Rabu, 26 September 2012

Petani Protes Perampasan Tanah

Sinar Harapan, 24 September 2012

JAKARTA - Peringatan Hari Tani 24 September diwarnai dengan aksi massa di berbagai daerah dan ibu kota dengan tuntutan pelaksanaan Pasal 33 UUD 45 dan UU Pokok Agraria No 5/1960.
Mereka menuntut penghentian kontrak, MoU, dan pemberian perizinan pada perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mengakibatkan perampasan tanah rakyat. 

Di Jakarta, massa petani, nelayan, organisasi masyarakat, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia (Sekber PHRI) menggelar aksi di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Istana Kepresidenan, Senin ini.
Mereka meminta pemerintah menghentikan segala bentuk perampasan tanah rakyat dan segera melaksanakan pembaruan agraria sesuai dengan Konsitusi1945 dan UUPA 1960.
 
Tuntutan serupa juga disampaikan para petani yang menggelar aksi massa di sejumlah daerah, dari Aceh, Lampung, hingga Nusa tenggara Barat. Sejumlah serikat tani berskala nasional, seperti Serikat Petani Indonesia (SPI) maupun Serikat Tani Nasional (STN) berada di belakang aksi-aksi ini.
 
Selama beberapa tahun terakhir, konflik agraria yang membenturkan para petani dengan aparat keamanan maupun pihak perkebunan atau pertambangan terus terjadi. Data SPI menunjukkan, sepanjang 2011, sebanyak 35 petani menjadi korban kriminalisasi; 273.888 tergusur dari tanahnya; dan 18 tewas karena mencoba memperjuangkan tanahnya.
Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Noer Fauzi Rachman, menyebut konflik agraria memang telah meluas di berbagai daerah yang menghadap-hadapkan petani dengan badan-badan usaha raksasa yang bergerak dalam bidang infrastruktur, produksi, dan ekstraksi.
 
Menurutnya, konflik juga dipicu oleh pemberian izin konsesi oleh pejabat publik, termasuk Menteri Kehutanan, Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Kepala BPN, gubernur, dan bupati. Dalam berbagai kasus tidak jarang kaum tani masih dihadapkan dengan aparat kepolisian, TNI, atau preman setempat.
 
“Hukum, penggunaan kekerasan, kriminalsiasi tokok, manipulasi, penipuan, pemaksaan persetujuan dilakukan secara sistematik dan meluas untuk menghilangkan kepemilikan tanah rakyat,” ungkapnya kepada SH, Minggu (23/9).
Menurutnya, salah satu konflik agraria terjadi di bidang perkebunan, khususnya sawit, karena kebanyakan luas perkebunan kelapa sawit sering kali lebih luas dari konsesi legalnya. Mengutip data Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, tahun 2012, Noer Fauzi menunjukkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 8,1 juta hektare (ha). Sementara seluruhnya diperkirakan bisa mencapai 11,5 juta ha.
 
Menurut data Dirjenbun, Kementerian Pertanian, luas kebun sawit milik petani adalah di atas 40 persen. Sementara menurut Noer Fauzi, jumlahnya kurang dari 30 persen. Dengan percepatan luasan 400.000 ha per tahun, menurutnya, luasan kebun sawit digenjot pemerintah dan swasta luasan kebun sawit ditargetkan mencapai 20 juta ha.
Akibat dari penguasaan lahan untuk sawit ini, Deptan mengakui bahwa pada 2012 sebanyak 59 persen dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di 22 provinsi dan 143 kabupaten terlibat konflik dengan masyarakat.
 
“Konflik perkebunan kelapa sawit tersebar di di Kalimantan Tengah dengan 250 kasus, Sumatera Utara 101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus. Totalnya 591 konflik,” kata dia.
 
Di Riau, para petani berhadapan dengan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan PT Sumatra Riang Lestari (SRL). Dalam setahun, menurut Ketua Serikat Tani Riau (STR) Muhammad Ridwan, ada 162.000 ha kawasan hutan yang dibabat hanya untuk menjamin keberlangsungan industri kertas internasional.
 
Pembabatan hutan oleh PT RAPP dilakukan di kawasan gambut dan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Riau. Sementara itu, PT SRL sedang membuka kawasan hutan di Pulau Rangsang seluas 18.890 ha, Pulau Tempuling 48.635 ha, dan Pulau Rupat 38.590 ha. Perlawanan petani juga terjadi di Kampar, Bengkalis, dan Siak.
 
Ridwan mengatakan, Senin ini, ribuan petani akan menggelar aksi di kantor gubernur dan DPRD Pekanbaru untuk menuntut pencabutan semua SK Menteri Kehutanan yang dianggap merugikan petani.
 
Di Sumatera Utara, konflik agraria saat ini berlangsung antara petani dengan BUMN maupun perkebunan swasta. Koordinator Komite Tani Menggugat, TBR Simamora mengatakan, hari ini massa tani dari Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Deli Serdang akan mengepung DPRD dan kantor gubernuran di Medan.
“Kami menuntut agar pemerintah membatalkan semua konsesi, MoU dan kontrak yang merampas tanah rakyat,” ungkapnya.
 
Ia menjelaskan, kaum tani dari Kabupaten Deli Serdang yang terhimpun dalam Himpunan Petani Penggarap Tanah Negara (HPPTN), Kelompok Tani Sehati, Kelompok Tani Selambo, Kelompok Tani 71-79, dan Kelompok Tani Duren Tunggal selama ini mempertahankan tanah eks HGU seluas 5.500 ha.
 
Perjuangan yang sama juga dilakukan oleh kelompok-kelompok tani dari Kabupaten Serdang Bedagai. Sementara itu Kelompok tani Torang Jaya Mandiri dari Kabupaten Padang Lawas mempertahankan tanah seluas 1.500 ha yang akan diambil alih oleh PT Sumatra Riang Lestari dan PT Sumatra Silva Lestari untuk HTI yang menyediakan bahan baku kertas internasional.
 
Data BPN pada 2011, menyebut ada 875 konflik agraria di Sumatera Utara. Namun menurut Polda Sumut mencapai 2.553 konflik agraria.
 
Di Sumatera Selatan, terdapat 150 konflik agraria yang melibatkan masyarakat tani yang berhadapan dengan perusahaan swasta dan pemerintah daerah. Menurut aktivis tani, Firdaus, saat ini kelompok tani yang masih terus melawan adalah dari Kecamatan Muaro Belido, Kabupaten Muara Enim melawan PT Inderalaya Agro Lestari yang merampas lahan ulayat rakyat seluas 4.500 ha. Kelompok tani dari Kecamatan Rantau Bayur, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan juga sedang melawan perampasan tanah oleh PT Rumpun Enam Bersaudara seluas 2.000 ha.
 
Menurut Ketua STN Yoris Sindhu Suharjan, atas nama Pasal 33 dan UUPA rakyat berhak menguasai dan mengelola tanah tanah tersebut lewat koperasi.
 
Terbelit Utang
Di luar konflik tanah, nasib petani juga masih jauh dari sejahtera. Peningkatan harga bahan pangan pokok dalam satu tahun terakhir tidak mengindikasikan kesejahteraan petani.
 
Ekonom Institute of Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, petani di Indonesia belum belum masuk ke zona sejahtera sebab kenaikan angka nilai tukar petani tidak sebanding dengan kenaikan inflasi.
"Banyak petani tebu sejahtera karena luas lahan yang mereka miliki lebih dari 2 ha. Petani padi juga sawit pun ada yang sejahtera, tapi yang luas lahan miliknya 2 ha lewat ya,’’ kata dia.
 
Menurut Avi, kenaikan harga pangan pokok belum bisa mengentaskan kemiskinan secara langsung, apalagi trennya petani yang justru terbelit dari persoalan sosial ekonomi seperti utang atau sakit keras, sehingga membutuhkan dana besar. Solusi satu-satunya yang mereka miliki adalah menjual tanah mereka.
 
Harga tanah yang terus naik tiap tahun justru membuat petani tergiur untuk menjualnya. Karena itu, pembaruan agraria kemudian menjadi harapan banyak petani.
 
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin membenarkan bahwa dalam satu tahun terakhir, tingkat kesejahteraan petani di Indonesia atau disebut Nilai Tukar Petani (NTP) tidak sebanding dengan beban inflasi yang harus mereka tanggung.
 
NTP Agustus 2012 sebesar 105,26, sedangkan NTP Agustus 2011 sebesar 105,11. Artinya, naik NTP hanya 0,14 persen, sementara laju inflasi year on year Agustus 2012 ke Agustus 2011 sebesar 4,58 persen. Ini sangat tidak sebanding.
Namun menurut Mentan Suswono, kondisi tingginya harga bahan pangan pokok saat ini sudah memberi insentif bagi petani. Setidaknya efek sejahteranya terjadi pada petani yang memiliki luas lahan lebih dari 2 ha.
Itu karena teori perlindungan terhadap harga jual gabah petani sudah betul. Di sisi lain ada kenaikan harga pupuk di awal tahun 2012 membawa konsekuensi naiknya biaya produksi usaha tani. Tanpa pemberian insentif yang memadai kepada para petani, penurunan tingkat pendapatan akan berujung pada penurunan angka nilai tukar petani. (CR-27)
 

Tidak ada komentar: