Rabu, 30 March 2011
Seabad perkebunan kelapa sawit di Indoesia, lebih produktif konflik ketimbang produksi.
Pemerintah seharusnya mulai mendesain masa depan petani kelapa sawit untuk mandiri. Yaitu, dengan melakukan transformasi struktur perkebunan yang dimulai dari evaluasi izin usaha perkebunan serta membatasi penguasaan Hak Guna Usaha hingga 90 tahun.
“Meski perkebunan sawit di Indonesia sudah seabad, kebijakan soal masa depan petani kelapa sawit makin mundur,” papar Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit, Mansuetus Darto saat peringatan seabad perkebunan sawit di Pekanbaru, Riau, seperti dikutip siaran pers Walhi, Rabu (30/3).
Seorang petani kelapa sawit di Riau, Yuslim, dalam siaran pers sama menguraikan kondisi yang dia alami. Dia menjelaskan, masih berlangsung konflik petani yang bermitra dengan pemilik lahan, PT TBS. “Juni tahun lalu, ibu Yusniar tewas tertembak polisi karena berjuang agar mendapat lahan yang seharusnya dia miliki,” tuturnya.
Yuslim menerangkan lahan kelapa sawit TBS dikelola dengan sistem plasma-inti. Dia mencatat, hingga kini, kebun yang tidak diberikan kepada petani sekira 1.700 hektare (ha) oleh TBS.
Yuslim memaparkan, masyarakat menduduki kebun inti. Namun, TBS belum merespon. Konflik disebabkan akibat TBS membangun kebun plasma setengah hati. Padahal, kredit sudah maksimal untuk membangun kebun plasma yang lebih baik.
Dia menyayangkan, dalam setiap konflik, TBS selalu melibatkan aparat Kepolisian. Tindakan aparat kepolisian dinilai berlebihan. “Apalagi kalau TBS bermasalah dengan petani,” tandasnya.
SPKS mencatat, contoh kasus lain seperti TBS dilakukan juga oleh PT MAI dan PT Torganda di Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Kedua perusahaan itu mencaplok ladang-ladang masyarakat. Selanjutnya, mengusir paksa masyarakat dan membakar rumah-rumah penduduk pada tahun 2010.
Hariansyah Usman, Direktur Walhi Riau menguraikan, konflik paling tinggi di Riau terjadi di perkebunan. Tahun 2010, sekitar 24 persen dari total luasan kebun terjadi konflik.
Luasan konflik disebabkan masih berlakunya model paksa seperti zaman penjajahan dulu. SPKS mencatat, tahun 2010 sebanyak 129 petani kelapa sawit di kriminalisasi hingga dipenjara. “Cara penjajahan masih dipraktikkan pada masa saat ini,” tandas Hariansyah.
Menurut catatan SPKS, sebanyak 20.117 ha kebun rakyat di Riau belum diremajakan. Keadaan itu terjadi karena banyak penolakan petani kelapa sawit yang menentang pola manajemen satu atap dalam revitalisasi perkebunan. Pola manajemen satu atap di atur melalui, Permentan No.33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan dan Permenkeu No.117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan.
Pola manajemen satu atap adalah pengelolaan kebun plasma yang dilakukan oleh perusahaan baik dalam hal menanam, memelihara hingga memanen dan mengambil hasilnya. Petani akan mendapatkan hasil bersih yang diberikan perusahaan.
Luas perkebunan kelapa sawit di Riau seluas 2,8 juta dan sekitar 50,51 persen dikelola oleh 356.000 Kepala Keluarga (KK). Sisanya dikuasai beberapa perusahaan perkebunan dan sekira 50 persen dari luas perkebunan swasta dikuasai oleh Malaysia.
Selain itu, menurut temuan Walhi, ekspansi kebun sawit di hutan gambut berkontribusi besar terhadap tingginya angka deforestasi serta peningkatan emisi karbon provinsi Riau. Setiap kejadian bencana asap selalu saja ditemukan titik api dalam areal konsesi perusahaan kebun. “Kala momentum satu abad ini, pemerintah Riau melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait ambisi menjadi produsen sawit terbesar,” tutur Hariansyah.
Walhi mencatat, kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada era 1870-an.
Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura" (Wikipedia, 2008).
Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial. Hal itu dirintis di Hindia Belanda oleh Adrien Hallet, seorang Belgia. Jejak itu diikuti K Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama di Indonesia berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh.
Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912.
Rabu, 30 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar