Kamis, 30 Juli 2009

RSPO hanya Ulur konflik

Monday, 27 July 2009 16:32

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Julian
Junaidi Polong, menilai keberadaan Sertifikasi RSPO (Roundtable on
Sustainable Palm Oil) hanya akan mengulur konflik yang terjadi pada
perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Palembang, 27/7 (Antara/FINROLL News) - Dosen Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Julian Junaidi Polong, menilai
keberadaan Sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) hanya
akan mengulur konflik yang terjadi pada perkebunan kelapa sawit di
Indonesia.

"Konflik yang semula sempat menaik grafiknya akan kembali menurun,
menyusul adanya ketentuan Sertifikasi RSPO itu," kata JJ Polong, dalam
diskusi terbatas yang diselenggarakan Lembaga Kantor Berita Nasional
(LKBN) ANTARA Biro Sumsel bekerjasama dengan Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) Sumsel, dan diikuti kalangan media massa (wartawan),
unsur dinas dan instansi pemerintah Provinsi Sumsel, akademisi, LSM/NGO,
di Kantor LKBN ANTARA Sumsel.

Diskusi ini bertemakan "Menyibak Sekenario di balik Sertifikat RSPO", dan
terfokus membahas pro dan kontra pengembangan perkebunan sawit atau
"sawitisasi" di Sumatra maupun Sumsel khususnya.

"Bila biaya lingkungan yang semakin tinggi dan manfaat lingkungan semakin
menurun bertemu dalam satu titik, maka hampir pasti akan terjadi konflik
lingkungan. Keberadaan RSPO hanya akan mengulur waktu agar konflik
lingkungan ini tidak cepat terjadi," kata Polong yang juga pernah dikenal
sebagai aktivis pembela hak petani di Sumsel itu pula.

Ia menyatakan, keberadaan Sertifikat RSPO merupakan standard pengelolaan
perkebunan sawit yang sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan hidup
secara berkelanjutan (minyak sawit lestari).

Penerapan Sertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) itu, telah
disepakati pada Konferensi Minyak Sawit Lestari akhir tahun 2002.

Sesuai dengan ketentuan sertifikasi itu, minyak sawit (CPO) yang
dihasilkan benar-benar harus memenuhi delapan prinsip dan tiga kriteria
yang dipersyaratkan, seperti tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan
tidak terlibat dalam konflik sosial dengan masyarakat di sekitar
perkebunan sawit itu, kata dia pula.

Namun, lanjut JJ Polong lagi, dalam pelaksanaan di lapangan, penerapan
sertifikasi tersebut dilaporkan masih banyak menimbulkan sejumlah
persoalan bagi lingkungan maupun masyarakat di dalamnya.

Ia memberikan ilustrasi berdasarkan pengalamannya yang pernah bermukim di
daerah perkebunan kelapa sawit di kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU).

"Sewaktu belum dibuka lahan perkebunan kelapa sawit di daerah itu, manfaat
lingkungan menjadi demikian tinggi, seperti masyarakat sekitar dapat
mengambil kayu bakar dan memanfaatkan hasil hutan lainnya secara leluasa,"
ujar dia.

Namun setelah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, manfaat lingkungan
menjadi menurun bagi masyarakat sekitarnya, dan berimbas dengan biaya
lingkungan menjadi tinggi karena banyak penggunaan zat-zat kimia pestisida
serta biaya lainnya, kata Polong lagi.

Dia menambahkan, keadaan ini akan berpengaruh signifikan kepada masyarakat
yang tidak dapat terintegrasi dalam industri agrobisnis modern ini,
seperti masyarakat yang tergusur akibat pembukaan lahan perkebunan ini.

"Artinya, konflik lingkungan yang terjadi di lahan perkebunan kelapa sawit
pasti akan terjadi walaupun sudah ada RSPO, karena RSPO hanya berfungsi
seperti mengulur waktu saja," kata Polong.

Karena itu, dia menyarankan agar fokus perhatian dari berbagai pihak dalam
kaitan penerapan Sertifikat RSPO itu adalah bagaimana menyeimbangkan
antara kepentingan kapitalis (pemilik modal, Red), masyarakat, dan
lingkungan yang masuk dalam siklus agrobisnis ini dan yang tidak.

Dialog kerjasama WALHI Sumsel dengan LKBN ANTARA Sumsel itu, menghadirkan
narasumber lain, yaitu Ketua Departemen Kampanye Sawit Watch Jefri Gideon
Saragih, Direktur Eksekutif WALHI Sumsel Anwar Sadat, Sekretaris Dinas
Perkebunan Sumsel Anung Riyanta, dan Staf Badan Lingkungan Hidup Sumsel
Muhammad Andhy. (T.PSO-039)

Tidak ada komentar: