Rabu 30 Mei 2012
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2012/05/30/01442748/rakyat.pemilik.lahan.terancam.kian.miskin
BATANG,
KOMPAS - Rakyat, yang mengaku sebagai pemilik lahan yang bersengketa
dengan perusahaan swasta atau badan usaha milik negara/daerah, terancam
kian terpuruk dalam kemiskinan jika mereka kehilangan tanah itu. Karena
itu, mereka akan berjuang hingga ”titik darah penghabisan” untuk dapat
merebut hak atas tanah itu. Pemerintah harus memiliki agenda nyata untuk
menuntaskan berbagai kasus sengketa lahan.
Dari
catatan Kompas, warga terlibat dalam konflik agraria berkepanjangan di
sejumlah wilayah ( Kompas, 28-29/5) karena hidup mereka bergantung pada
lahan itu. Seperti warga di Jorong Simaladuang, Nagari Sungai Kemuyang,
Kecamatan Luhak, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, yang sampai
Selasa (29/5) masih bersengketa dengan pemegang hak guna usaha (HGU) PT
Jenyta Ranch di Pengadilan Negeri Payakumbuh. Warga, tutur Naldi Gantika
dari Koalisi untuk Keadilan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Qbar,
bergantung hidupnya pada tanah ulayat yang menjadi obyek sengketa sejak
tahun 1997 itu.
Niton
alias Alim, warga Dusun Gumukbago, Desa Nogosari, Kecamatan Rambipuji,
Kabupaten Jember, Jawa Timur, bekerja sebagai buruh tani. Ia kini
berharap pemerintah membolehkan dirinya menanam padi di lahan HGU yang
dikuasai pabrik gula Semboro PT Perkebunan Nusantara XI. Lahan itu
dipersoalkan warga. Tanpa bisa menggarap lahan itu, ia dan 8 anaknya tak
mungkin keluar dari jurang kemiskinan.
Lapangan kehidupan
Ketua
Organisasi Tani Jawa Jawa Tengah Wahyudi di Batang mengakui, rakyat
terancam kalau sampai kehilangan lahan yang selama ini jadi gantungan
hidupnya. Warga yang terutama bekerja sebagai buruh tani akan kian
terpuruk dalam kemiskinan.
Rakyat
yang turun-temurun menggarap tanah hutan atau lahan yang disengketakan
dianggap melanggar hukum. Di sisi lain, lahan pertanian kian sempit dan
rakyat kian tak mampu membeli lahan.
”Jika konflik agraria tidak juga
diselesaikan, kemiskinan pasti kian meluas. Jika manusia kelaparan, tak
mungkin bisa berpikir jernih. Apa saja bisa dilakukan untuk mendapatkan
makanan,” kata Wahyudi.
Menurut
dia, pemerintah perlu segera mengidentifikasi lahan yang selama ini
dikelola oleh rakyat. Bukan hanya lahan yang ditelantarkan atau lahan
yang tidak bermasalah, seperti yang selama ini sudah diredistribusi.
”Pemerintah selama ini seolah-olah tak mau mengurusi lahan yang masih
berstatus HGU, padahal tanah ini juga bermasalah dengan masyarakat,”
ujar Wahyudi.
Kebijakan
pemerintah dengan redistribusi lahan di beberapa daerah selama ini
sekadar untuk meredam gerakan rakyat yang menuntut hak atas tanah.
Sebab, redistribusi lahan itu masih belum merata.
Aktivis
Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Erwin Dwi Kristianto, menambahkan,
selama ini sering terjadi kriminalisasi terhadap warga yang terlibat
sengketa lahan dengan perusahaan swasta dan milik negara/daerah. Warga
bertahan karena akses mereka pada lahan itu sangat rendah. Redistribusi
lahan saja tidak cukup untuk mengatasi konflik agraria, yang berangkat
dari sengketa lahan. Pemerintah juga harus melakukan konsolidasi lahan.
Ketua
Pusat Studi dan Penelitian Hak Asasi Manusia Universitas Sumatera Utara
Hasim Purba mengingatkan, pemerintah perlu membentuk lembaga otonom
untuk menyelesaikan konflik lahan yang marak terjadi, termasuk di Sumut.
Lembaga otonom ini untuk menerobos penyelesaian melalui jalur hukum
formal, yang selama ini terbukti belum berhasil menyelesaikan sengketa
lahan.
Inisiator
Tim Penyelesaian Agraria DPR, Arif Wibowo, mengatakan, Badan Pertanahan
Nasional tak mungkin bekerja sendiri menyelesaikan sengketa lahan.
Apalagi, penyelesaian masalah agraria semestinya bukan kasus per kasus.
Ada kebijakan yang perlu diambil pemerintah sesuai Ketetapan MPR Nomor
IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
(EGI/INK/REN/MHF/JON/ITA/IRE/EKI/SIR/BIL/UTI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar