Jurnal Nasional | Selasa, 25 Sep 2012
Usep Setiawan
KETIKA
merayakan Hari Tani Nasional, 24 September 2012, fenomena konflik
agraria belum juga berujung. Kuantitas maupun dimensinya kian
berkecambah. Memanasnya konflik agraria di lapangan turut menaikkan
tensi politik lokal, regional, sampai nasional. Konflik agraria pun
berpotensi merongrong stabilitas sosial politik yang lebih luas.
Media
massa kerap melaporkan, ibarat bom waktu, sengketa lahan di hampir
seluruh Indonesia setiap saat bisa meledak menjadi aksi kekerasan,
anarkisme, dan gangguan sosial. Menguatnya konflik agraria menantang
untuk segera dicegah, ditangani, dan diselesaikan secara menyeluruh.
Penanganan sporadis dan parsial sudah tak lagi efektif. Butuh terobosan,
respons cepat, langkah akurat dan mendasar.
Merujuk
laporan pemantauan sejumlah lembaga (BPN, Komnas HAM, dan KPA: 2012),
konflik atau sengketa agraria memanas terutama di wilayah-wilayah yang
dikelola perusahaan besar di bidang kehutanan, perkebunan, dan
pertambangan, baik milik swasta maupun negara. Sengketa kehutanan
terjadi merata di hampir semua wilayah Indonesia.
Petani
penggarap di sekitar kawasan hutan yang dikelola perusahaan kehutanan
kerap menjadi korban. Latar belakang konflik kehutanan biasanya terjadi
karena penetapan suatu areal sebagai kawasan kehutanan. Padahal
areal-areal tersebut sudah menjadi wilayah kelola rakyat. Sengketa
kehutanan juga menyeruak akibat desakan kebutuhan rakyat di sekitar
kawasan hutan yang butuh ruang hidup.
Konflik
juga menghangat di sejumlah wilayah perkebunan besar, baik yang
dikelola perusahaan swasta maupun negara. Sengketa perkebunan umumnya
terjadi karena penetapan atau perpanjangan izin dan/atau hak usaha bagi
suatu perusahaan. Bisa juga karena tumburan klaim hak atas tanah antara
perusahaan dengan masyarakat di sekitarnya. Dalam banyak kasus, sengketa
perkebunan kerap disertai kekerasan fisik akibat represi pihak
perkebunan atau aparat keamanan. Rakyat biasanya bereaksi balik atas
tindakan kekerasan ini.
Pada
sektor pertambangan, konflik tak kalah sengit. Masuknya investasi
raksasa yang mengusahakan barang tambang kerap memicu ketegangan dengan
masyarakat di sekitarnya. Meski barang tambang terkandung di perut bumi,
namun tak terhindarkan penguasaan tanah oleh korporasi. Dalam banyak
kasus, proses perizinan dan praktik usaha pertambangan mengabaikan hak
masyarakat. Ketidakpuasan dan ketersisihan rakyat melahirkan konflik
pertambangan yang memicu konflik sosial lebih luas.
Merumuskan Formula
Kalangan
gerakan sosial mengekspresikan keprihatinan kondisi agraria dan nasib
petani melalui peringatan Hari Tani Nasional 2012. Di Jakarta, tak
kurang dari 15.000 petani merayakan Hari Kelahiran UU Pokok Agraria No
5/1960 ini. Perayaan juga digelar di penjuru Tanah Air dengan berbagai
cara. Koalisi di tingkat nasional yang tergabung dalam Sekretariat
Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia (Sekber PHRI) menyampaikan
sembilan tuntutan. Intinya, kalangan gerakan sosial mendesak pelaksanaan
reforma agraria dan penghentian perampasan tanah. Dituntut pula
penghentian peran TNI/Polri dalam konflik agraria, serta audit terhadap
berbagai izin usaha keagrariaan (HGU, HGB, HPH, HTI, IUP, dan
sebagainya).
Selain
itu, dituntut penegakan hak asasi petani, nelayan dan buruh serta
perwujudan kedaulatan pangan. Koalisi juga mendesak pembubaran
Perhutani. Sekber PHRI mendesak agar berbagai produk legislasi dan
regulasi yang berpotensi dan terbukti merampas tanah rakyat segera
dicabut. Politik hukum agraria nasional harus dikembalikan pada semangat
Konstitusi dan UU Pokok Agraria (Lihat: Siaran Pers Bersama yang
ditandatangani pimpinan SPI, SPP, KPA, AGRA, WALHI dan AMAN, 24
September 2012).
Secara
spesifik, merespons kompleksitas konflik agraria, penulis mendorong
pengembangan sejumlah langkah strategis. Didasari kajian mendalam dan
komprehensif serta pendataan khusus atas wilayah-wilayah
konflik/sengketa tanah di sekitar wilayah kelola perusahaan kehutanan,
perkebunan dan pertambangan. Perlu dibangun komunikasi dan koordinasi
khusus jajaran pemerintahan agar dicapai kesepahaman atas pola
penanganan dan penyelesaian konflik agraria. Dikembangkan pula model
penataan keagrariaan mengacu kesepahaman instansi sektoral, pemerintahan
daerah serta masyarakat sekitar.
Perlu
perhatian khusus pemerintah atas kenyataan konflik agraria di wilayah
hutan, kebun dan tambang. Dibutuhkan solusi bersama atas menguatnya
konflik/sengketa tanah di lapangan yang multisektoral dan lintas
instansi. Diperlukan juga mekanisme antisipasi konflik antara perusahaan
pemegang izin/hak usaha dengan masyarakat dengan mengedepankan dialog
persuasif.
Yang
tak kalah strategis, hendaknya disusun mekanisme baru penetapan kawasan
dan pemberian izin usaha untuk perusahaan besar yang menjamin
keuntungan sosial-ekonomi-ekologi bagi bangsa dan negara. Paralel dengan
itu, ditinjau ulang berbagai izin usaha agar menguntungkan negara,
pemerintah dan pemerintah daerah, serta terutama masyarakat sekitar.
Agar tak menambah ruwet, sebaiknya dilakukan moratorium izin/hak usaha
baru bagi perusahaan besar di lapangan agraria.
Mengerasnya
konflik agraria jangan sampai memupus momentum reforma agraria, justru
makin mengukuhkan alasan logis perwujudan keadilan agraria. Keadilan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta kekayaan
alam lainnya akan mampu memperbaiki kualitas keadilan, kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Inilah formula mujarab pencegah merebaknya
kekerasan, anarkisme dan gangguan sosial-politik akibat konflik agraria.
Pertanyaannya,
apakah komitmen untuk melaksanakan reforma agraria di pemerintahan yang
dikomandoi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih ada? Semangat
Pancasila dan ajaran Trisakti (berdaulat secara politik, berdikari di
lapangan ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan) kian mendesak
untuk dijadikan obor penerang. Pelaksanaan reforma agraria niscaya
mencabut akar penyebab konflik agraria. Kekuatan petani ialah sakaguru
reforma agraria.
*Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar