Pembaruan Agraria Setengah Hati
Jumat, 15 Juni 2012 - 15:31:57 WIB(dok/SH)Pembaruan agraria yang dirancang dan dijalankan tidak genuine (sejati) atau setengah hati.
JAKARTA – Sebagian ahli pembaruan agraria menilai Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang Pembaruan Agraria tidak akan menjawab berbagai
konflik agraria yang tidak pernah berhenti terjadi hampir di semua
wilayah Indonesia.
Bahkan menurut ahli hukum pertanahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM)
Prof DR Maria SW Sumardjono, klaim program pembaruan agraria oleh
pemerintah saat ini adalah pseudo pembaruan agraria (pembaruan agraria
semu).
“Konflik-konflik dan sengketa pertanahan tidak akan pernah surut dengan program tersebut, bahkan akan mengalami eskalasi dalam kualitas maupun kuantitas,” katanya dalam sebuah diskusi di Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), di Jakarta, baru-baru ini.
Menurutnya, hingga kini belum tampak komitmen, pengakuan, penghormatan, dan perlindungan dari pemerintah pada rakyat secara nyata. “Dengan kata lain pembaruan agraria yang dirancang dan dijalankan tidak genuine (sejati) atau setengah hati.
Kalau tanahnya dirampas, disuruh pindah ke daerah baru, sementara
tanahnya disertifikasi oleh pihak lain. Maka rakyat akan selalu jadi
korban,” katanya.
Ia juga menjelaskan, beberapa daerah yang diklaim pemerintah sebagai bagian dari program pembaruan agraria adalah tanah-tanah yang memang sudah dikuasai rakyat kemudian disertifikasi melalui program pembaruan agraria. Selain itu tanah-tanah objek landreform lama yang ditindaklanjuti dengan pendaftaran tanah dalam rangka program pembaruan agraria semu.
“Artinya tidak ada program redistribusi tanah melalu program pembaruan agraria yang dilaksanakan pemerintah. Yang ada sekadar program sertifikasi,” katanya.
Adu Kuat
Menanggapi hal tersebut Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN) Yoris Sindhu Suharajan mengatakan, saat ini kaum tani tidak lagi memiliki harapan pemerintah dapat menyelesaikan konflik tanah.
Cara hukum yang dipakai justru membuat petani kehilangan tanah, tempat
tinggal, dan garapannya. Lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM,
aparat hukum, DPRD, DPR, dan BPN tidak memberikan jalan keluar yang
nyata pada setiap persoalan konflik agraria.
“Pemerintah dan negara seperti sudah menyerahkan adu kuat konflik tanah pada masyarakat sendiri. Kalau kaum tani bersatu dan kuat seperti di Bima, NTB, maka mereka bisa mempertahankan tanahnya. Namun sebaliknya, kalau kaum tani lemah seperti di Sumatera Utara, pemilik modal yang akan menguasai tanahnya,” katanya.
Namun keadaan ini, menurutnya, memberikan pelajaran bagi kaum tani bahwa kaum tani harus mandiri untuk mencari jalan untuk mempertahankan tanah garapan dan tempat tinggalnya.
“Jalan satu-satunya yang diambil kaum tani biasanya adalah merebut kembali tanah yang dirampas dengan jalan mematok tanah dan mempertahankan diri dari kekerasan yang akan datang dari pihak pemilik modal dan aparat,” ujarnya.
http://www.shnews.co/detile-3320-pembaruan-agraria-setengah-hati.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar