Rabu, 29 Juli 2009

RSPO Hanya untuk Menjaga Citra

Selasa, Juli 28, 2009
Palembang, Kompas - Sertifikat Roundtabel on Sustainable Palm Oil atau
Konferensi Minyak Sawit Berkelanjutan yang diberikan kepada perusahaan
kelapa sawit tidak menjamin perusahaan itu telah melaksanakan
prinsip-prinsip RSPO. Sertifikat RSPO hanya salah satu cara untuk
menimbulkan citra positif bagi perusahaan.

Demikian kesimpulan dalam diskusi yang bertema ”Menyibak Skenario di
Balik Sertifikasi RSPO” yang diselenggarakan Walhi Sumatera Selatan dan
kantor berita Antara, Senin (27/7) di Palembang.

Ketua Departemen Kampanye Sawit Watch, Jefri Gideon Saragih,
mengutarakan, ada empat perusahaan kelapa sawit di Indonesia yang telah
memiliki sertifikat Roundtabel on Sustainable Palm Oil (RSPO). Satu
perusahaan di Sumsel, dua perusahaan di Kalimantan Tengah, dan satu
perusahaan di Sumatera Utara.

Namun, kata Jefri, keempat perusahaan tersebut sebenarnya belum
melaksanakan delapan prinsip dan 39 kriteria RSPO.

”Masih banyak konflik antara perusahaan-perusahaan tersebut dengan
masyarakat. Sawit Watch menerima surat pengaduan dari masyarakat yang
berkonflik dengan perusahaan itu,” kata Jefri.

Jefri mengungkapkan, sertifikat RSPO pada akhirnya hanya untuk
kepentingan pasar. Perusahaan yang mengantongi sertifikat RSPO
seolah-olah sudah berhasil menghasilkan minyak kelapa sawit mentah (CPO)
tanpa konflik dengan masyarakat dan tanpa menimbulkan kerusakan pada
lingkungan.

Menurut Jefri, seharusnya ada sistem yang kuat untuk mengawasi
perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia.

Kepala Subbidang Pengendalian Pencemaran Badan Lingkungan Hidup Sumsel
Muhammad Andhy menuturkan, perusahaan kelapa sawit di Sumsel yang
memiliki sertifikat RSPO bukan yang terbaik dalam pengelolaan
lingkungan. Perusahaan tersebut masuk dalam kategori biru, belum masuk
kategori hijau yang berarti terbaik.

Andhy menuturkan, banyak perusahaan kelapa sawit di Sumsel yang tidak
menyampaikan laporan pengelolaan lingkungan. Padahal, keberadaan
perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan CPO menimbulkan dampak
lingkungan.

Menurut Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, RSPO memiliki kelemahan
karena sifatnya tidak mengikat perusahaan dan tidak ada konsekuensi bagi
perusahaan yang tidak memilikinya. RSPO juga tidak mempunyai otoritas
melakukan intervensi.

Sekretaris Dinas Perkebunan Sumsel Anung Riyanta mengungkapkan, Sumsel
memiliki 3,2 juta hektar lahan perkebunan, tetapi yang dimanfaatkan baru
2,03 juta hektar.

Menurut akademisi Unsri, Julian Junaedi, RSPO adalah strategi
memperlambat meletusnya konflik antara perusahaan perkebunan kelapa
sawit dan masyarakat.

Penangkapan

Jefri memaparkan, banyak perusahaan kelapa sawit yang masih berkonflik
dengan masyarakat terkait sengketa lahan. Rata-rata setiap tahun di
seluruh Indonesia ada 20 orang yang ditangkap polisi karena masalah
sengketa lahan dengan perusahaan kelapa sawit. Sejak Sawit Watch berdiri
tahun 2004 sampai tahun 2009, terdapat 576 kasus konflik lahan.

Menurut Jefri, masalah sengketa lahan muncul karena masyarakat tidak
mempunyai sertifikat tanah sehingga tidak bisa membuktikan kepemilikannya.

”Warga ditangkap ketika berunjuk rasa memasuki wilayah perusahaan,
mencabuti tanaman kelapa sawit, atau melakukan perusakan,” kata dia.

Tidak ada komentar: