Senin,11 Juni 2012
Oleh Noer Fauzi Rachman
Beberapa waktu lalu, di Tobelo, Halmahera Utara, berlangsung Kongres Masyarakat Adat Nusantara IV.
Masyarakat
adat dari berbagai penjuru Nusantara yang tergabung dalam Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara berkumpul, berdiskusi, bersidang membahas
berbagai permasalahan yang dihadapi. Mereka menuntut negara mengakui
eksistensi masyarakat adat dan memastikan hak-hak dasar
keberlanjutannya, satu hal yang telah dijamin konstitusi.
Masyarakat
adat punya karakteristik khusus sebagai kelompok penduduk
pedesaan-pedalaman. Mereka hidup dalam suatu wilayah secara
turun-temurun dan terus-menerus, dengan sistem kebudayaan dan
aturan-aturan adat khas yang mengikat hubungan sosial di antara berbagai
kelompok sosial di dalamnya. Selain ditentukan oleh cara masyarakat
adat itu mengidentifikasi diri, mereka juga diikat melalui cara
pihak-pihak lain, terutama negara dan perangkatnya.
Berjuang untuk pengakuan
Sejak
pembentukannya pada 1999, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
telah mengakhiri perjuangan diam-diam dari masyarakat adat dan tampil
secara terbuka dengan cara bergerak yang high profile. Perjuangan itu
dijiwai moto: ”Kalau negara tak mengakui kami, kami pun tak akan
mengakui negara”.
Tuntutan
AMAN untuk diakui perlahan mewujud dalam gerak perjuangannya. AMAN
berhasil mengangkat wacana adat, hukum adat, dan masyarakat adat.
Hal
ini terlihat ketika, misalnya, para pejabat di Kementerian Kehutanan
menyadari upaya AMAN mengadvokasi kedudukan dan hubungan
masyarakat adat dengan kawasan hutannya sepanjang berlakunya UU No
41/1999 tentang Kehutanan. Termasuk advokasi melalui pembuatan draf
Peraturan Menteri Kehutanan tentang Hutan Adat. Tuntutan AMAN juga
menuai hasil ketika Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional mengeluarkan Permenag No 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Komunitas
dan organisasi adat anggota AMAN juga berjuang di desa. Mereka
melakukan klaim, baik melalui pendudukan kembali dan aksi-aksi
konfrontasi langsung lainnya maupun negosiasi untuk mengambil kembali
tanah dan kekayaan alam di wilayah yang dipersengketakan dengan
badan-badan usaha produksi maupun konservasi. Ketika pemerintah
mengimplementasikan kebijakan desentralisasi, di sejumlah kabupaten
mulai dari Aceh, Tapanuli Utara, Solok, Liwa, Kutai, Sanggau, Solok,
Paser,
Donggala, Toraja, Lombok Utara, hingga ke Papua, kita saksikan
perjuangan pengakuan eksistensi lembaga adat dan wilayah adat. Di
antaranya lewat pembentukan peraturan-peraturan daerah.
Perjuangan
itu bukan hanya dilakukan oleh dan untuk kepentingan komunitas, juga
oleh dan untuk kepentingan elite-elite penguasa-tradisional kesultanan.
Pada periode ini, menjadi jelas bahwa legitimasi adat memang dapat
diandalkan dan memperoleh ruang yang luas untuk dijadikan dasar klaim
dalam memperoleh kekuasaan, terutama tanah dan kedudukan politik.
Di
arena internasional, AMAN bersama organisasi sejenis dari negara lain
memperjuangkan eksistensi dan hak-hak indigenous peoples, termasuk di
forum KTT Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan dan proses perumusan
deklarasi PBB
mengenai indigenous peoples. AMAN jadi organisasi yang aktif
menggunakan momentum ini untuk mengubah kebijakan-kebijakan
internasional dan menggunakan kebijakan lembaga-lembaga internasional
untuk menguatkan agenda perubahan kebijakan nasional.
Hak kewarganegaraan
Tidaklah
sulit memahami perjuangan AMAN adalah perjuangan mewujudkan keadilan
sosial. AMAN juga mengusung perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat
adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kombinasi
perjuangan keadilan sosial dan kewarganegaraan itu terutama dibentuk
oleh cara bagaimana NKRI menyangkal eksistensi masyarakat adat dan
merampas hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan
wilayah kelola masyarakat adat. Penyangkalan ini nyata pada fakta yang
disebut sebagai ”perampasan tanah”; tanah, kekayaan alam, dan wilayah
kelola masyarakat adat dimasukkan ke dalam konsesi-konsesi perkebunan,
kehutanan, pertambangan, dan lainnya.
Tantangan
terbesar saat ini adalah meralat kebijakan yang menyangkal eksistensi
masyarakat adat, dengan memastikan bahwa masyarakat adat adalah subyek
hukum yang sah. Sebagai konsekuensinya, pemerintah perlu menyusun
prosedur untuk mengadministrasikannya sebagai badan hukum, dan
mengadministrasikan hak-hak khusus yang melekat padanya, termasuk
hak-hak atas tanah. Terakhir, pemerintah perlu menyusun mekanisme untuk
restitusi hak atas tanah sebagai basis penyelesaian konflik agraria yang
struktural, kronis dan berdampak luas, berkenaan dengan penolakan
masyarakat adat melepaskan hak atas tanah yang mereka
miliki.
Noer Fauzi Rachman Kepala Studio Studi Agraria, Sajogyo Institute, Bogor
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2012/06/11/03572833/masyarakat.adat.dan.perjuangan.tanah-airnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar