Sinar Harapan, 24 September 2012
JAKARTA - Peringatan Hari
Tani 24 September diwarnai dengan aksi massa di berbagai daerah dan ibu
kota dengan tuntutan pelaksanaan Pasal 33 UUD 45 dan UU Pokok Agraria No
5/1960.
Mereka menuntut penghentian
kontrak, MoU, dan pemberian perizinan pada perusahaan Hutan Tanaman
Industri (HTI) yang mengakibatkan perampasan tanah rakyat.
Di Jakarta, massa petani,
nelayan, organisasi masyarakat, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat
Indonesia (Sekber PHRI) menggelar aksi di depan
kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Istana Kepresidenan, Senin
ini.
Mereka meminta pemerintah
menghentikan segala bentuk perampasan tanah rakyat dan segera
melaksanakan pembaruan agraria sesuai dengan Konsitusi1945 dan UUPA
1960.
Tuntutan serupa juga
disampaikan para petani yang menggelar aksi massa di sejumlah daerah,
dari Aceh, Lampung, hingga Nusa tenggara Barat. Sejumlah serikat tani
berskala nasional, seperti Serikat Petani Indonesia (SPI)
maupun Serikat Tani Nasional (STN) berada di belakang aksi-aksi ini.
Selama beberapa tahun
terakhir, konflik agraria yang membenturkan para petani dengan aparat
keamanan maupun pihak perkebunan atau pertambangan terus terjadi. Data
SPI menunjukkan, sepanjang 2011, sebanyak 35 petani
menjadi korban kriminalisasi; 273.888 tergusur dari tanahnya; dan 18
tewas karena mencoba memperjuangkan tanahnya.
Anggota Dewan Pakar
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Noer Fauzi Rachman, menyebut konflik
agraria memang telah meluas di berbagai daerah yang menghadap-hadapkan
petani dengan badan-badan usaha raksasa yang bergerak
dalam bidang infrastruktur, produksi, dan ekstraksi.
Menurutnya, konflik juga
dipicu oleh pemberian izin konsesi oleh pejabat publik, termasuk Menteri
Kehutanan, Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Kepala BPN, gubernur,
dan bupati. Dalam berbagai kasus tidak jarang kaum
tani masih dihadapkan dengan aparat kepolisian, TNI, atau preman
setempat.
“Hukum, penggunaan
kekerasan, kriminalsiasi tokok, manipulasi, penipuan, pemaksaan
persetujuan dilakukan secara sistematik dan meluas untuk menghilangkan
kepemilikan tanah rakyat,” ungkapnya kepada SH, Minggu (23/9).
Menurutnya, salah satu
konflik agraria terjadi di bidang perkebunan, khususnya sawit, karena
kebanyakan luas perkebunan kelapa sawit sering kali lebih luas dari
konsesi legalnya. Mengutip data Ditjen Perkebunan, Kementerian
Pertanian, tahun 2012, Noer Fauzi menunjukkan bahwa luas perkebunan
kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 8,1 juta hektare (ha).
Sementara seluruhnya diperkirakan bisa mencapai 11,5 juta ha.
Menurut data Dirjenbun,
Kementerian Pertanian, luas kebun sawit milik petani adalah di atas 40
persen. Sementara menurut Noer Fauzi, jumlahnya kurang dari 30 persen.
Dengan percepatan luasan 400.000 ha per tahun, menurutnya,
luasan kebun sawit digenjot pemerintah dan swasta luasan kebun sawit
ditargetkan mencapai 20 juta ha.
Akibat dari penguasaan lahan
untuk sawit ini, Deptan mengakui bahwa pada 2012 sebanyak 59 persen
dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di 22 provinsi dan 143 kabupaten
terlibat konflik dengan masyarakat.
“Konflik perkebunan kelapa
sawit tersebar di di Kalimantan Tengah dengan 250 kasus, Sumatera Utara
101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan
Kalimantan Selatan 34 kasus. Totalnya 591 konflik,”
kata dia.
Di Riau, para petani
berhadapan dengan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan PT Sumatra
Riang Lestari (SRL). Dalam setahun, menurut Ketua Serikat Tani Riau
(STR) Muhammad Ridwan, ada 162.000 ha kawasan hutan yang
dibabat hanya untuk menjamin keberlangsungan industri kertas
internasional.
Pembabatan hutan oleh PT
RAPP dilakukan di kawasan gambut dan pulau-pulau kecil terluar di
Provinsi Riau. Sementara itu, PT SRL sedang membuka kawasan hutan di
Pulau Rangsang seluas 18.890 ha, Pulau Tempuling 48.635
ha, dan Pulau Rupat 38.590 ha. Perlawanan petani juga terjadi di
Kampar, Bengkalis, dan Siak.
Ridwan mengatakan, Senin
ini, ribuan petani akan menggelar aksi di kantor gubernur dan DPRD
Pekanbaru untuk menuntut pencabutan semua SK Menteri Kehutanan yang
dianggap merugikan petani.
Di Sumatera Utara, konflik
agraria saat ini berlangsung antara petani dengan BUMN maupun perkebunan
swasta. Koordinator Komite Tani Menggugat, TBR Simamora mengatakan,
hari ini massa tani dari Kabupaten Padang Lawas,
Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Deli Serdang akan mengepung
DPRD dan kantor gubernuran di Medan.
“Kami menuntut agar pemerintah membatalkan semua konsesi, MoU dan kontrak yang merampas tanah rakyat,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, kaum tani
dari Kabupaten Deli Serdang yang terhimpun dalam Himpunan Petani
Penggarap Tanah Negara (HPPTN), Kelompok Tani Sehati, Kelompok Tani
Selambo, Kelompok Tani 71-79, dan Kelompok Tani Duren Tunggal
selama ini mempertahankan tanah eks HGU seluas 5.500 ha.
Perjuangan yang sama juga
dilakukan oleh kelompok-kelompok tani dari Kabupaten Serdang Bedagai.
Sementara itu Kelompok tani Torang Jaya Mandiri dari Kabupaten Padang
Lawas mempertahankan tanah seluas 1.500 ha yang
akan diambil alih oleh PT Sumatra Riang Lestari dan PT Sumatra Silva
Lestari untuk HTI yang menyediakan bahan baku kertas internasional.
Data BPN pada 2011, menyebut
ada 875 konflik agraria di Sumatera Utara. Namun menurut Polda Sumut
mencapai 2.553 konflik agraria.
Di Sumatera Selatan,
terdapat 150 konflik agraria yang melibatkan masyarakat tani yang
berhadapan dengan perusahaan swasta dan pemerintah daerah. Menurut
aktivis tani, Firdaus, saat ini kelompok tani yang masih terus
melawan adalah dari Kecamatan Muaro Belido, Kabupaten Muara Enim
melawan PT Inderalaya Agro Lestari yang merampas lahan ulayat rakyat
seluas 4.500 ha. Kelompok tani dari Kecamatan Rantau Bayur, Kabupaten
Banyuasin, Sumatera Selatan juga sedang melawan perampasan
tanah oleh PT Rumpun Enam Bersaudara seluas 2.000 ha.
Menurut Ketua STN Yoris
Sindhu Suharjan, atas nama Pasal 33 dan UUPA rakyat berhak menguasai dan
mengelola tanah tanah tersebut lewat koperasi.
Terbelit Utang
Di luar konflik tanah, nasib
petani juga masih jauh dari sejahtera. Peningkatan harga bahan pangan
pokok dalam satu tahun terakhir tidak mengindikasikan kesejahteraan
petani.
Ekonom Institute of
Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, petani
di Indonesia belum belum masuk ke zona sejahtera sebab kenaikan angka
nilai tukar petani tidak sebanding dengan kenaikan
inflasi.
"Banyak petani tebu
sejahtera karena luas lahan yang mereka miliki lebih dari 2 ha. Petani
padi juga sawit pun ada yang sejahtera, tapi yang luas lahan miliknya 2
ha lewat ya,’’ kata dia.
Menurut Avi, kenaikan harga
pangan pokok belum bisa mengentaskan kemiskinan secara langsung, apalagi
trennya petani yang justru terbelit dari persoalan sosial ekonomi
seperti utang atau sakit keras, sehingga membutuhkan
dana besar. Solusi satu-satunya yang mereka miliki adalah menjual tanah
mereka.
Harga tanah yang terus naik
tiap tahun justru membuat petani tergiur untuk menjualnya. Karena itu,
pembaruan agraria kemudian menjadi harapan banyak petani.
Kepala Badan Pusat Statistik
(BPS) Suryamin membenarkan bahwa dalam satu tahun terakhir, tingkat
kesejahteraan petani di Indonesia atau disebut Nilai Tukar Petani (NTP)
tidak sebanding dengan beban inflasi yang harus
mereka tanggung.
NTP Agustus 2012 sebesar
105,26, sedangkan NTP Agustus 2011 sebesar 105,11. Artinya, naik NTP
hanya 0,14 persen, sementara laju inflasi year on year Agustus 2012 ke
Agustus 2011 sebesar 4,58 persen. Ini sangat tidak
sebanding.
Namun menurut Mentan
Suswono, kondisi tingginya harga bahan pangan pokok saat ini sudah
memberi insentif bagi petani. Setidaknya efek sejahteranya terjadi pada
petani yang memiliki luas lahan lebih dari 2 ha.
Itu karena teori
perlindungan terhadap harga jual gabah petani sudah betul. Di sisi lain
ada kenaikan harga pupuk di awal tahun 2012 membawa konsekuensi naiknya
biaya produksi usaha tani. Tanpa pemberian insentif yang
memadai kepada para petani, penurunan tingkat pendapatan akan berujung
pada penurunan angka nilai tukar petani. (CR-27)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar