Selasa
29 Mei 2012
Batam,
Kompas - Sengketa lahan, yang dapat berujung pada konflik sosial,
bukan persoalan baru. Namun, sengketa itu cenderung dibiarkan, tanpa
penyelesaian yang berarti. Rakyat tetap tersisihkan. Padahal, sebenarnya
ada beberapa model penyelesaian yang bisa dilakukan pemerintah.
”Seperti
juga tahun sebelumnya, sepanjang tahun 2012 konflik agraria merata di
Indonesia. Ada konsentrasi pengusahaan lahan oleh perusahaan besar.
Sebagian besar konflik disebabkan masalah pertanahan yang tidak pernah
selesai,” papar Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA) Iwan Nurdin, Senin (28/5), di Batam
Tahun
ini, selain terjadi di Mesuji (Sumatera Selatan dan Lampung), letupan
konflik agraria juga terjadi di Sungai Mencirim (Sumatera Utara) dan
Jember (Jawa Timur). Sengketa lahan terjadi antara warga atau perambah
dan perusahaan swasta atau badan usaha milik negara, khususnya PT
Perkebunan Nusantara (PTPN) dan badan usaha milik daerah. Sengketa lahan
umumnya terkait perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.
Di
Sumsel, konflik antara warga dari sejumlah desa dan PTPN VII Cinta
Manis, Senin, makin memanas pula. Ratusan pekerja PTPN VII Cinta Manis,
yang tergabung dalam Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SPPN) VII,
kemarin, berunjuk rasa di Polda Sumsel dan Kantor Gubernur Sumsel di
Palembang. Pekerja mendesak Polri dan Pemerintah Provinsi Sumsel
memberikan perlindungan kepada pekerja dan perusahaan itu.
Pekerja
juga meminta penduduk tidak mengklaim lahan tanpa bukti kepemilikan
yang sah. Kasus perebutan lahan antara warga dari 13 desa di sekitar
perkebunan tebu dan PTPN VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir terjadi
sejak tahun 1982. Warga menilai lahan mereka diambil alih dengan ganti
rugi yang tak sesuai.
Di
Aceh, sengketa lahan antara warga dan perusahaan pemegang hak guna
usaha (HGU) dan izin konsesi lain mengancam Kawasan Rawa Tripa. Kawasan
yang dikelola perusahaan perkebunan sawit pemegang HGU tumpang tindih
dengan lahan hutan, yang mencapai 62.000 hektar. Warga dari tujuh desa
di sekitar kawasan itu menolak perkebunan kelapa sawit yang mereka nilai
mengambil alih lahan mereka secara tidak sah. Menurut Koordinator
Program Rawa Tripa Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Halim Gurning,
konflik lahan di kawasan itu terjadi sejak tahun 1990 dan sampai kini
masih berlangsung.
Kepala
Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
Kalimantan Barat Hendrikus Adam menambahkan, ekspansi perkebunan kelapa
sawit di provinsi itu sejak empat tahun terakhir memicu 288 konflik
antara perusahaan dan warga. Sengketa itu juga cenderung dibiarkan oleh
pemerintah, termasuk oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sengketa
warga dengan perusahaan memuncak karena banyak perusahaan memaksakan
kerja sama pemakaian lahan yang merugikan warga. ”Dari 10 hektar lahan
yang diserahkan pada perusahaan, warga mendapat paling banyak 3 hektar
kebun kelapa sawit. Warga masih dibebani kredit Rp 50 juta dengan dalih
untuk menyiapkan lahan,” kata Adam.
Tahun
2012 muncul pula konflik lahan baru. Hal itu terlihat di Kalimantan
Selatan, tempat warga Dayak di Gunung Meratus memprotes penerbitan izin
hutan tanaman industri (HTI) di wilayah adat mereka. ”Konflik ini
memperpanjang daftar perampasan hak warga oleh negara dan pemodal,” ujar
Iwan Nurdin.
Sengketa
diperburuk dengan peraturan yang cenderung memihak pemodal. Misalnya,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang memungkinkan negara mengabaikan
perlindungan terhadap warga.
Ketua
Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih di Jakarta
mengungkapkan, konflik lahan terjadi dan akan terus terjadi. Hal ini
sebagai dampak dari kebijakan pertanian (perkebunan) Pemerintah
Indonesia yang berorientasi ekspor. ”Misalnya, seberapa pun besar
permintaan minyak sawit di pasar dunia akan dipenuhi oleh Indonesia.
Konflik lahan pun tak terelakkan,” ungkapnya. Pengusaha dan petani pasti
tergiur oleh harga komoditas sawit yang sangat tinggi. Apalagi
pemerintah mendukung.
KPA
mencatat, tahun lalu konflik agraria ini melibatkan 69.975 keluarga di
seluruh Indonesia. Mereka bersengketa atas areal seluas 476.048 hektar.
”Tahun lalu 22 orang tewas akibat konflik pertanahan,” kata Iwan.
BPN harus aktif
Dari
Medan, Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Raden Heru
Prakoso mengatakan, polisi berupaya menyelesaikan konflik yang berawal
dari sengketa lahan secara dialogis. Pertengahan Januari lalu, Polda
Sumut mengundang berbagai kalangan untuk berdialog terkait konflik
agraria itu.
Bahkan,
unsur pimpinan daerah Sumut, seperti Kepala Polda Inspektur Jenderal
Wisjnu Amat Sastro dan Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo
Nugroho, sudah bertemu membahas upaya dialogis penyelesaian konflik
lahan. Pertemuan juga dihadiri Panglima Kodam I/Bukit Barisan Mayor
Jenderal TNI Lodewijk F Paulus, Kepala Kejaksaan Tinggi Basuni Masyarif,
dan semua kepala daerah.
Kantor
Wilayah BPN Sumut diminta aktif menangani kasus sengketa lahan pula.
BPN menjadi simpul penting dalam sengketa lahan yang rawan konflik.
”Kami berharap pertemuan itu ditindaklanjuti BPN dan pemerintah daerah,”
kata Heru.
Menurut
Heru, sengketa lahan di Sumut sangat rawan memicu konflik horizontal.
Polda Sumut mencatat, tahun 2005-2011 terjadi 2.833 konflik lahan di
provinsi itu (Kompas, 28/5).
Kepala
Tata Usaha BPN Sumut Ahmad Yani menjelaskan, Forum Koordinasi Pimpinan
Daerah (FKPD) berupaya memetakan lahan yang selama ini menjadi obyek
sengketa. BPN Sumut bertugas mengukur lahan itu untuk dijadikan patokan
batas lahan. Rencananya akhir Mei ini pengukuran itu rampung.
Siapkan formula
Staf
khusus Kepala BPN, Usep Setiawan, di Jakarta menuturkan, BPN menyiapkan
formula kebijakan pembaruan agraria untuk mengatasi sengketa lahan dan
konflik terkait tanah yang kian meningkat. Akan tetapi, diakui, BPN tak
mungkin menyelesaikan konflik tanah sendirian. Semua pemangku
kepentingan terkait agraria harus mau duduk bersama merumuskan langkah
pembaruan agraria.
”Formula
yang ideal bagi penyelesaian konflik agraria adalah pelaksanaan
pembaruan agraria secara menyeluruh. Formula ini sekarang sedang
disiapkan BPN,” ujar Usep.
Usep
mengatakan, titik sentral dalam pelaksanaan pembaruan agraria adalah
mengatasi ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah serta kekayaan
alam lainnya. Salah satu langkah pembaruan agraria yang jamak dilakukan
adalah redistribusi lahan milik negara atau swasta kepada petani tak
bertanah alias petani gurem.
Namun,
BPN tak mungkin bekerja sendiri. ”Butuh juga langkah yang sama
dilakukan instansi terkait, termasuk pemerintah daerah. Pendekatan
sporadis dan parsial dalam menangani konflik yang beragam dan masif tak
akan efektif,” kata Usep.
Menurut
Usep, sepantasnya Presiden turun tangan. Konflik lahan adalah bom waktu
yang bisa menjadi sumber gangguan sosial dan politik. Presiden harus
mengarahkan semua sektor agar membuat strategi khusus bersama mengatasi
konflik agraria.
(AHA/RAZ/BIL/IRE/EGI/MAS/MHF/HAN/INK/UTI/JON/REN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar