Ketika saya melakukan kunjungan-kunjungan ke wilayah pedalaman Labuhan Batu
sejak tahun 2009, saya menemukan betapa seriusnya masalah tanah dan pangan yang
kita hadapi saat ini di Pedesaan. Pergeseran tanaman pangan utamanya padi ke
perkebunan sawit itu terjadi dalam hitungan bulan. Tanaman sawit seperti sihir
baru yang memesona penduduk pedesaan.
Jika bulan ini kita melihat padi yang ditanam berada diantara pohon sawit
yang masih kecil, maka itu akan menjadi padi terakhir dilahan tersebut, karena
untuk seterusnya sawit tidak menginginkan tumbuhan seperti padi bergandengan
dengannya. Warga pedesaan tidak merasa aneh dan mempersoalkan beras di dapur
yang mereka makan, adalah beras impor dengan kualitas yang sangat buruk, yang
jika mujur mereka dapatkan dari Kantor Kepala Desa, namun biasanya dibeli dari
pasar.
Petani perlahan bergeser menjadi buruh borongan ke kebun-kebun skala kecil
menengah, tanah perlahan bergeser kepemilikan menjadi tanah perusahaan
perkebunan besar, atau menjadi supir dan kernet truk pengangkut sawit.
Pemandangan baru lagi, warga desa yang tinggal di pinggiran jalan “menikmati”
abu yang setiap menit dihembuskan oleh truk-truk pengangkut tandan sawit. Saya
mengira ada persoalan nalar yang serius tentang masa depan pertanian pangan
khususnya padi yang jorjoran dihancurkan oleh tanaman berusia lebih satu abad ini
di pantai Timur Sumatra.
Ditingkat global, pangan tidak hanya berpotensi, tetapi telah memasuki era
krisis disatu sisi, dan harga yang meroket disisi lain. Naiknya harga-harga
pangan disebabkan oleh spekulasi-penimbunan- dan penggunaan yang meningkat
terhadap komoditas pangan kepada fungsi lain seperti makanan ternak dan
agrofuel. Krisis energi fosil menyebabkan pasar bergeser untuk memakai bahan
pangan untuk energi seperti jagung dan kacang kedelai.
Organisasi pangan dan Pertanian, FAO, mencatat untuk pertama kalinya dalam
sejarah jumlah warga dunia yang mengalami kelaparan melewati angka satu milyar
orang pada tahun 2009, meningkat dari sekitar 850 juta orang pada tahun 2005
(FAO, 2009b). Diantara jumlah itu, warga yang paling terkena dampak adalah
negara-negara miskin yang tidak punya akses terhadap pangan. Makanan yang
tersedia di pasar dan super market tidak bisa diakses oleh kelompok miskin
karena harga yang meroket. Dari informasi ini, persoalan pangan ternyata bukan
hanya karena konversi lahan untuk keperluan non pangan, tetapi ketimpangan
akses terhadap pangan.
Hingga 2012, luas lahan pertanian padi di Sumatera Utara versi departemen Pertanian sebesar 801.509 hektar, tertinggal jauh dari luas perkebunan sawit,
versi Sawit Watch, yang sudah mencapai 1,3 juta hektar, namun versi Dirjen
Perkebunan dan Pertanian, seluas 1.017.570 hektar[1]. Data departemen Pertanian
ini patut dipertanyakan mengingat besarnya laju konversi yang terjadi setiap
waktu, meskipun sudah ada UU no 41 tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
selengkapnya, silahkan hubungi Lentera di: lrakyat@indo.net.id
[1] Statistik Perkebunan 2009-2011, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen
Pertanian, juga lihat di http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/commodityarea.php?ia=12&ic=2 diakses 3 April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar