest/5366-deklarasi-tolak-ekspansi-kebun-sawit-

Puluhan organisasi non pemerintah mendeklarasikan Satu Abad Kejahatan Korporasi Sawit Di Indonesia, yang isinya menolak rencana pemerintah untuk melakukan ekspansi perkebunan sawit seluas 20 juta hektar.

Ketua panitia konferensi alternative 100 tahun sawit, Saurlin Siagian, menilai ekspansi perkebunan sawit itu bersifat merusak dan menyebabkan konflik yang semakin berkepanjangan dengan masyarakat. Ditambah kerusakan lingkungan yang dipicu oleh pembukaan lahan hutan. Deklarasi ini telah diserahkan dalam sidang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) di Medan.

”Dengan 8 juta hektar perkebunan sawit yang ada saja sudah menyebabkan konflik ratusan ribu petani dengan perkebunan sawit, apa lagi bila ada ekspansi sebesar 20 juta hektar. untuk itu ekspansi tersebut harus ditolak!" tegasnya.

Saurlin Siagian menyesalkan tuduhan GAPKI yang menyatakan deklarasi yang ditandatangani puluhan organisasi non pemerintah ini dibiayai oleh pihak asing. Karena kenyataannya yang ikut adalah organisasi lokal.

”Bukannya perusahaan sawit yang ada didalam GAPKI itu sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pihak asing? kenapa malah kita yang dituduh ditunggangi kepentingan asing,” kata Saurlin.

LSM Demo Pengusaha Sawit

Oleh Diana Saragih on Mar 29th, 2011

MEDAN : Ratusan massa yang menamakan dirinya Forum Masyarakat Sipil Sumut yang merupakan massa dari Koalisi LSM Nasional berunjuk rasa di kantor Gubernur Sumut, Selasa 29 Maret 2011.
Massa mendesak pemerintah untuk menghentikan ekspansi sawit yang kerap menjadi pemicu kerusakan lingkungan dan rawan pangan karena konversi sawah menjadi lahan kebun sawit.
Massa awalnya memulai unjuk rasa di gedung DPRD Sumut dan berorasi menyampaikan pernyataan sikapnya terhadap dampak buruk ekspansi sawit dan kondisi buruh perkebunan yang memprihatinkan. Mereka lalu melakukan rally ke kantor Gubernur Sumut dan sempat melakukan orasi di Hotel Tiara Medan tempat Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Sumut memperingati 100 tahun sawit di Indonesia.
Koordinator aksi Saurlin Siagian dalam orasinya menyatakan korporasi sawit melahirkan konflik agraria terutama konflik lahan sebagai dampak kapitalisasi perkebunan. Para pengusaha sawit kerap melakukan perampasan lahan warga setempat dengan bantuan aparat.
“Dengan payung UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, terutama pasal 21 dan 27, hingga 2011 ini sebanyak 202 petani rakyat di Sumut ditahan polisi karena dianggap mengganggu operasional perkebunan milik korporasi. Kita sudah ajukan judicial review agar UU dicabut karena mengabaikan petani kecil dan mengkriminalisasi warga yang berkonflik tanah dengan pengusaha,” ujar Saurlin.
Massa juga mendesak pihak perbankan yang selama ini hanya mengakomodir pengusaha sawit besar untuk segera merevisi regulasinya dan memberikan juga kesempatan yang sama kepada petani kecil. Sebab, merekalah yang layak dibantu.
Ketegangan sempat terjadi ketika massa berusaha untuk mendekati convention hall tempat GAPKI menggelar seminar tentang kelapa sawit. Massa menuding pengusaha sawit yang tergabung dalam GAPKI menjadi biang kerok rusaknya sejumlah hutan lindung dan lahan sawah yang kini berubah menjadi kebun sawit. Namun aparat yang bersikap persuasif akhirnya mampu mengarahkan massa agar bersikap tertib dalam menyampaikan aspirasinya. Massa kemudian melanjutkan rally ke kantor Gubernur Sumut dan berorasi. Tidak satupun pejabat Pemprovsu yang menemui massa hingga akhirnya membubarkan diri.
http://www.bisnis-sumatra.com/index.php/2011/03/lsm-demo-pengusaha-sawit/ (k3)

Demo warnai hari kelapa sawit nasional

MEDAN - Peringatan 100 tahun hari Kelapa Sawit Nasional diwarnai aksi damai di depan kantor Gubernur Sumatera Utara, siang ini. Demonstrasi tersebut digelar oleh 500 orang yang tergabung dalam Konferensi Alternatif Satu Abad Perkebunan Kelapa Sawit.

Aksi demo ini menyuarakan keluhan atas dampak perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang dinilai memberi kerugian bagi masyarakat

"Seratus tahun dibudidayakannya sawit di Indonesia justru banyak memberikan kerugian untuk rakyat. Meskipun ada PAD, tapi masalah rakyat juga tidak teratasi. Selama seratus tahun, perkebunan sawit tidak menyentuh langsung ke masyarakat. Pengusaha dan pemerintah harus bersinergi untuk kepentingan rakyat," ujar Erwin, salah seorang pendemo.

Konferensi Alternatif Satu Abad Perkebunan Kelapa Sawit ini terdiri dari 36 organisasi. Diantaranya, Perserikatan KPS, Lentera, Walhi Sumut, Serikat Petani Indonesia, Kontras Sumut, LBH Medan, Walhi Kaltim, Setara Jambi, Jikalahari Riau, JKMA Aceh, dan FOKKER LSM Papua.

Sebelum beraksi di depan Kantor Gubsu, massa juga menggelar orasi di Gedung DPRD Sumut dan Hotel Tiara Medan, tempat Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) menggelar peringatan 100 tahun kelapa sawit di Indonesia.

Editor: ANANTA POLITAN BANGUN
(dat05/wol)
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=184321:demo-warnai-hari-kelapa-sawit-nasional&catid=14:medan&Itemid=27

36 Organisasi Tuntut Penghentian Ekspansi Sawit

Medan, 29/3 (ANTARA) – Ratusan massa Konferensi Satu Abad Perkebunan Kelapa Sawit yang berasal dari 36 organisasi berunjuk rasa di kantor gubernur Sumatera Utara di Medan, Selasa, menuntut penghentian ekspansi perkebunan sawit di daerah itu.

Dalam unjuk rasa yang dilakukan dalam rangka Deklarasi Nasional Satu Abad Sawit itu, massa Konferensi Satu Abad Perkebunan Kelapa Sawit menyampaikan sejumlah pernyataan sikap yang ditandatangani sejumlah perwakilan 36 organisasi tersebut.

Ketua Konfrensi Alternatif Satu Abad Perkebunan Kelapa Sawit Saurlian Siagian mengatakan, sejak komersialisasi sawit yang dimulai tahun 1911, terjadi ekspansi besar-besaran di berbagai daerah, khususnya dalam 10 tahun terakhir.

Besarnya ekspansi sawit itu dapat dilihat dari jumlah luas perkebunan tersebut yang mencapai 7,9 juta hektare, dan ditargetkan sebanyak 20 hektare dalam beberapa tahun ke depan.

Namun sayangnya, kata dia, pengelolaan potensi perkebunan sawit selama ini lebih mengutamakan pola kapitalisme karena hanya dikuasi kalangan perusahaan, bukan masyarakat.

Hal itu dapat dilihat dari persentase kepemilikan perkebunan sawit yang 65 persen diantaranya dimiliki kalangan koorporasi. Sedangkan sisanya dari non-korporasi yang merupakan kalangan “pengusaha berdasi”.

Kekuatan kalangan korporasi untuk melakukan ekspansi itu semakin kuat karena mendapatkan dukungan dari Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB).

Pihaknya menilai, kondisi itu akan semakin menyengsarakan rakyat karena pengelolaan perkebunan sawit selama ini telah merusak lingkungan.

Hal itu dapat dilihat dari kerusakan hutan primer dan 5.000 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada di Kawasan Taman Nasional akibat ekspansi perkebunan sawit.

Bahkan, kata dia, ekspansi perkebunan sawit itu juga telah menyebabkan krisis air bersih di sejumlah daerah dan hancurnya sejumlah budaya kolektif masyarakat adat.

Ironisnya, pemerintah justru mendukung upaya ekspansi tersebut dengan dalih peningkatan devisa negara, mengatasi krisis ekonomi, dan pengentasan kemiskinan di pedesaan.

“Argumentasi bahwa ekspansi sawit akan menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan adalah kebohongan,” katanya.

Usai pernyataan sikap itu, massa Konferensi Satu Abad Perkebunan Kelapa Sawit menyampaikan sejumlah tuntutan seperti penghentian ekspansi sawit, mencabut UU 18/2004 tentang Perkebunan, mengembalikan tanah rakyat yang dirampas koorporasi sawit, dan penyediaan lahan untuk pertanian pangan.

Usai menyampaikan tuntutan itu, massa Konferensi Satu Abad Perkebunan Kelapa Sawit membubarkan diri tanpa diterima pejabat Pemprov Sumut.

B/Z003
(T.I023/B/Z003/Z003)
http://www.antarasumut.com/berita-sumut/36-organisasi-tuntut-penghentian-ekspansi-sawit/

Senin, 28 Maret 2011

Pembukaan Kebun Sawit Korbankan Lahan Pertanian

Selasa, 29 Maret 2011

Home Ekonomi & Keuangan
Senin, 28 Maret 2011 | 13:12:01
Pembukaan Kebun Sawit Korbankan Lahan Pertanian


MEDAN (EKSPOSnews): Pembukaan perkebunan kelapa sawit yang marak dilakukan di Indonesia, berdampak kian tergusurnya lahan pertanian dan belum mengangkat kesejahteraan buruh perkebunan dari kemiskinan.

Masalah tersebut menjadi salah satu topik pembicaraan konferensi peringatan satu abad sawit di Indonesia dengan tema "Buruh, Petani, dan Ekosistem-Termiskinkan" yang kini sedang berlangsung di Hotel Polonia Medan, Senin, 28 Maret 2011.

Konferensi sebelumnya dibuka oleh Ketua Komnas Ham Ifdhal Kasim, diselenggarakan Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) didukung oleh seluruh LSM di Indonesia khususnya yang menangani masalah buruh, petani, dan agraria.

Tujuan utama diadakannya konferensi, karena saat ini banyak terjadi pembukaan lahan sawit baru di seluruh Indonesia dan imbasnya marak terjadi penggusuran lahan pertanian.

Hal itu tentu membuat para petani yang ada menjadi kehilangan lapangan pekerjaan ucap, Gindo Nadapdap selaku ketua konferensi tersebut.

Saat ditanya apa kaitannya dengan buruh, Gindo mengatakan dengan adanya kebun sawit ini maka banyak buruh yang berkerja, namun upah buruh ini masih sangat kecil sehingga tidak mensejahterakan buruh.

Selain itu perwakilan dari provinsi paling timur Septer Manufadu mengatakan, di daerahnya banyak terlihat terjadi arogansi pemerintah dalam pembukaan lahan sawit.(an)

http://eksposnews.com/view/5/21901/Pembukaan-Kebun-Sawit-Korbankan-Lahan-Pertanian.html

Kebun sawit dibuka, petani digusur

Monday, 28 March 2011 17:09

Kebun sawit dibuka, petani digusur
Warta
WASPADA ONLINE

MEDAN - Pembukaan perkebunan kelapa sawit yang marak dilakukan di Indonesia, berdampak kian tergusurnya lahan pertanian dan belum mengangkat kesejahteraan buruh perkebunan dari kemiskinan.

Masalah tersebut menjadi salah satu topik pembicaraan konferensi peringatan satu abad sawit di Indonesia dengan tema "Buruh, Petani, dan Ekosistem-Termiskinkan" yang kini sedang berlangsung di Hotel Polonia Medan, sore ini.

Konferensi sebelumnya dibuka oleh Ketua Komnas Ham Ifdhal Kasim, diselenggarakan Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) didukung oleh seluruh LSM di Indonesia khususnya yang menangani masalah buruh, petani, dan agraria.

Tujuan utama diadakannya konferensi, karena saat ini banyak terjadi pembukaan lahan sawit baru di seluruh Indonesia dan imbasnya marak terjadi penggusuran lahan pertanian. Hal itu tentu membuat para petani yang ada menjadi kehilangan lapangan pekerjaan ucap, Gindo Nadapdap selaku ketua konferensi tersebut.

Saat ditanya apa kaitannya dengan buruh, Gindo mengatakan dengan adanya kebun sawit ini maka banyak buruh yang berkerja, namun upah buruh ini masih sangat kecil sehingga tidak mensejahterakan buruh.


Editor: SASTROY BANGUN
(dat05/antara)
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=184131:kebun-sawit-dibuka-petani-digusur&catid=15:sumut&Itemid=28

Konferensi sawit diwarnai aksi pencopotan spanduk

http://www.primaironline.com/berita/sosial/konferensi-sawit-diwarnai-aksi-p

Jakarta - Konferensi Peringatan 100 tahun Sawit di Indonesia yang
diselenggarakan 34 lembaga swadaya masyarakat (LSM) diwarnai pencopotan
spanduk oleh pihak Hotel Tiara Medan, Sumatera Utara (Sumut).

Konferensi yang berlangsung sejak 27 Maret, akan berakhir pada 29 Maret.
Pelaksanaan konferensi sendiri berlangsung di dua tempat, Asrama Haji Medan
dan Hotel Tiara Medan.

"Sekitar pukul 10.00 wib di Hotel Tiara sempat bersitegang. Pasalnya 3 helai
spanduk yang dipasang Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) akan dicopot," kata
Ketua Forum Nasional SPKS, Mansuetus Darto, dalam pernyataan pers yang
diterima primaironline.com, Senin (28/3).

Menurut Darto, upaya penurunan spanduk SPKS disebabkan perintah dari salah
satu organisasi massa yang tidak ingin diberitakan kebenaran tentang
perkebunan sawit kepada pihak hotel.

"Namun upaya tersebut langsung ditolak dari peserta konferensi yang sebagian
besar adalah petani kelapa sawit," ujar Darto.

Akibat penolakan tersebut, pihak hotel meminta kepolisian membantu
menurunkan spanduk.

"Namun ternyata pihak Kepolisian pun yang dihubungi hotel tidak mau mencopot
spanduknya. Karena di lokasi tersebut tidak ada kejadian yang mengganggu
ketertiban, seperti aksi atau demonstrasi," tandas Darto.

80.000 Buruh Perkebunan Hidup Miskin

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/27/21144856/80.000.Buruh.Perkebunan.Hidup.Miskin
MEDAN, KOMPAS.com — Ekspansi kelapa sawit telah memarjinalkan buruh dan masyarakat sekitar perkebunan. Setidaknya 80.000 buruh perkebunan kelapa sawit hidup dalam kemiskinan dan ketidakjelasan status.

Demikian antara lain yang mengemuka dalam Konferensi Alternatif Peringatan 100 Tahun Sawit di Indonesia yang digelar di Medan, Sumatera Utara, Minggu (27/3/2011). Acara yang rencananya berakhir pada 29 Maret ini dihadiri sedikitnya perwakilan dari 32 organisasi nonpemerintahan seluruh Indonesia dan beberapa aktivis kemanusiaan.

Sawit Watch tahun 2008 melansir bahwa luas lahan sawit di Indonesia mencapai 7,8 juta hektar dengan pertumbuhan 15 persen per tahun. Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Sumut mencapai 1,2 juta hektar.

Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan Kelompok Pelita Sejahtera Manginar Situmorang dalam kesempatan tersebut menjelaskan, sebanyak 80.000 buruh harian lepas di Sumatera Utara hanya bergaji sekitar Rp 29.000 sampai Rp 31.500 per hari atau sekitar Rp 870.000 sampai Rp 945.000 per bulan. Waktu kerja mereka selama 7 jam per hari. Status mereka terus digantung sebagai buruh harian lepas tanpa tahu kapan menjadi pekerja tetap.

Di bawah standar

Padahal, Badan Koordinasi Perusahaan Perkebunan Swasta (BKPPS) saja menetapkan upah minimal Rp 1,005 juta per bulan. BKPPS merupakan oraganisasi perusahaan-perusahaan kecil menengah, penanam modal asing, dan penanam modal dalam negeri.

"Tetapi ini hanya untuk buruh resmi perkebunan swasta. Besaran upah untuk pekerja borongan atau buruh harian lepas ditentukan atas dasar kesepakatan antara buruh dan pengusaha yang jumlahnya jelas lebih kecil dari standar BKPPS tersebut," ujarnya.

Selain berupah rendah, 80.000 buruh tersebut tidak mendapat jaminan kerja . Mereka juga dikenakan standar ganda, yakni kerja harian tetapi juga dipasang target tertentu per hari. Akibatnya, banyak buruh yang melibatkan anak istri untuk memenuhi target tersebut.

Beratnya beban buruh juga tergambar dari luasnya lahan yang harus mereka tangani. Untuk 100 hektar lahan perkebunan, hanya ada 22 pekerja.

Para buruh dibebani tugas memotong pelepah, merapikan pelepah yang dipotong, memotong tangkai kelapa sawit, memunguti buah sawit yang jatuh, mengangkut buah kelapa sawit ke tempat pengumpulan hasil (TPH), serta menyusun dan memberi kode buah kelapa sawit tersebut. Semua itu mereka kerjakan di bawah pengawasan ketat mandor perkebunan. Praktik ini telah berjalan puluhan tahun, sejak 1970-an.

Rawan kecelakaan

Menurut Manginar, para pekerja tersebut tidak dilengkapi dengan alat pengaman sehingga rawan kecelakaan. Dalam penelitian KPS selama empat bulan (Januarai-April 2008) yang digelar di 6 perkebunan kepala sawit, terdapat 47 kecelakaan kerja dengan korban buruh perkebunan. Sebanyak 11 kasus menyebabkan cacat mata lantaran terkena getah, terkontaminasi zat kimia dari pupuk atau pestisida, atau tertimpa tandan buah segar kelapa sawit. Dua orang di antaranya tewas karena tertimpa buah kelapa sawit dan tersengat aliran listrik. Sisa korban lainnya mengalami luka ringan, seperti tertusuk duri atau digigit serangga. Ini merupakan fenomena gunung es.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Komisi Nasional HAM Ifdhal Kasim mengatakan, sistem yang diterapkan para pengelola perkebunan tersebut bisa diindikasikan sebagai pelanggaran HAM. "Indikasi pelanggaran HAM itu bisa dilaporkan dan korban bisa menangih janji perusahaan tentang pelanggaran tersebut. Mereka juga harus akuntabel dan memberikan pemulihan apabila terjadi korban dalam kegiatan mereka," ujarnya.

Peneliti ekonomi politik George Junus Aditjondro yang hadir dalam acara tersebut menambahkan, ekspansai perkebunan kelapa sawit kerap menimbulkan masalah. Selain dugaan pelanggaran HAM, juga konflik lahan. Sejak tahun 2004 sampai sekarang terjadi penyerobotan lahan milik warga seluas 6.000 hektar. Seluas 3.500 hektar lahan tersebut digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit. Penyerobotan dan perluasan perkebunan kelapa sawit itu kerap dilakukan oleh pihak-pihak yang didukung penguasa.

Konferensi Peringatan Seratus Tahun Sawit di Indonesia

34 ORNOP Indonesia melaksanakan
Konferensi Peringatan Seratus Tahun Sawit di Indonesia

Sebanyak tiga puluh empat organisasi non pemerintah dari seluruh propinsi di Indonesia tergabung dalam Forum Masyarakat Sipil Indonesia, melaksanakan Konferensi Peringatan Seratus Tahun Sawit di Indonesia, kegiatan dimulai tanggal 27 sampai dengan 29 Maret 2011. Konferensi nasional yang diselenggarakan di Hotel Polonia dan Tiara Convention Hall ini dibuka oleh Plt. Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho.

Pada opening session, yang akan dibuka di hotel Polonia, diundang para narasumber yang berasal dari berbagai latar belakang yang selama ini memiliki perhatian terhadap dampak-dampak perkebunan sawit. Beberapa diantaranya adalah George Junus Aditjondro (peneliti Politik Ekonomi), Ifdal Kasim (Ketua Komnas HAM), dan Menteri Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar yang menyatakan bersedia untuk menjadi salah satu narasumber dalam sesi pembuka ini.

Kegiatan ini diadakan untuk mengungkap secara utuh dampak perkebunan sawit di Indonesia sejak kelahirannya tahun 1911. Seiring berjalannya waktu, komersialisasi berkembang ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi yang massif terutama 10 tahun terakhir ini. Ekspansi tersebut dipicu oleh tingginya permintaan pasar global Crude Palm Oil (CPO) baik untuk keperluan produk bahan makanan, aneka produk kosmetik maupun energi (biofuel). Rangkaian konferensi akan diramaikan oleh seminar, sidang-sidang, pameran, pemutaran film, serta aksi damai solidaritas terhadap korban-korban perkebunan sawit.

Lebih lanjut menurut data yang dimiliki tim teknis Panitia Konferensi, saat ini luas perkebunan sawit mencapai 7,9 juta hektar, dengan komposisi ke pemilikan 65 persen dikuasai oleh korporasi, hanya 35 persen oleh petani kecil. Kekuatan korporasi dalam kerangka ekspansi, memperoleh dukungan dari 20 bank besar di dunia. Dukungan ini merupakan wujud nyata bagaimana modal mengendalikan mata rantai produk sawit di Indonesia. Dalam prakteknya, kegiatan korporasi sawit melalui mata rantai produksinya merupakan ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup khususnya bagi pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, hutan dan kestabilan iklim.

Ekspansi perkebunan sawit telah mengakibatkan laju penghancuran hutan yang semakin mengkuatirkan. Perluasan perkebunan sawittidak hanya merambah kawasan hutan, lahan gambut bahkan juga menghancurkan lahan pertanian pangan. Dampak bisnis korporasi sawit dibayar mahal berupa krisis pangan, musnahnya kekayaan hayati, bencana lingkungan, pemanasan gobal.

Konferensi ini diharapkan akan melahirkan gagasan baru berupa peta jalan terhadap persoalan perkebunan sawit yang saat ini mengemuka di Indonesia dan dunia.

Koordinator Komite Eksekutif


Saurlin Siagian






Forum Masyarakat Sipil Indonesia

untuk Konferensi Peringatan Seratus Tahun Sawit di Indonesia



Serikat Petani Indonesia (SPI), BPRPI, SPKS,LENTERA, KPS, BAKUMSU, ELSAM, BITRAIndonesia, WALHI-SU, SAHDAR,SAWIT WATCH, ELSAKA, HAPSARI, KONTRAS-SU, PETRA, PBHI, LBH Medan, KSPPM, KPA, SINTESA, JALA, GEMAWAN KALBAR, WALHI KALTIM, SETARA Jambi, JKMA Aceh, KOTIB, JIKALAHARI Riau, Longgena Ginting, YPMP Asahan, FORMATSU, WABPIS, FOKKER LSM Papua, ADS, JPIC MSC


http://www.elsam.or.id/new/index.php?id=1386&lang=in&act=view&cat=c/102

Deklarasi Nasional satu abad kejahatan korporasi sawit

eklarasi Nasional Satu Abad Kejahatan Korporasi Sawit Di Indonesia

DEKLARASI NASIONAL
SATU ABAD KEJAHATAN PERKEBUNAN SAWIT DI INDONESIA

Komersialisasi sawit di Indonesia dimulai sejak tahun 1911. Seiring berjalannya waktu, komersialisasi berkembang ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi yang massif terutama 10 tahun terakhir ini. Ekspansi tersebut dipicu oleh tingginya permintaan pasar global Crude Palm Oil (CPO) baik untuk keperluan produk bahan makanan, aneka produk kosmetik maupun energi (agrofuel).

Ekspansi sawit mendapat dukungan lembaga keuangan internasional yang mendorong lahirnya berbagai kebijakan pemerintah dengan dalih peningkatan devisa negara, mengatasi krisis ekonomi, pengangguran dan pengentasan kemiskinan di pedesaan.
Saat ini luas perkebunan sawit mencapai 7,9 juta hektar, dengan komposisi ke pemilikan 65% dikuasai oleh korporasi dan 35% oleh non korporasi atau petani berdasi. Kekuatan korporasi dalam kerangka ekspansi, memperoleh dukungan dari 20 bank besar di dunia antara lain Bank Dunia (World Bank), Asian Development Bank(ADB) yang mengakibatkan hilangnya hak hidup masyarakat dan terjadinya kerusakan hutan, hancurnya ekosistem, krisis pangan dan air bersih, serta hancurnya budaya kolektif masyarakat adat.

Investasi korporasi hanya membawa derita bagi rakyat Indonesia, kerakusan industri ekstraktif, telah mematikan DAS, merusak hutan primer, lebih dari 5.000 DAS yang berada di Kawasan Taman Nasional mati akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Banjir terus meningkat pengungsi setiap tahun semakin bertambah dan meluas. Sementara para pengusaha perkebunan kelapa sawit yang tergabung di dalam GAPKI hanya ingin merampas dan menguasai sumber-sumber agraria. Pemerintah telah melalaikan tugasnya untuk melindungi warga negaranya, yang seharusnya mendapatkan perlindungan yang maksimal.

Argumentasi bahwa ekspansi sawit akan menyerap tenaga kerja (buruh) dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan suatu kebohongan. Asumsi hitungan pemerintah dan korporasi yang menyebutkan bahwa 20 juta hektar lahan perkebunan akan menyerap sekitar 10 juta buruh sangatlah jauh dari kenyataan. Fakta yang ditemukan di lapangan bahwa dalam 100 hektar lahan hanya menyerap sekitar 22 orang tenaga kerja sehingga dengan demikian dengan 20 juta hektar hanya menyerap 4,4 juta buruh.

Praktek Kuli Kontrak dibangkitkan kembali dalam bentuk baru yaitu Buruh Harian Lepas (BHL), dan tukang berondolan yang bekerja setiap hari tanpa jaminan kerja bahkan tanpa ikatan kerja yang jelas serta tidak memperoleh jaminan sosial sebagai pekerja meskipun sumbangan mereka sangat besar dalam upaya menunjang proses produksi perkebunan.

Korporasi sawit melahirkan konflik agraria terutama konflik lahan sebagai dampak kapitalisasi perkebunan. Konflik lahan merupakan warisan kolonial perkebunan yang hingga saat ini masih terus berlanjut melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang menjamin masa waktu 95 tahun bagi korporasi untuk menguasai lahan dengan tidak ada pembatasan yang jelas. Hal ini jelas-jelas merupakan kebangkitan kembali kebijakan jaman kolonial yaitu onderneeming ordonatie dan agrariche wet 1870 yang menjamin penguasaan lahan selama 75 tahun, padahal substansi dan kenyataan aturan kolonial ini sudah dikoreksi oleh UUPA. Akibatnya tidak hanya kondisi kolonialisme muncul kembali, petani miskin yang memperjuangkan tanah dan penghidupannya dari korporasi sawit pun tergusur, mereka malah seringkali dikriminalisasi. Hal ini disebabkan kemenangan korporasi sawit yang mengakibatkan seluruh wilayah republik ini dapat ditanami dengan tanaman perkebunan tanpa syarat yang mutlak.

Daya bertahan dan daya berkembang petani pangan di sekitar perkebunan sawit menurun dan bahkan terancam hilang. Pertanian pangan secara besar-besaran berganti menjadi perkebunan sawit. Akibat konversi dari tanaman pangan ke tanaman sawit menyebabkan luas lahan tanaman pangan berkurang secara signifikan yang mengakibatkan hancurnya kedaulatan pangan. Bahkan, rakyat nelayan juga terancam kehilangan mata pencahariannya karena hutan bakau tempat ikan berkumpul saat ini secara besar-besaran digantikan dengan perkebunan sawit.

Dalam menyikapi kejahatan korporasi kapitalisasi perkebunan sawit, kami Forum Masyarakat Sipil Indonesia yang tergabung dalam Konferensi Alternatif Satu Abad Sawit menyatakan sikap:

Hentikan ekspansi perkebunan sawit;
Cabut Undang Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal;
Mendesak pemerintah untuk mengembalikan tanah rakyat yang dirampas oleh korporasi perkebunan sawit dan menyerukan kepada rakyat untuk merebut kembali tanahnya yang dirampas oleh korporasi sawit;
Pemerintah harus menyediakan lahan untuk pertanian pangan;
Mendesak kepada Bank Internasional, Bank Nasional dan Bank Asing untuk menghentikan kredit kepada korporasi dalam rangka ekspansi sawit;
Menghentikan sistem perbudakan modern yaitu buruh murah dalam bentuk Buruh Kontrak, Buruh Harial Lepas di industri perkebunan kelapa sawit.

Medan, 28 Maret 2011

Lentera, KPS, Bakumsu, ELSAM, Bitra, Walhi-SU, Sahdar, Sawit Watch, Elsaka, Hapsari, Kontras Sumut, KOTIB, Petra, PBHI, LBH Medan, KSPPM, KPA, SPKS, BPRPI, Sintesa, SPI (La Via Campesina Indonesia), Jala, Gemawan Kalbar, Walhi Kaltim, Setara Jambi, JKMA Aceh, Jikalahari Riau,YPMP, Formatsu, WABPIS, FOKKER LSM Papua, ADS, JPIC MSC dan Green Peace

Kebun sawit dibuka, petani digusur

MONDAY, 28 MARCH 2011 17:09
Kebun sawit dibuka, petani digusur
Warta
WASPADA ONLINE

MEDAN - Pembukaan perkebunan kelapa sawit yang marak dilakukan di Indonesia, berdampak kian tergusurnya lahan pertanian dan belum mengangkat kesejahteraan buruh perkebunan dari kemiskinan.

Masalah tersebut menjadi salah satu topik pembicaraan konferensi peringatan satu abad sawit di Indonesia dengan tema "Buruh, Petani, dan Ekosistem-Termiskinkan" yang kini sedang berlangsung di Hotel Polonia Medan, sore ini.

Konferensi sebelumnya dibuka oleh Ketua Komnas Ham Ifdhal Kasim, diselenggarakan Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) didukung oleh seluruh LSM di Indonesia khususnya yang menangani masalah buruh, petani, dan agraria.

Tujuan utama diadakannya konferensi, karena saat ini banyak terjadi pembukaan lahan sawit baru di seluruh Indonesia dan imbasnya marak terjadi penggusuran lahan pertanian. Hal itu tentu membuat para petani yang ada menjadi kehilangan lapangan pekerjaan ucap, Gindo Nadapdap selaku ketua konferensi tersebut.

Saat ditanya apa kaitannya dengan buruh, Gindo mengatakan dengan adanya kebun sawit ini maka banyak buruh yang berkerja, namun upah buruh ini masih sangat kecil sehingga tidak mensejahterakan buruh.

Editor: SASTROY BANGUN
(dat05/antara)

Pembukaan Kebun Sawit Gusur Lahan Pertanian

Posted by Redaksi on Maret 28, 2011 · Leave a Comment
Medan ( Berita ) : Pembukaan perkebunan kelapa sawit yang marak dilakukan di Indonesia, berdampak kian tergusurnya lahan pertanian dan belum mengangkat kesejahteraan buruh perkebunan dari kemiskinan.
Masalah tersebut menjadi salah satu topik pembicaraan konferensi peringatan satu abad sawit di Indonesia dengan tema “Buruh, Petani, dan Ekosistem-Termiskinkan” yang kini sedang berlangsung di Hotel Polonia Medan, Senin [28/03] .
Konferensi sebelumnya dibuka oleh Ketua Komnas Ham Ifdhal Kasim, diselenggarakan Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) didukung oleh seluruh LSM di Indonesia khususnya yang menangani masalah buruh, petani, dan agraria.
Tujuan utama diadakannya konferensi, karena saat ini banyak terjadi pembukaan lahan sawit baru di seluruh Indonesia dan imbasnya marak terjadi penggusuran lahan pertanian. Hal itu tentu membuat para petani yang ada menjadi kehilangan lapangan pekerjaan ucap, Gindo Nadapdap selaku ketua konferensi tersebut.
Saat ditanya apa kaitannya dengan buruh, Gindo mengatakan dengan adanya kebun sawit ini maka banyak buruh yang berkerja, namun upah buruh ini masih sangat kecil sehingga tidak mensejahterakan buruh.
Selain itu perwakilan dari provinsi paling timur Septer Manufadu mengatakan, di daerahnya banyak terlihat terjadi arogansi pemerintah dalam pembukaan lahan sawit.( ant )
dikopi dari: http://beritasore.com/2011/03/28/pembukaan-kebun-sawit-gusur-lahan-pertanian/

Ekspansi Lahan Sawit Tak Mungkin Serap 10 Juta Tenaga Kerja

Senin, 28/03/2011 15:45 WIB
Khairul Ikhwan - detikFinance

Medan - Perluasan kebun kelapa sawit diyakini tidak akan mampu menyerap 10 juta tenaga kerja sebagaimana diharapkan pemerintah. Ekspansi lahan sawit dinilai hanya akan menjadi ancaman yang serius bagi persoalan pangan dan tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan.

Pernyataan itu dikemukakan dalam Deklarasi Nasional Satu Abad Kejahatan Korporasi Sawit di Indonesia yang merupakan rumusan dari Konferensi Alternatif Satu Abad Perkebunan Kelapa Sawit. Konferensi yang dihadiri 35 LSM dari seluruh Indonesia itu, berlangsung di Hotel Tiara, Jl. Cut Meutia, Medan, Senin (28/3/2011).

Dalam pernyataan itu disebutkan, argumentasi bahwa lahan sawit akan menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan suatu kebohongan. Asumsi hitungan pemerintah dan koorporasi yang menyebutkan bahwa 20 juta hektar lahan perkebunan akan menyerap sekitar 10 juta buruh, sangat jauh dari kenyataan.

"Fakta yang ditemukan di lapangan, dalam 100 hektar lahan sawit, hanya menyerap sekitar 22 tenaga kerja sehingga dengan demikian 20 juta hektar lahan sawit hanya menyerap 4,4 juta buruh," bunyi pernyataan yang dibacakan secara bergantian oleh perwakilan organisasi yang antara lain berasal dari Bitra Indonesia, Kontras Sumut, PBHI Sumut, Setara Jambi, JKMA Aceh, Jikalahari Riau, Fokker LSM Papua, Green Peace, Sawit Watch dan Serikat Petani Indonesia.

Mereka menyatakan, komersialisasi sawit di Indonesia yang dimulai sejak 1911, kini sudah bergerak ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi yang masif, terutama 10 tahun terakhir. Ekspansi itu dipicu tingginya permintaan pasar global terhadap Crude Palm Oil (CPO), baik untuk kepentingan produk bahan makanan, aneka produk kosmetik maupun energi.

Saat ini luas perkebunan sawit mencapai 7,9 juta hektar, dengan komposisi pemilikan 65 persen dikuasai korporasi dan 35 persen nonkorporasi. Kekuatan korporasi dalam kerangka ekspansi ini, memperoleh dukungan dari 10 bank besar di dunia, antara lain World Bank dan Asia Development Bank (ADB) yang mengakibatkan hilangnya hak hidup masyarakat dan terjadinya kerusakan hutan, hancurnya ekosistem, krisis pangan dan air bersih, serta hancurnya budaya kolektif masyarakat adat.

"Investasi korporasi hanya membawa derita bagi rakyat Indonesia, kerakusan industri ekstraktif, telah mematikan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan merusak hutan primer. Lebih dari 5.000 DAS yang ada di Kawasan Taman Nasional mati akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit," kata mereka.

Pada bagian akhir deklarasi itu, disampaikan beberapa desakan yakni, hentikan ekspansi perkebunan sawit, cabut UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, kembalikan tanah rakyat yang dirampas perkebunan koorporasi perkebunan sawit, pemerintah harus menyediakan lahan untuk pertanian pangan, mendesak kepada bank internasional, bank nasional, bank asing untuk menghentikan kredit kepada koorporasi dalam rangka ekspansi sawit. Selain itu juga mendesak agar dihentikan segera sistem perbudakan modren yaitu buruh murah dalam bentuk buruh kontak, butuh harian lepas di industri perkebunan kelapa sawit.

Usai membacakan deklarasi itu, Direktur Eksekutif Sawit Watch Abetnego Tarigan kepada wartawan menyatakan, pentingnya pencabutan UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, karena UU ini menjadi alat untuk memenjarakan rakyat. Sudah 202 orang rakyat terutama petani yang ditangkap polisi dengan alasan UU tersebut.

(rul/qom)

PEMBUKAAN KEBUN SAWIT GUSUR LAHAN PERTANIAN

Medan, 28/3 (ANTARA) - Pembukaan perkebunan kelapa sawit yang marak dilakukan di Indonesia, berdampak kian tergusurnya lahan pertanian dan belum mengangkat kesejahteraan buruh perkebunan dari kemiskinan. Masalah tersebut menjadi salah satu topik pembicaraan konferensi peringatan satu abad sawit di Indonesia dengan tema "Buruh, Petani, dan Ekosistem-Termiskinkan" yang kini sedang berlangsung di Hotel Polonia Medan, Senin. Konferensi sebelumnya dibuka oleh Ketua Komnas Ham Ifdhal Kasim, diselenggarakan Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) didukung oleh seluruh LSM di Indonesia khususnya yang menangani masalah buruh, petani, dan agraria. Tujuan utama diadakannya konferensi, karena saat ini banyak terjadi pembukaan lahan sawit baru di seluruh Indonesia dan imbasnya marak terjadi penggusuran lahan pertanian. Hal itu tentu membuat para petani yang ada menjadi kehilangan lapangan pekerjaan ucap, Gindo Nadapdap selaku ketua konferensi tersebut. Saat ditanya apa kaitannya dengan buruh, Gindo mengatakan dengan adanya kebun sawit ini maka banyak buruh yang berkerja, namun upah buruh ini masih sangat kecil sehingga tidak mensejahterakan buruh. Selain itu perwakilan dari provinsi paling timur Septer Manufadu mengatakan, di daerahnya banyak terlihat terjadi arogansi pemerintah dalam pembukaan lahan sawit.(T.KR-JRD/B/B008/B008)

Kelapa Sawit Sahabat GAPKI, Bukan Rakyat

Senin, 28 Maret 2011 00:37 | Oleh Kartini Zalukhu | | |
Medan, suarausu-online.com – Keuntungan besar yang diperoleh sawit didapat dari penghancuran hutan, ketersediaan lahan petani skala kecil dan eksploitasi tenaga buruh yang terjerat dalam arus kemiskinan merupakan ciri pengelolaan sawit saat ini. Hal tersebut dipaparkan Saurlin Siagian, Ketua Panitia Konferensi Alternatif Satu Abad Perkebunan Kelapa Sawit di di Balai Rasa Sayang 2, Hotel Polonia, Minggu (26/3).

Menurutnya, aksi para pemilik modal dalam pengelolaan kelapa sawit sudah jauh dari yang diharapkan. “Kelapa sawit sahabat Gabungan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), bukan rakyat,” tandasnya. Gindo Nadapdap, selaku steering commite mengatakan ekspansi sawit yang dilakukan para pengusaha sawit merusak dan mengancam ketersediaan lahan bagi petani skala kecil. “Sangat perlu dipertanyakan, kelapa sawit untuk kemakmuran rakyat atau tidak?”

Menurut Ishak Damanik, masyarakat harus berdaulat dan gotong royong dalam mengadapi masalah bersama ini. “Keadilan sosial dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit akan didapatkan jika kita bersatu padu meluruskannya,” terang Koordinator Lapangan Aliansi solidaritas Kaum Tani Indonesia Sewilayah Teluk Aru ini.

Konferensi ini dimaksudkan untuk menyikapi Perayaan 100 Tahun Eksistensi Perkebunan Kelapa Sawit yang diadakan GAPKI pada Senin (28-30/3) di Hotel Tiara Convention Hall. Di akhir acara akan diadakan perumusan deklarasi bersama untuk memperjelas posisi masyarakat dan lembaga-lembaga terkait dalam penyelamatan lahan dan orang-orang yang telah menjadi korban kapitalisme pemilik modal di perkebunan kelapa sawit.

Senin, 21 Maret 2011

New Research Tracks Palm Oil's Carbon Footprint

Grace Chua - Straits Times Indonesia | March 19, 2011
Singapore. For the first time, researchers using satellite techniques have measured and mapped the full extent of South-east Asia's oil palm cultivation - and linked it directly to carbon dioxide emissions

They reckon there are about 8.3 million ha of oil palm plantations in peninsular Malaysia, Borneo and Sumatra - that is roughly the size of two Switzerlands.

The growing industry provides a valuable resource - palm oil is widely used in food, as biofuel and to make other products such as cosmetics.

Some 880,000ha of the plantations were converted from peat-swamp forests.

High in biodiversity, peat swamps have vast carbon dioxide stores, so clearing the forests resulted in 140 million tonnes of carbon being added to the atmosphere, the researchers concluded from their findings.

The research paper by Dr Koh Lian Pin and his colleagues at the National University of Singapore and Swiss technical university ETH Zurich was published earlier this month in the Proceedings of the National Academy of Sciences.

The paper's authors also noted that the satellite monitoring techniques could be used to track how far oil palm cultivation had encroached on peat forests.

In addition, their research looked at what implications arise from how the cleared land is being or will be utilised.

Since the early 2000s, 2.3 million ha of peatlands have been cleared, but they have yet to be cultivated. These cleared areas might contain young oil palm, remnants of the original vegetation or grass.

Reforestation of these areas could increase bird, animal and plant life by up to 20 per cent in some parts, whereas planting oil palm would decrease species by up to 12 per cent, the scientists estimated.

'The fate of these cleared lands has immense environmental implications,' Dr Koh told The Straits Times by e-mail.

Developing the land would exacerbate carbon and biodiversity losses. In contrast, conservation and regeneration would protect wildlife and help store more carbon.

Dr Koh recommended that areas with lots of peat-swamp forests be protected, such as West and Central Kalimantan and Riau.

Oil palm is not the only industry being studied. Other scientists are measuring the environmental impact of the pulp and paper industry, another sector often involved in clearing of peatlands.

Reprinted courtesy of Straits Times Indonesia. To subscribe to Straits Times Indonesia and/or the Jakarta Globe call 2553 5055.

Senin, 14 Maret 2011

A Century of Commercial Oil Palm in Indonesia

A Century of Commercial Oil Palm in Indonesia
Who are the Winners, Who are the losers?
An Alternative Conference of a Century of Commercial Oil Palm in Indonesia
Medan, North Sumatera, 26-29 March 2011


1. Background
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) or “Association of Corporations of Oil Palm in Indonesia” is in plan to celebrate a hundred years of the existence of oil palm in Indonesia that takes place in Tiara Convention Hall, Medan-North Sumatera. This celebration is aimed to counter the negative campaign against the oil palm plantation corporation.
Oil palm becoming a business purposes, as a strategic commodity in Indonesia, was first acquainted by colonial Dutch in 1911, developed in two North Sumatera’s areas namely Pulo Raja and Tanah Itam. As time goes on, the oil palm plantation has been largely increasing achieving more than 7 million hectares at the present.
More than 90 percent, today, of the world’s oil palm are mostly exported from Malaysia and Indonesia. Indonesia has been on its highly economic development by export activities, between in 2003 and 2010, which two fold increases occured from 7.8 million tons (2003/2004) to 18 million tons (2010/2011). It is assumed to the increase every year (see the table below).

The use of oil palm and palm seed, nearly 70 percent, is being used to produce the food materials, 24 percent is to produce some other daily secondary needs including soap, cosmetics, candle, etc.and 5 percent is used to energy supply (Agentur für Erneuerbare Energie 2010: 20).
Mostly European Union countries are now using 45 percent of oil palm for industrial purposes, the number comparatibly is much higher than countries outside EU. Unlike EU countries, China and some South-Eastern Asian Countries are only using 35 percent for their industrial purposes. On the other hand, the use of oil palm for food materials is mostly met in India and Midle Eastern countries (USDA 2010a: Tabelle 24-28).
More than half of the world’s import activities are brought in to countries like China, India, European Union, and Pakistan. Cina and India import the oil palm at 6.3 million tons and 7.6 million tons each (2010/2011), the number trancends to what 27 EU countries’ which only import 5.4 million tons. That number seems to have been increasing every year.



2. The Impact of Oil Palm Expansion to the Environment and Social

Degradation of the Tropical Forests
Indonesia constitutes the third largest country in the world producing gas emision which has threatened the earth climate. 85 percent of gas emisions are caused by the increasingly land use proved by on a large number of deforestations and the demolished peat land (Greenpeace 2010a: 1). Beside it, the various plants and animals are gradually perishing since they are not able to survive in a mono-cultural environment met in oil palm plantation.
According to the assesment made by World Bank, there are 70 percent of oil palm plantations developed in the forest areas, approximately 4.2 million hectares, and 25 percent in the peat land (World Bank 2010: 14). There are only one-third of existing corporations using barren soil or lands previously planted with other plants (UNEP 2009: 65). In the recent years, the total use of peat land for plantation purposes is just on increase in to at least 33 percent, in Riau and Sumatera even reach to 80 percent (Edwards/Mulligan/Marelli 2010: 141).
However, Indonesian government may have considered to enlarge the plantation until to 24 million hectares.

Food Competition
Oil palm, if phisically compared to some other plants like rice, soybean, maize, timber and livestock, is breeding very well (World Bank 2010b: 8). The increasingly oil palm use for alternative energy, so called biofuel, needs massively the expansion of plantation by doing land conversion from forest to plantation. The increase of food price, both in national and local levels, is one of many impacts of plantation expansion in order to fulfil the needs of oil palm for industrial purposes, energy and so on. That increase affects poor people not be able to afford their daily foods.

Human Rights Violation
Oil palm industrialization is considered as a new production sector that the very local community does never get advantage from the production process. The local people’s lands are rented with a very low paid, sub-standard. To convince the local or traditional communities is sophisticatedly done by the corporations which those communities are convinced with the given promises to establish educational infrastructures, electricity, new standard house, etc. But the promises are left behind. Many local residents do not understand what they have signed in and even the risk of filling out their signatures on the letter. They can not demand their rights in this regard because many company’s owners have had a good relationships or bargaining position with the political elites and local government.
The subsequent emerging conflict is the highly increases of migrants that affected by the intensively huge expansion of oil palm plantations. According to World Bank that 1000 hectares lands need 350 workers at least (World Bank 2010:28). Papua province today is inhabited with 2.9 million people. So, if the oil palm plantation there developed on 5 million hectares then it needs 1.75 million workers that must be carried out from other islands in Indonesia. It may immediately affect to the worse conflicts which the tensions between migrants and indigeneous people have been existing (EIA/Telepak 2009: 7-8).
There are approximately 3 million people in Indonesia working at the oil palm plantation areas (Teoh 2010:9). Beside working permanently, many of them also being hired as a casual workers who are only employed when the corporations have the work targets for being fulfilled. Many of them have still been facing the very bad circumstances as they are not properly paid, they are not provided with the health insurances, social security, safety work guarrantee, etc. in particular for those woman workers (Mardi 2008: 76-84).

3. The History of Struggle
GAPKI’s celebration of the palm oil sector’s economic success obscures the reality of social conflict that has characterised the plantation industry. Super profits for the companies involved are based on the appropriation of land from small-scale farmers and indigenous peoples, and on the exploitation of a labour force that becomes trapped in a cycle of poverty. Again and again indigenous peoples and small-scale farmers have resisted attempts to grab their land for commercial monocultures, and the coolies brought in to work the plantations have organised against exploitation, for a living wage and for workers rights.
Historically, the workers movement in North Sumatra played a key role in the struggle for independence, and the wave of occupations and reappropriation of land after independence was one of the most inspiring moments of the struggle of the Indonesian people (Stoler 1995). In our alternative event, we will celebrate this tradition and its relevance for the ongoing struggle for land rights, and for environmental and social justice today.

4. Purposes
This conference will be organised as a forum where the general public, media, policy makers, consumers, business can have opportunity to involve:
• to view a complete picture of the production of palm oil
• to raise awareness about the links between oil palm with issues on deforestation, climate change, food sovereignty
• to exchange and debate the alternatives and solutions
• to declare our critical views and ideas against the existence of oil palm corporations
5. Activities
• Series of Workshops and public debates (issues on land issues, forest, climate change, labour, etc.)
• Talkshow and press conference
• Happening art and exhibition
• Film screening

6. Sessions

6.1. Opening Session

Theme:
“Crime and Human Rights Violations which involve the Oil Palm Corporations: the Weakness of framework of law accountability and its effect toward the victims’ rights”

Background
The emergence and the increasingly roles and strongly power of corporation in the public lives currently have influenced the most sides of society. Corporation may be playing its fundamental role in providing the large opportunities to employment sector which absorb many work forces. But on the other hand, corporation can be a serious threat to the fulfilment and protection of human rights. Some various initiatives have been made in order to demand corporations complying the values and standard of human rights according to mechanism of internal accountability and the very market system. Some other initiatives also can be made through creating a regulation which is legally unbinding, however, it persuasively may be used as a stimulation to enhance the production and operation standards better in order to respect the environemnt and surrounding communities better. For instance in the context of oil palm, RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil) is a criterion for a respect.

Speakers:
• Human Rights Violation and Its Impact toward the Local Community: Study Case toward the corporation in Oil Palm Plantation – by Abednego Tarigan (Sawit Watch)
• Political Economy of Oil Palm Plantation in the Large Scale – by George Djunus Aditjondro
• The Human Rights Standards and Mechanism for accountability to Right Violations Involving Corporations of Oil Palm Plantation – by Ifdal Kasim (The Chairman of the National Human Rights Commission)
• Mechanism of accountability of Corporations’ Crime at the National Law System – by Prof.Moh. Yamin (Professor in Universitas Sumatera Utara)

6.2. Workshop Series (Paralel Sessions)

6.2.1. Paralel Session I: “Labour on Reality and the Marginalisation in the Oil Palm
Plantation Sector”
This session is highly expected to deliver explanations on the reality of social and economy condition of labour in the oil palm plantation seen from the Economic, Social and Cultural perspectives. This session will also outline the problems met mostly faced by low-paid labourers, unavailable safety and health assurance, and so on.



Speakers :
• Labour on Reality and the Marginalisation in Oil Palm Plantation Sector – Drs.Manginar Situmorang,MSi (Kelompok Pelita Sejahtera)
• The Expansion of Oil Palm Plantation based on perspective of Economic, Social and Cultural Rights – Ms. Indriaswati DS,LLM (ELSAM)
• The Trans-National Struggle Against the Agrofuel Industry – Dr. Oliver Pye (Bonn University, Germany)
• The Implementation of ILO Conventions on the Oil Palm Production Process in Indonesia – Peter Van Rooij (Director of ILO Jakarta, Indonesia)
• The Implementation of Labour’s Rights Protection in the Oil Palm Industry – Muhaimin Iskandar (Work Force Minister of Republic of Indonesia)

6.2.2. Paralel Session II: “The Oil palm Plantation at the Large Scale and Climate Change”

This session will more deeply outline the liason between mono-cultural oil palm plantation and its effect to the climate change. This session also will review both issues in International and National levels, and the related national regulations.

Speakers :
• The Impact of High Explosion of the World’s Oil Palm Market – Longgena Ginting (UEM)
• The Implementation and Memoratorium of Oil Palm Expansion – Elfian (Greenomics)
• The Strategy to Mitigate Climate and the Forest Preservation – Teguh Surya (WALHI Eknas)

6.2.3. Paralel Session III: “Marginalisation Toward Women and Children in the Oil Palm Plantation Area“

This session will outline the situation and reality of women, included woman workers, and children working at the plantation area. Several case studies are going to be presented in the discussion of those issues based on Human Rights perspectives.

Speakers:
• Women and Children in the Oil Palm Industry – Ms. Zubaidah (Wahana Peduli Perempuan Jambi)
• The National Law Frame on the Protection toward Women and Children in the Oil Palm Industry – Ms. Yuniyanti Chuzaifah (The Chairman of National Commission for Women)
• Testimonies: Women and Children as the victims of the exploiting Oil Palm Industry – Inong and Dewi Arios (Peasant and Plantation Labourer)
• The Exploitation Against Women and Children in the Oil Palm Industry – Leli Zaelani (HAPSARI)



6.2.4. Paralel Session IV: “The Rapid Damage of Forests and the Expansion of Oil Palm Plantation”
The high demands toward oil palm have stimulated to the larger expansion of plantation in Indonesia. This expansion not only emerges at forest areas or fead lands, but also are in some areas where the traditional lands, which normally owned by the local people, have been converted for supplying those demands. Natural ecosistems have been devastatingly distorted which marked by many unwittingly natural disasters. The business’ interests oftenly victimise the very local people surrounding the plantation areas.

Speakers:
• Implemantation of national commitment on encountering climate change to assure the forest naturality – Gusti Muhammad Hatta, Minister of Living Environment.
• The Real Portrait of devastated forests and the Expansion of Oil Palm Plantation in North Sumatera – Syahrul Isman Sagala (WALHI SUMUT)
• Reflection against International Campaign toward Oil Palm in Indonesia – Nurhidayati (Greenpeace Indonesia)

6.2.5. Paralel Session V:“Food Crisis as an effect of the Expansion of Oil Palm Plantation”
The expansion has been known about to have negatively affected on the issue of food security. The land conversions for plantation aims tend vulnerably to have influenced the availability of basic foods of the very society. Though the government seemingly can not overcome the rooted problems met in lives of society. The ruling instantions even oftenly manipulate data of the number of lands used for agriculture and the production itself, this is done in order to hide what reality is.

Speakers:
• Food Security Versus the Expansion of Oil Palm Plantation – Ir. Sukirman (The Vice Head of Serdang Bedagai District)
• The Threat of Expansion toward Food Sovereignity – Witoro (Koalisi Beras Indonesia or Rice Coallition Indonesia)
• Peasant Movement on Food Crisis – Henry Saragih (SPI)
• Strategy of Food Security in Indonesia – Ir. Effendi Lubis,MMA (Kepala Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara or the Head of Food Security Board in North Sumatera)

6.2.6. Closing Meeting
This meeting will be intended to deliver the main outputs resulted from all activities of conference. This meeting will also be intended to deliver the joint declaration, public statement and follow up which will be incorporated in our together platform.

Contact Peoples:
• Gindo Nadapdap – Executive Director of Kelompok Pelita, Chairperson of Steering Committee, email: gnadapdap@gmail.com
• Saurlin Siagian – BAKUMSU, Chairperson of Executive Committee, email: Saurlin@gmail.com
• Longgena Ginting-Steering Committee Member, email: Longgenaginting@gmail.com

6.2.7. Book Reviews “The National Conferention of A Century of Crime in Oil Palm Plantation”
Book Reviews reflect the recent plantation activities in which the enactment of regulation on Plantation Law, it can not be interpretated at the present, enacted once during the colonial Dutch. These book reviews are aimed to sharing and reflection toward the real circumstances addressed on the issues of oil palm plantation in order to find what actions should be directed by looking back at those real circumstances and the historical journey of plantation in Indonesia.


Books are going to be reviewed:
• “Menjinakkan Sang Koeli” - Jan Bremen
• “Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979” - Aan Laura Stoler
• “Koeli Kontrak Tempo Doeloe, dengan derita dan kemarahannya” - H. Muhammad Said
• “Sengketa Agraria, pengusaha perkebunan melawan petani” - Karl J. Pelzer
• “Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria” - Karl J. Perlzer

6.2.8. Film Screening

Film Titles:
• Lost in Palm Oil (Friends of the Earth International)
• Lakukan Sekarang Juga (Dewan Nasional Perubahan Iklim)
• BHL (KPS)
• Buruh perempuan di perkebunan (KPS)
• Dampak Kehadiran Perkebunan di Sumatera Utara (KPS)
• Film oleh Sawit Watch
• Rusaknya hutan dan kegagalan sawit rakyat (WABPIS)


8. Budget
All Organisations supporting this Conference will together be initiatively responsible for all the Conference’s expenses, and from the external sources which are not binding. The detail of Conference’s budget may be looked at the attachment page.

9. Organisers
All activities of this conference are organised by an Indonesia NGOs Forum, a forum comprising of NGOs working on the issues around Oil Palm Plantation, namely Lentera, KPS, Bakumsu, Elsam, Bitra, Walhi-SU, Sahdar, Sawit Watch, KOTIB, Elsaka, Hapsari, Kontras, Petra, PBHI, LBH Medan, KSPPM, KPA, SPKS, BPRPI, Sintesa, SPI (La Via Campesina Indonesia), Jala, Gemawan Kalbar, Walhi Kaltim, Setara Jambi, JKMA Aceh, Jikalahari Riau,YPMP, Formatsu, WABPIS, FOKKER LSM Papua.

Board Members:
9.1. Steering Committee (SC)
Coordinator: Gindo Nadapdap (KPS),
Members: Diapari (Lentera); Benget (Bakumsu); Indri Sapta Ningrum (Elsam); Ranto Sibarani (KOTIB); Wahyudi (Bitra); Syahrul Sagala (Walhi SU), Reza (Sahdar); Abednego (Sawit Watch); Bekmi (Elsaka), Leli Zailani (Hapsari); Diah Susilowati (Kontras); Monang Ringo (Petra); Petrus (PBHI); Nuriono (LBH Medan); Dimpos Manalu (KSPPM-KPA); Maruli Sitorus (SPKS); Idham Arsyad (KPA); Asep (Huma); Harun Nuh (BPRPI); Sofian (Sintesa); Hendrik Saragih (La Via Campesina); Wagimin (SPI); Noor Aida (Jala); Lely Khainur (Gemawan – KALBAR); Isal Wardana (WALHI – KALTIM); Rukiah (SETARA Jambi); Budi Arianto (JKMA – Aceh); Susanto (JIKALAHARI – Riau); Sefter Manufandu (Fokker – LSM Papua); Edi Suryanto Purba (YPMP); Maruli Marpaung (Formatsu); M.H Roem (WABPIS); Saurlin Siagian (Ex-Officio)

9.2. Organiser Committee (OC)
Coordinator: Saurlin (Bakumsu – Coordinator ),
Fernando Sihotang (KPS - Vice Coordinator),
Kartika Manurung (KPS – Secretary)
Wahyu Wagiman (Elsam), Lina (Bitra); Dana Tarigan (Jala);
Desk Workshop: Swaldi, Tumpak (Barsdem).
Desk Media and PR: Longgena Ginting
Finance: Victoria dan Fitri
Desk Workshop: Arif Faisal (Sahdar)
Secretariat: Kiki (KPS-Koordinator), Zidane, Juni (Bakumsu), Rhani (Lentera)
Dokumentation: Icen, Yanto, Dayat
10. Secretariat Office
10.1 Kelompok Pelita Sejahtera (KPS)
Jalan Cempaka I No. 20, Kompleks Perumahan Pemda Tk.I Tanjung Sari
Medan 20132, Sumatera Utara
Telepon: +6261 8234300, Email: pokja.sawit@gmail.com
10.2 Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara
Jalan Sei Serapuh No. 20, Medan Baru
Telepon/Fax : (061) 4579002, Email: walhisu@indosat.net.id
10.3 Contact Persons
• Gindo Nadapdap – Executive Director of Kelompok Pelita Sejahtera and the Coordinator of Steering Committee of A Century
• Saurlin Siagian – Coordinator of Organising Committee
10.4 Bank Account
Account holders : Gindo Nadapdap,SH and Saurlin Siagian
Bank Name : BCA KCP Setiabudi
Account Number : 8205067121
INDONESIAN NGOs FORUM
ALTERNATIVE CONFERENCE AGAINST CELEBRATION OF A CENTURY OF OIL PALM IN INDONESIA