Oleh Sapariah Saturi, June 12, 2012 8:50 am
KONVERSI
hutan bakau menjadi perkebunan sawit makin luas, di enam provinsi saja,
sudah lebih dari 400 ribu hektare (ha). Kondisi ini, tak hanya
membahayakan ekosistem juga makin menyulitkan kehidupan masyarakat di
pesisir pantai.
Berdasarkan
data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) 2011, konversi
itu terjadi di Bangka Belitung 287.663 ha, Pulau Enggano (Bengkulu)
7.500 ha, dan pesisir Kabupaten Langkat dan Pulau Sedapan (Sumatera
Utara) 20.100 ha. Lalu Pulau Bawal (Kalimantan Barat) 3.500 ha,
Pulau Seram (Maluku)30.000 ha serta Pulau Mentawai ( Sumatera Barat)
73.500 ha dengan total 422.263 ha.
Tajruddin Hasibuan, Presidium
Nasional KNTI Regional Sumatera Utara (Sumut) mengatakan, konversi hutan
mangrove menjadi perkebunan sawit berimplikasi terhadap penurunan
kualitas dan penghidupan keluarga nelayan di Langkat.
Hutan mangrove di Kalimantan. Foto: Rhett Butler
“Bahkan
tak jarang mereka beralih profesi dan meninggalkan kampung halaman. Ini
karena daya dukung lingkungan memburuk. Ini berimplikasi pada sulit
mencari mata pencaharian,” katanya, Selasa(12/6/12). “Lebih parah lagi,
kini ada tujuh nelayan dikriminalisasi.”
Temuan Kesatuan Nelayan
Tradisional Indonesia (KNTI) Sumut, sejak 2006, kawasan hutan mangrove
seluas 16.446 ha dikonversi menjadi perkebunan sawit. Alih fungsi ini,
oleh tiga perusahaan sawit, yakni UD Harapan Sawita dengan 1.000 ha, KUD
Murni 385 ha, serta PT Pelita Nusantara Sejahtera seluas 2.600 ha.
Dampak
aktivitas tiga perusahaan ini, masyarakat nelayan di enam desa
kesulitan mencari sumber kehidupan seperti menangkap ikan. Keenam desa
itu yakni, Perlis, Kelantan, Lubuk Kasih, Lubuk Kertang, Alur Dua,
Kelurahan Barandan Barat dan Kelurahan Sei Bilah.
Kesulitan tambah
parah kala perusahaan menutup paluh atau anak sungai antara lain,
Burung Lembu, Terusan Habalan, Napal, dan Tanggung dengan diameter tiga
sampai empat meter meter. Padahal, anak sungai ini tempat beranak-pinak
ikan kakap, ikan merah, ikan kerapu, ikan senangin dan lain-lain.
Bagi nelayan, hutan mangrove adalah kehidupan, sumber daun nipah, kayu bakau, tempat berkembang ikan dan kepiting.
“Kerusakan ekosistem bakau berarti terancam sumber-sumber kehidupan mereka,” kata Mida Saragih, Deputi Sumber Daya Kiara.
Hutan mangrove dibersihkan untuk pengembangan agrikultur. Foto: Rhett Butler
Nelayan
yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pun
merehabilitasi hutan mangrove pasca konversi di Desa Lubuk Kertang,
Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat.
“Ini patut diapresiasi
dan negara perlu melindungi mereka dari ancaman kriminalisasi dan
intimidasi perusahaan sawit perambah hutan,” ucap Mida.
Reklamasi
juga terjadi di 10 wilayah dengan luas ekosistem pesisir yang terancam
musnah lebih dari 5.775 ha. Masing-masing di Pantai Utara Jakarta,
Pesisir Kota Semarang, Pantai Kenjeran Surabaya, Pantai Kalasey
(Sulawesi Utara), dan Pantai Manakara (Sulawesi Barat).
Kemudian,
Teluk Palu (Sulawesi Tengah), Pantai Losari (Sulawesi Selatan), Teluk
Lampung (Padang Bay City (Sumatera Barat) dan, Teluk Balikpapan
(Kalimantan Timur).
Kiara bersama dengan KNTI regional Sumut
mendesak negara atau pemerintah memaksimalkan peran dalam melindungi
ekosistem hutan mangrove. “Ini penting bagi keberlanjutan sumber daya
perikanan di pesisir. “
http://www.mongabay.co.id/2012/06/12/hutan-mangrove-jadi-kebun-sawit-capai-400-ribu-hektare/