Sinar Harapan, 26 September 2012
Noer Fauzi Rachman*)
Pada
perayaan Hari Tani 24 September 2012 kemarin, lebih dari sepuluh ribu
petani dan aktivis berdemonstrasi, termasuk di depan kantor Badan
Pertanahan Nasional (BPN), Jakarta, menuntut BPN di bawah kepemimpinan
Hendarman Supandji untuk tanggap terhadap masalah yang dihadapi oleh
petani, khususnya yang hidup dalam konflik-konflik agraria. Lebih dari
itu, para demonstran menuntut BPN menjalankan reforma agraria sebagai
jawaban atas struktur penguasaan tanah yang semakin hari semakin timpang
saja. Menurut penulis, demonstrasi semacam ini akan terus menerus
berlangsung karena tidak adanya penyelesaian yang adekuat, menyeluruh
dan tuntas terhadap kasus-kasus konflik-konflik agraria yang bersifat
struktural, kronis dan berdampak luas.
Artikel
pendek ini hendak menunjukkan bahwa apa yang disebut Reforma Agraria
telah diagendakan dan dijalankan oleh BPN di bawah kepemimpinan Joyo
Winoto (2005-2012), namun tidak memperoleh dukungan yang memadai dari
kementerian lainnya, dan juga dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Reforma Agraria” yang dirancang oleh BPN terdahulu mensyaratkan
kerjasama lintas kementerian, setidaknya Kementrian Kehutanan dan
Kementrian Pertanian. Namun, kerjasama ini tidak berjalan karena
masing-masing badan pemerintahan memiliki dan terus memelihara “ego
sektoral”, suatu kecenderungan dari suatu badan pemerintah untuk hanya
memenuhi kepentingan lembaga/sektornya sendiri-sendiri tanpa perduli
dengan kepentingan lembaga/sektor lainnya. Yang juga tidak terjadi
adalah upaya Presiden SBY untuk mengkordinasikan dan mensinkronkan
kepentingan yang berbeda-beda dari badan-badan pemerintah untuk
menjalankan Reforma Agraria tersebut.
Agenda
redistribusi tanah 8,15 juta hektar tanah-tanah negara yang berada
dalam “kawasan hutan negara” yang tergolong hutan produksi Konversi
(HPK) yang terletak di 474 lokasi di 17 provinsi – tak berjalan sama
sekali. Menurut Laporan Persiapan Pelaksanaan PPAN BPN 2007, dari
keseluruhan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang berjumlah 22.140.199 ha,
didalamnya telah dikuasai masyarakat lokal seluas 13.411.025 hektar,
lebih dari 60 persen (Badan Pertanahan Nasional 2007:56). BPN
memiliki detil data dan peta tanah seluas 8.15 juta hektar itu.
Sayangnya, komunikasi dan koordinasi BPN dengan Kementerian Kehutanan
mengenai agenda tersebut sama sekali tidak memadai.
Kementerian Kehutanan tidak bersedia memenuhi agenda ini, dan tetap
mempertahankan diri sebagai ‘tuan tanah negara’ terbesar, melalui
penguasaan sekitar 70 persen wilayah Republik Indonesia dalam “Kawasan
Hutan Negara”.
Kementerian
Pertanian pun tidak mendukung program Reforma Agraria yang diinisiasi
BPN tersebut. Alih-alih menyokong segala upaya memberdayakan petani
penerima tanah-tanah yang diredistribusi oleh BPN dengan segala
fasilitas, asistensi, kredit, dan bentuk-bentuk “access reform”
lainnya untuk membuat tanahnya produktif, efisien dan berkelanjutan,
Kementerian Pertanian menjalankan skema-skema baru untuk menggenjot
produksi pangan, terutama beras, dalam program food security,
mengagendakan RUU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang
kemudian menjadi UU No. 41/2009, hingga memfasilitasi
perusahaan-perusahaan raksasa untuk membuat perkebunan-perkebunan baru
untuk produksi makanan dan energi, termasuk yang paling luas: Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Selain
dari Kementerian Kehutanan dan Pertanian, hambatan utama lainnya adalah
tidak disetujuinya usulan BPN untuk membentuk Lembaga Pengelola Reforma
Agraria, suatu badan otorita khusus yang dirancang mengurus segala
sesuatu berkenaan dengan upaya merencanakan hingga memberdayakan para
penerima tanah objek land reform dan membuat tanah-tanah yang
diredistribusikan itu produktif dan bisa dikelola secara berlanjutan.
Namun, pembentukan Badan yang diancangkan berbentuk “Badan Layanan Umum”
(BLU) ini, yakni suatu jenis badan usaha pemerintah yang tidak
ditujukan untuk kepentingan profit, tidak berhasil memperoleh otorisasi
dari Departemen Keuangan sehubungan dengan keharusan untuk menunjukkan
bahwa badan ini tidak akan terus-menerus bergantung pada dana APBN,
melainkan sanggup secara terus-menerus hidup dari perputaran uang yang
bermula dari modal awal yang akan diberikan pemerintah. Walhasil, ide
Lembaga Pengelola Reforma Agraria ini kemudian dihilangkan dari draft
RPP Reforma Agraria, yang juga belum tuntas dijadi pertauran pemerintah
hingga Joyo Winoto diganti oleh Hendarman Supandji.
Dengan
keterbatasan ini, pada prakteknya apa yang disebut Reforma Agraria oleh
Joyo Winoto adalah suatu skema legalisasi hak atas tanah melalui jalur
“pemberian hak di atas tanah negara”, dimana diagendakan sekitar 1,1
juta hektar tanah Negara yang berada di bawah jurisdiksi BPN. Sumber
lain untuk “redistribusi tanah” adalah “tanah-tanah terlantar”.
“Tanah-tanah terlantar” adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh
Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai,
dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Hasil identifikasi BPN luasan “tanah terlantar” tersebut mencapai
7.386.289 hektar” terdiri dari Hak Guna Usaha 1.925.326 ha, Hak Guna
Bangunan 49.030 ha, Hak Pengelolaan 535.682 ha, dan tanah dengan ijin
lokasi dan lainnya 4.475.172 ha (Sumber Data: Deputi Pengendalian Tanah
dan Pemberdayaan Masyarakat, BPN 2009).
Untuk
melakukan pengambilalihan keseluruhan “tanah terlantar” ini, BPN
membuat PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayaguaan Tanah
Terlantar. Sebagai pasangannya BPN memprakarsai RPP tentang Reforma
Agraria yang memuat ketentuan kategori asal tanah yang akan
diredistrribusikan, yang disebut sebagai Tanah Objek Reforma Agraria
(TORA), kriterian penerima TORA, dan mekanisme distribusinya, hingga
pemberdayaan subjek yang menerima TORA. Namun, berbeda dengan RPP
tentang Tanah terlantar yang berhasil selesai menjadi PP No 41/2009, RPP
RA tidak berhasil menjadi PP.
Penulis
kerap bertanya pada pejabat-pejabat di BPN mengenai mengapa RPP ini
tidak kunjung dibahas di Rapat Kabinet dan disetujui? Dari waktu ke
waktu saya mendapatkan jawaban bahwa dukungan politik atas Reforma
Agraria kurang memadai, dan menggantungkan pada hubungan antara Joyo
Winoto dengan Presiden. Presiden pun tidak menggunakan kewenangannya
untuk membuat RPP itu terwujud menjadi PP.
Quo vadis Reforma Agraria?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar