Kamis, 25 Maret 2010

18 Perusahaan CPO Melawan

Greenpeace dinilai lakukan kampanye hitam
JAKARTA: Sedikitnya 18 perusahaan bersama pemerintah siap pasang badan
melawan desakan isu negatif yang belakangan ini gencar menyerang bisnis
minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia

Pukulan bertubi-tubi dari salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli
lingkungan berafiliasi internasional, Greenpeace, dikhawatirkan menurunkan
volume ekspor CPO nasional setelah sejumlah pembeli besar memutus kontrak.

Harga CPO di bursa komoditas berjangka Malaysia untuk pengapalan hingga
Agustus 2010 terus mengalami penurunan dengan fluktuasi 200 ringgit per ton.

Untuk menangkal isu negatif yang berpotensi berdampak sistemik terhadap
target ekspor dan pendapatan devisa negara, pemerintah akan merapatkan
kekuatan nasional dengan memanggil 18 perusahaan besar pemangku bisnis CPO.

"Kami dan petinggi 18 perusahaan akan membicarakan langkah apa yang perlu
ditempuh untuk menghadapi kampanye hitam dari LSM seperti yang dilakukan
Greenpeace," ujar Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Achmad Mangga
Barani, kemarin.

Perusahaan tersebut a.l. PT Astra Agro Lestari, PT Sinarmas Agro Resources
and Technology, PT London Sumatera, Wilmar, PT Musi Mas, PT Sampoerna Agro,
Bakrie Sumatera Plantations, dan PTPN.

Dia mengatakan pemerintah berupaya untuk mengantisipasi dan mencegah agar
kampanye hitam dari Greenpeace tidak meluas dan berdampak sistemik terhadap
industri sawit nasional.

Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, penyelesaian yang paling
adil dalam kasus pemutusan kontrak CPO oleh perusahaan asing harus
diselesaikan dengan melibatkan pihak ketiga yang dianggap kredibel,
independen, dan bisa diterima semua pihak.

Menurut Mari, langkah tersebut merupakan jalan penyelesaian yang paling adil
untuk menemukan persoalan dan kebenaran fakta di lapangan.

Presiden Direktur PT SMART Tbk, unit Bisnis Grup Sinarmas yang mengelola
perkebunan kelapa sawit, Daud Dharsono menyatakan pihaknya masih akan
melakukan verifikasi atas laporan sepihak dari Greenpeace yang belum dapat
dipastikan kebenarannya.

Perusahaan ini akan menunjuk lembaga independen untuk melakukan verifikasi
tersebut.

Namun, Mangga Barani menyatakan apa yang dilakukan oleh pemerintah ini bukan
berarti membela kepentingan satu perusahaan saja, tetapi lebih pada
kelangsungan sawit di dalam negeri.

Tindakan tegas yang akan diambil ada dua yakni menghentikan ekspor ke Uni
Eropa dan membawa masalah sawit menjadi isu di World Trade Organization
(WTO). "Ini dua kartu truf yang akan dikeluarkan jika sudah tidak ada jalan
keluar untuk masalah ini."

Kampanye putih

Menteri Pertanian Suswono menuturkan pada Mei delegasi dari Indonesia akan
datang ke Uni Eropa dan memberikan kampanye putih mengenai produk CPO
Indonesia.

"Kami akan menjelaskan mengenai sawit lestari yang telah diterapkan di Tanah
Air. Upaya ini merupakan counter balik atas kampanye hitam yang selalu
dilakukan oleh LSM. Kami [Indonesia-Malaysia ] akan memantau perkembangannya
sebelum mengambil langkah penghentian ekspor," ujarnya.

Dia menjelaskan isu negatif yang menghantam perkebunan sawit karena
efisiennya komoditas ini dibandingkan dengan minyak nabati lainnya seperti
kedelai dan rapesheed. Suswono mengatakan masukan apapun dari LSM jika
terbukti akan ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Mangga Barani menegaskan pemerintah tidak akan melakukan moratorium sawit di
dalam negeri. "Mereka [LSM] tujuannya kan moratorium sawit di dalam negeri.
Artinya kan sama saja sawit tidak boleh berkembang. Jika negeri ini sengsara
apakah LSM itu mau memberikan uang pada negeri kita," tegasnya.

Menurut dia apa yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan undang-undang.
Dengan demikian, katanya, jika ada perusahaan yang terbukti melanggar maka
akan mendapatkan hukuman. Namun demikian, katanya, pemerintah tidak akan
tunduk pada keinginan LSM, apalagi yang memiliki agenda tertentu di balik
masalah lingkungan.

"Pemerintah ini berdaulat dan wajib melindungi kesejahteraan warga
negaranya. Itu yang penting," tegas Mangga Barani.

Ketua Umum Gapki Pusat Joefli Bahroeni meminta agar Sekretariat RSPO
menjelaskan mengenai pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

"Gapki sudah meminta agar mengeluarkan statement mengenai pembangunan
perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, sehingga tudingan pihak ketiga di
luar RSPO mengenai pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat
diminimalisasi, " ujarnya di Medan, kemarin.

Kalau RSPO tetap diam dan tidak memberikan reaksi atau komentar, maka
keberadaan RSPO patut dipertanyakan. "Kalau ada tudingan miring mengenai
pembangunan perkebunan kelapa sawit sebaiknya dibicarakan di RSPO, bukan
diselesaikan secara parsial antarperusahaan, " tuturnya.

"Apa benar sawit yang dihasilkan PT Sinarmas dengan merusak hutan? Karena di
Indonesia sudah ada ketentuan yang ketat mengenai pembukaan perkebunan
kelapa sawit," kata Joefli.

Sekjen Gapki Pusat Joko Supriyono menambahkan tahun ini Indonesia
menargetkan produksi CPO sebesar 23 juta ton atau meningkat antara 1,5 juta
ton dan 2 juta ton dari produksi 2009.

Permintaan meningkat

Adapun, permintaan CPO di pasar internasional meningkat antara 4 juta ton
dan 4,5 juta ton per tahun. Jadi, kata dia, pembatalan produksi CPO
Indonesia oleh Nestle dan Unilever tidak besar pengaruhnya.

"Hanya saja citra Indonesia di mata dunia sedikit tercoreng akibat kampanye
negatif dari LSM internasional. Mengembalikan citra ini yang sulit," tegas
Joko.

Aktivis Greenpeace gencar melancarkan aksinya menyerang perusahaan yang
ditengarai merusak hutan dan melakukan penanaman di kawasan gambut yang
memicu emisi karbon.

Pekan lalu, lembaga ini mendesak Nestle untuk memutus kontrak pembelian CPO
dari Grup Sinarmas.

Tidak hanya dengan Sinarmas, Greenpeace pun mendesak Nestle menghentikan
pembelian dari dua trader besar, yaitu Cargill dan IOI.

"Pembatalan kontrak langsung dengan Sinarmas oleh Nestle belum cukup. Mereka
harus menghentikan pembelian produk Sinarmas dari pihak ketiga seperti
Cargill dan IOI," tegas Bustar Maitar, Team Leader Kampanye Hutan Greenpeace
Asia Tenggara.

Indonesia, ujarnya, mempunyai laju deforestasi tercepat dibanding
negara-negara yang masih mempunyai hutan di dunia.

Sejak lebih dari setengah abad lalu, sudah 74 juta hektare hutan alam
Indonesia-atau dua kali lebih besar dari wilayah negara Jerman-telah hancur
atau dibakar.

"Greenpeace tidak anti-industri kelapa sawit, kampanye kami bertujuan untuk
menghentikan perusahaan seperti Sinarmas merusak hutan alam Indonesia yang
masih tersisa," ujar Bustar.

Greenpeace akan all out menghadapi kampanye tandingan yang dilakukan
pemerintah dan pengusaha sawit sampai tujuan moratorium komoditas perkebunan
ini dilakukan.

Dia menuturkan upaya pemerintah untuk mengancam menghentikan ekspor CPO ke
Eropa dan mengalihkan ke pasar lain tidak akan mudah.
http://web.bisnis. com/edisi- cetak/edisi- harian/1id170874 .html

Tidak ada komentar: