Minggu, 05 Februari 2012

Peta Navigasi Studi Agraria

Sketsa Perkembangan Reforma Agraria dan Studi Agraria: Sekelumit "Peta Navigasi"

by Shohib Sifatar on Wednesday, 1 February 2012 at 18:17
Oleh: Mohamad Shohibuddin


Pengantar

Peta navigasi ternyata diperlukan bukan hanya untuk penerbangan pesawat di udara, namun juga untuk perdebatan reforma agraria.

Banyak diskusi mengenai reforma agraria di tanah air, dalam kesan saya, kerap tidak jelas arahnya karena mereka yang berdebat sering membayangkan "titik koordinat" berbeda saat sama-sama berbicara reforma agraria. Hal ini tak ubahnya seperti berdebat pada "arah mata angin" yang sama tetapi dengan "level ketinggian" yang berbeda, atau dengan "level ketinggian" yang sama namun "arah mata angin"-nya berbeda. Akibatnya diskusi tidak berjalan produktif dan mencerahkan, dalam arti dapat mengantarkan pesertanya pada pemahaman yang lebih baik mengenai masalah reforma agraria—terlepas apapun sikap yang diambil masing-masing setelahnya.

Salah satu contoh "ketiadaan navigasi" itu tercermin pada sikap “setengah curiga” dari sebagian kalangan pejuang reforma agraria terhadap studi kritis agraria. Daripada melihatnya sebagai "mitra tanding" untuk mengembangkan praktik reforma agraria yang lebih baik, studi kritis semacam itu terkadang lebih dianggap sesuatu yang melemahkan perjuangan reforma agraria sendiri. Contoh kecilnya tampak antara lain dalam “debat lama” antara apakah yang mesti diutamakan adalah mengupayakan kepastian penguasaan tanah yang sudah diduduki rakyat ataukah mempedulikan pula kecenderungan diferensiasi agraria dan elitisme yang mulai tampak di antara mereka. Begitu juga, antara devolusi penguasaan hutan dengan kecenderungan diferensiasi manfaat di antara anggota komunitas yang menjadi penerima devolusi tersebut. Sikap yang kurang lebih sama, namun dengan alasan yang sama sekali berbeda, juga sering dikemukakan oleh para birokrat agraria.

Dalam kutub berlawanan, terdapat kalangan yang cenderung skeptis terhadap reforma agraria ini dan kerap mengkritisinya dengan cara yang amat simplistis. Hal ini tampak misalnya dalam kecenderungan mendikotomikan reforma agraria dengan isu ekologi, bahwa land reform niscaya akan menimbulkan masalah lingkungan di tengah pertumbuhan populasi yang terus menanjak tinggi. Begitu pula, ia tampak dalam berbagai pandangan yang mereproduksi skeptisisme lama bahwa land reform kepada petani miskin justru tidak akan produktif, dan tanah itu dengan mudah akan dijual lagi oleh si petani karena usahatani demikian memang tidak memenuhi skala ekonomi yang menguntungkan.[1] Kritisisme yang terlampau simplistis ini dilontarkan dengan mudah seolah apa yang disebut sebagai reforma agraria itu bersifat tunggal dan tidak bernuansa. Padahal, diskursus dan praktik mengenai reforma agraria ini sangatlah dinamis, dan dalam perkembangannya telah melahirkan banyak keragaman dan variasi.

Akibatnya, dalam kedua kasus di atas, apa yang sering terjadi adalah situasi yang suka saya istilahkan sebagai "sindrom teh botol ●●●●●". Seperti kita tahu, pesan utama iklan ini adalah: "Apapun makanannya, teh botol ●●●●● minumannya." Mengambil perumpamaan iklan ini, saya khawatir, bagi para pendukung fanatik reforma agraria, yang terjadi adalah: "Apapun masalahnya, reforma agraria jawabannya!" Sebaliknya, bagi mereka yang cenderung menentangnya, hal sebaliknya yang terjadi, yakni: "Apapun bentuk reforma agrarianya, hanya permasalahan yang ditimbulkannya!"[2] Kedua posisi semacam ini jelas tidak bisa mendukung berjalannya diskusi dan debat yang produktif.
lebih lengkap silahkan klik link berikut ini:
https://www.facebook.com/notes/shohib-sifatar/sketsa-perkembangan-reforma-agraria-dan-studi-agraria-sekelumit-peta-navigasi/10150638152051224?ref=notif&notif_t=comment_mention

Tidak ada komentar: