Rabu, 17 April 2013

Seriusnya masalah Pedesaan dan Pangan




Ketika saya melakukan kunjungan-kunjungan ke wilayah pedalaman Labuhan Batu sejak tahun 2009, saya menemukan betapa seriusnya masalah tanah dan pangan yang kita hadapi saat ini di Pedesaan. Pergeseran tanaman pangan utamanya padi ke perkebunan sawit itu terjadi dalam hitungan bulan. Tanaman sawit seperti sihir baru yang memesona penduduk pedesaan. 


Jika bulan ini kita melihat padi yang ditanam berada diantara pohon sawit yang masih kecil, maka itu akan menjadi padi terakhir dilahan tersebut, karena untuk seterusnya sawit tidak menginginkan tumbuhan seperti padi bergandengan dengannya. Warga pedesaan tidak merasa aneh dan mempersoalkan beras di dapur yang mereka makan, adalah beras impor dengan kualitas yang sangat buruk, yang jika mujur mereka dapatkan dari Kantor Kepala Desa, namun biasanya dibeli dari pasar.
Petani perlahan bergeser menjadi buruh borongan ke kebun-kebun skala kecil menengah, tanah perlahan bergeser kepemilikan menjadi tanah perusahaan perkebunan besar, atau menjadi supir dan kernet truk pengangkut sawit. Pemandangan baru lagi, warga desa yang tinggal di pinggiran jalan “menikmati” abu yang setiap menit dihembuskan oleh truk-truk pengangkut tandan sawit. Saya mengira ada persoalan nalar yang serius tentang masa depan pertanian pangan khususnya padi yang jorjoran dihancurkan oleh tanaman berusia lebih satu abad ini di pantai Timur Sumatra.

Ditingkat global, pangan tidak hanya berpotensi, tetapi telah memasuki era krisis disatu sisi, dan harga yang meroket disisi lain. Naiknya harga-harga pangan disebabkan oleh spekulasi-penimbunan- dan penggunaan yang meningkat terhadap komoditas pangan kepada fungsi lain seperti makanan ternak dan agrofuel. Krisis energi fosil menyebabkan pasar bergeser untuk memakai bahan pangan untuk energi seperti jagung dan kacang kedelai.

Organisasi pangan dan Pertanian, FAO, mencatat untuk pertama kalinya dalam sejarah jumlah warga dunia yang mengalami kelaparan melewati angka satu milyar orang pada tahun 2009, meningkat dari sekitar 850 juta orang pada tahun 2005 (FAO, 2009b). Diantara jumlah itu, warga yang paling terkena dampak adalah negara-negara miskin yang tidak punya akses terhadap pangan. Makanan yang tersedia di pasar dan super market tidak bisa diakses oleh kelompok miskin karena harga yang meroket. Dari informasi ini, persoalan pangan ternyata bukan hanya karena konversi lahan untuk keperluan non pangan, tetapi ketimpangan akses terhadap pangan.

Hingga 2012, luas lahan pertanian padi di Sumatera Utara versi departemen Pertanian sebesar 801.509 hektar, tertinggal jauh dari luas perkebunan sawit, versi Sawit Watch, yang sudah mencapai 1,3 juta hektar, namun versi Dirjen Perkebunan dan Pertanian, seluas 1.017.570 hektar[1]. Data departemen Pertanian ini patut dipertanyakan mengingat besarnya laju konversi yang terjadi setiap waktu, meskipun sudah ada UU no 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

selengkapnya, silahkan hubungi Lentera di: lrakyat@indo.net.id 


[1] Statistik Perkebunan 2009-2011, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, juga lihat di http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/commodityarea.php?ia=12&ic=2 diakses 3 April 2013.

Tidak ada komentar: