Wildlife in Trouble from Oil Palm Plantations, Researchers Say
ScienceDaily (May 22, 2011) — Forest fragmentation driven by demand for palm oil is having a catastrophic effect on multiple levels of biodiversity, scientists from Queen Mary, University of London have discovered.
The researchers are worried that unless steps are taken to safeguard and manage the remaining forest, then certain species will struggle to survive.
The study, which focused on bats as an indicator of environmental change, was published in the journal Ecology Letters.
The team conducted bat surveys in pristine forest and also in forest patches of varying size in central Peninsular Malaysia. They recorded the numbers of different species present and also assessed the level of genetic diversity within populations of some species.
Lead author Matthew Struebig, jointly based at Queen Mary University of London and the University of Kent, said: "We found that smaller forest areas support fewer species, and that those species that remain face an eventual decline, potentially leading to local extinction in the long-term."
When the team compared the number of species present to genetic diversity within populations they found that fragmentation appeared to have an even greater impact on genetic loss, which might also be important for long-term population viability.
"We found that in order to retain the numbers of bat species seen in pristine forest, forest patches had to be larger than 650 hectares, however to retain comparable levels of genetic diversity, areas needed to be greater than 10,000 hectares," he said.
Co-author Stephen Rossiter, also at Queen Mary, emphasised that the findings could have important implications for forest management in the face of the ever-growing demand for oil palm plantations.
He said: "We found that while more species existed in larger forest patches, even small fragments contributed to overall diversity. Therefore, conservation managers should aim to protect existing small fragments, while seeking to join up small forest areas to maximise diversity."
http://www.sciencedaily.com/releases/2011/05/110520122231.htm
Selasa, 24 Mei 2011
Minggu, 22 Mei 2011
Investor Sawit RI Berekspansi Sampai Afrika
Kamis, 24/03/2011 14:01 WIB
Investor Sawit RI Berekspansi Sampai Afrika
Ade Irawan - detikFinance
Foto: dok.detikFinance
Jakarta - Pemerintah bakal mendukung ekspansi investor sawit lokal ke luar negeri. Saat ini Sinarmas sudah mempunyai 250 hektare lahan sawit di Liberia. Pemerintah berjanjir bakal mendukung.
Demikian disampaikan oleh Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi ketika ditemui di Gedung Wisma Antara, Jakarta, Kamis (24/3/2011).
"Kita masih kurang mendukung investor yang investasi di luar. Investor kita saat ini sudah ada yang buka perusahaan CPO di Afrika. Menurut catatan saya ada 250 hektare di Liberia atas nama Sinarmas," tutur Bayu.
Bayu mengatakan, saat ini pemerintah yaitu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementerian Luar Negeri sedang berkomunikasi instensif untuk memberikan dukungan kepada investor lokal yang berinvestasi di luar negeri.
Dikatakan Bayu, industri sawit Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. "Kita adalah produsen dan eksportir sawi terbesar, dan sawit merupakan sumbangan terbesar Indonesia ke dunia," ucap Bayu.
Karena itu, Indonesia harusnya bisa menjadi negara yang besar dengan pengembangan industri sawit, dan mampu mengembangkan sayapnya secara internasional.
http://us.detikfinance.com/read/2011/03/24/135720/1600363/1036/investor-sawit-ri-berekspansi-sampai-afrika
Investor Sawit RI Berekspansi Sampai Afrika
Ade Irawan - detikFinance
Foto: dok.detikFinance
Jakarta - Pemerintah bakal mendukung ekspansi investor sawit lokal ke luar negeri. Saat ini Sinarmas sudah mempunyai 250 hektare lahan sawit di Liberia. Pemerintah berjanjir bakal mendukung.
Demikian disampaikan oleh Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi ketika ditemui di Gedung Wisma Antara, Jakarta, Kamis (24/3/2011).
"Kita masih kurang mendukung investor yang investasi di luar. Investor kita saat ini sudah ada yang buka perusahaan CPO di Afrika. Menurut catatan saya ada 250 hektare di Liberia atas nama Sinarmas," tutur Bayu.
Bayu mengatakan, saat ini pemerintah yaitu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementerian Luar Negeri sedang berkomunikasi instensif untuk memberikan dukungan kepada investor lokal yang berinvestasi di luar negeri.
Dikatakan Bayu, industri sawit Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. "Kita adalah produsen dan eksportir sawi terbesar, dan sawit merupakan sumbangan terbesar Indonesia ke dunia," ucap Bayu.
Karena itu, Indonesia harusnya bisa menjadi negara yang besar dengan pengembangan industri sawit, dan mampu mengembangkan sayapnya secara internasional.
http://us.detikfinance.com/read/2011/03/24/135720/1600363/1036/investor-sawit-ri-berekspansi-sampai-afrika
Industri Wajib Ikut Standar Sawit Lestari Ala RI
Rabu, 30/03/2011 15:44 WIB
Industri Wajib Ikut Standar Sawit Lestari Ala RI
Suhendra - detikFinance
Jakarta - Standar minyak sawit lestari versi Indonesia atau yang biasa disebut Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) akan diwajibkan untuk seluruh pelaku industri sawit di Tanah Air. Rencananya, semua pelaku sawit termasuk industri sawit harus sudah memiliki sertifikasi ISPO paling lambat 2014.
"Ya, sifatnya wajib, tetapi bertahap. Tahun ini uji coba dan proses transisi. Rencananya wajib penuh mulai 2014," kata Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi kepada detikFinance, Rabu (30/3/2011)
Bayu menjelaskan ketentuan sertifikasi ISPO secara prinsip mulai berlaku tahun ini, namun ada proses transisi. Kemudian mulai Maret 2012 menjadi wajib untuk yang sudah siap, dan kemudian pada tahu 2014 wajib untuk semua pelaku sawit.
ISPO dicanangkan oleh pemerintah akhir Maret 2011 ini. Seluruh perkebunan kelapa sawit diharapkan sudah mengantongi sertifikat ISPO di 2014.
Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan ISPO sebagai antisipasi perlakukan negara-negara importir minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Pelaku pasar biasanya hanya mau membeli apabila perusahaan eksportir itu sudah memiliki sertifikat RSPO.
Selama ini ketentuan mengenai Standar minyak sawit lestari tertuang dalam Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang disepakati oleh para stakeholder kelapa sawit di internasional.
(hen/dnl)
http://us.detikfinance.com/read/2011/03/30/154334/1604918/1036/industri-wajib-ikut-standar-sawit-lestari-ala-ri
Industri Wajib Ikut Standar Sawit Lestari Ala RI
Suhendra - detikFinance
Jakarta - Standar minyak sawit lestari versi Indonesia atau yang biasa disebut Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) akan diwajibkan untuk seluruh pelaku industri sawit di Tanah Air. Rencananya, semua pelaku sawit termasuk industri sawit harus sudah memiliki sertifikasi ISPO paling lambat 2014.
"Ya, sifatnya wajib, tetapi bertahap. Tahun ini uji coba dan proses transisi. Rencananya wajib penuh mulai 2014," kata Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi kepada detikFinance, Rabu (30/3/2011)
Bayu menjelaskan ketentuan sertifikasi ISPO secara prinsip mulai berlaku tahun ini, namun ada proses transisi. Kemudian mulai Maret 2012 menjadi wajib untuk yang sudah siap, dan kemudian pada tahu 2014 wajib untuk semua pelaku sawit.
ISPO dicanangkan oleh pemerintah akhir Maret 2011 ini. Seluruh perkebunan kelapa sawit diharapkan sudah mengantongi sertifikat ISPO di 2014.
Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan ISPO sebagai antisipasi perlakukan negara-negara importir minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Pelaku pasar biasanya hanya mau membeli apabila perusahaan eksportir itu sudah memiliki sertifikat RSPO.
Selama ini ketentuan mengenai Standar minyak sawit lestari tertuang dalam Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang disepakati oleh para stakeholder kelapa sawit di internasional.
(hen/dnl)
http://us.detikfinance.com/read/2011/03/30/154334/1604918/1036/industri-wajib-ikut-standar-sawit-lestari-ala-ri
RI Bidik Serbia Jadi Pintu Masuk Sawit ke Eropa
Sabtu, 21/05/2011 10:05 WIB
RI Bidik Serbia Jadi Pintu Masuk Sawit ke Eropa
Ade Irawan - detikFinance
Foto: dok.detikFinance
Jakarta - Indonesia akan menjadikan Serbia sebagai salah satu pintu masuk perdagangan kelapa sawit di kawasan Eropa. Saat ini, pemerintah Indonesia sedang menjajaki Serbia sebagai transit awal perdagangan kelapa sawit di kawasan Eropa Timur.
Demikian disampaikan Wakil Menteri Perdagangan ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (20/5/2011).
"Serbia merupakan salah satu potensi besar untuk menjajaki pembukaan pintu masuk langsung dan menjadikannya untuk transit," katanya.
Mahendra menilai, dengan dijajakinnya Serbisa sebagai salah satu pintu masuk perdagangan kelapa sawit di kawasan Eropa Timur, bukan tidak mungkin Indonesia akan memasuki kawasan Eropa lainnya seperti Eropa Barat. Saat ini, untuk masuk ke kawasan Eropa Barat, perdagangan kelapa sawit dari Indonesia harus melalui pelabuhan Rotterdam dan Hamburg.
"Untuk masuk Eropa adalah lewat Rotterdam dan Hamburg, Namun kita melihat ada pintu masuk baru. Salah satunya adalah kawasan Balkan," ujarnya.
Mahendra menambakan, setelah Indonesia menyelesaikan masalah kelapa sawit berkelanjutan yang terjadi, Indonesia akan meningkatkan olahan kelapa sawitnya untuk segera dipasarkan ke kawasan Eropa.
"Setelah kita bisa menyelesaikan kesalahpahaman persepsi kita semakin meningkatkan olahan sawit kita," ungkapnya.
Lebih lanjut Mahendra menjelaskan komoditas lain seperti kakao yang juga akan diperdagangkan di Eropa juga akan meningkat. program hilirisasi yang dijalankan pemerintah telah dilakukan dan berjalan baik.
"Kita sudah mendirikan pabrik baru kakao di Batam. Kebijakan kita untuk hilirisasi untuk kakao berjalan baik," imbuhnya.
(ade/dnl)
sumber:
http://us.detikfinance.com/read/2011/05/21/100529/1643785/1036/ri-bidik-serbia-jadi-pintu-masuk-sawit-ke-eropa
RI Bidik Serbia Jadi Pintu Masuk Sawit ke Eropa
Ade Irawan - detikFinance
Foto: dok.detikFinance
Jakarta - Indonesia akan menjadikan Serbia sebagai salah satu pintu masuk perdagangan kelapa sawit di kawasan Eropa. Saat ini, pemerintah Indonesia sedang menjajaki Serbia sebagai transit awal perdagangan kelapa sawit di kawasan Eropa Timur.
Demikian disampaikan Wakil Menteri Perdagangan ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (20/5/2011).
"Serbia merupakan salah satu potensi besar untuk menjajaki pembukaan pintu masuk langsung dan menjadikannya untuk transit," katanya.
Mahendra menilai, dengan dijajakinnya Serbisa sebagai salah satu pintu masuk perdagangan kelapa sawit di kawasan Eropa Timur, bukan tidak mungkin Indonesia akan memasuki kawasan Eropa lainnya seperti Eropa Barat. Saat ini, untuk masuk ke kawasan Eropa Barat, perdagangan kelapa sawit dari Indonesia harus melalui pelabuhan Rotterdam dan Hamburg.
"Untuk masuk Eropa adalah lewat Rotterdam dan Hamburg, Namun kita melihat ada pintu masuk baru. Salah satunya adalah kawasan Balkan," ujarnya.
Mahendra menambakan, setelah Indonesia menyelesaikan masalah kelapa sawit berkelanjutan yang terjadi, Indonesia akan meningkatkan olahan kelapa sawitnya untuk segera dipasarkan ke kawasan Eropa.
"Setelah kita bisa menyelesaikan kesalahpahaman persepsi kita semakin meningkatkan olahan sawit kita," ungkapnya.
Lebih lanjut Mahendra menjelaskan komoditas lain seperti kakao yang juga akan diperdagangkan di Eropa juga akan meningkat. program hilirisasi yang dijalankan pemerintah telah dilakukan dan berjalan baik.
"Kita sudah mendirikan pabrik baru kakao di Batam. Kebijakan kita untuk hilirisasi untuk kakao berjalan baik," imbuhnya.
(ade/dnl)
sumber:
http://us.detikfinance.com/read/2011/05/21/100529/1643785/1036/ri-bidik-serbia-jadi-pintu-masuk-sawit-ke-eropa
Industri Sawit Minta Tunda Moratorium Hutan
Minggu, 22/05/2011 12:26 WIB
Jakarta - Perusahaan-perusahaan sawit besar yang terhimpun dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprotes Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011 tentang moratorium (penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Gapki mendesak presiden agar melakukan penundaan terhadap keputusan
"Gapki menyayangkan bahwa Inpres ini tidak sepenuhnya mengakomodasi aspirasi dari industri sawit yang merupakan salah satu industri yang strategis dan penting dalam ekonomi Indonesia," kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) M Fadhil Hasan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/5/2011)
Fadhil mengatakan bahwa Inpres ini bersifat diskriminatif karena memberikan pengecualian kepada beberapa aktivitas ekonomi yaitu : geothermal, minyak dan gas bumi, ketenaga listrikan, lahan untuk padi dan tebu. Sementara aktivitas industri lain seperti sawit tertutup kesempatannya dalam berekspansi padahal sektor ini vital dan strategis bagi ekonomi.
Ia juga mengatakan lahirnya inpres ini juga berpotensi konflik dengan peraturan perundang-undangan lain seperti misalnya undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Bahkan dalam inpres ini bertabrakan dengan Keppres No. 32 tahun 1990 maupun Permentan No 14/2009 membolehkan penggunaan lahan gambut dengan kedalaman kurang dari 3 meter.
"Bahwa ketentuan tentang 'peta indikatif penundaan ijin baru' dapat menimbulkan dispute dengan 'RTRW' yang justru akan menimbulkan persoalan baru," ucapnya.
Pihaknya menyayangkan bahwa moratorium itu tidak mengatur pemanfaatan lahan-lahan hutan terdegradasi yang dapat digunakan untuk aktivitas perekonomian. Padahal didalam Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani oleh Presiden, selain moratorium pemerintah juga diharuskan untuk mengidentifikasi lahan terdegradasi yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi.
"Oleh karena itu, Gapki meminta agar pemerintah agar menunda implementasi Inpres ini dan segera mengeluarkan instruksi Presiden tentang pemanfaatan (prosedur) lahan terdegradasi sesuai dengan Letter of Intent (LoI)," katanya.
Seperti diketahui mulai 20 Mei 2011 penerapan moratorium (penundaan) terhadap pemberian izin kawasan hutan alam dan gambut berlaku efektif. Moratorium ini berlaku selama dua tahun kedepan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan gambut. Inpres ini berlaku khusus untuk 64,2 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut di Indonesia.
Dalam Inpres itu diatur juga bahwa penundaan pemberian izin baru berlaku untuk hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa atau tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain. Atas Moratorium itu Indonesia mendapatkan komitmen kucuran dana hingga US$ 1 miliar dari Norwegia.
"Dana yang Us$ 30 juta sudah cair dan saat ini sudah ditangan UNDP (United Nation Development Program) sebagai lembaga yang ditunjuk sebagai pengelola dana," jelas Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Agus Purnomo beberapa waktu lalu.
(hen/hen)
sumber:
http://us.detikfinance.com/read/2011/05/22/122612/1644114/1036/industri-sawit-minta-tunda-moratorium-hutan
Jakarta - Perusahaan-perusahaan sawit besar yang terhimpun dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprotes Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011 tentang moratorium (penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Gapki mendesak presiden agar melakukan penundaan terhadap keputusan
"Gapki menyayangkan bahwa Inpres ini tidak sepenuhnya mengakomodasi aspirasi dari industri sawit yang merupakan salah satu industri yang strategis dan penting dalam ekonomi Indonesia," kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) M Fadhil Hasan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/5/2011)
Fadhil mengatakan bahwa Inpres ini bersifat diskriminatif karena memberikan pengecualian kepada beberapa aktivitas ekonomi yaitu : geothermal, minyak dan gas bumi, ketenaga listrikan, lahan untuk padi dan tebu. Sementara aktivitas industri lain seperti sawit tertutup kesempatannya dalam berekspansi padahal sektor ini vital dan strategis bagi ekonomi.
Ia juga mengatakan lahirnya inpres ini juga berpotensi konflik dengan peraturan perundang-undangan lain seperti misalnya undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Bahkan dalam inpres ini bertabrakan dengan Keppres No. 32 tahun 1990 maupun Permentan No 14/2009 membolehkan penggunaan lahan gambut dengan kedalaman kurang dari 3 meter.
"Bahwa ketentuan tentang 'peta indikatif penundaan ijin baru' dapat menimbulkan dispute dengan 'RTRW' yang justru akan menimbulkan persoalan baru," ucapnya.
Pihaknya menyayangkan bahwa moratorium itu tidak mengatur pemanfaatan lahan-lahan hutan terdegradasi yang dapat digunakan untuk aktivitas perekonomian. Padahal didalam Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani oleh Presiden, selain moratorium pemerintah juga diharuskan untuk mengidentifikasi lahan terdegradasi yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi.
"Oleh karena itu, Gapki meminta agar pemerintah agar menunda implementasi Inpres ini dan segera mengeluarkan instruksi Presiden tentang pemanfaatan (prosedur) lahan terdegradasi sesuai dengan Letter of Intent (LoI)," katanya.
Seperti diketahui mulai 20 Mei 2011 penerapan moratorium (penundaan) terhadap pemberian izin kawasan hutan alam dan gambut berlaku efektif. Moratorium ini berlaku selama dua tahun kedepan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan gambut. Inpres ini berlaku khusus untuk 64,2 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut di Indonesia.
Dalam Inpres itu diatur juga bahwa penundaan pemberian izin baru berlaku untuk hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa atau tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain. Atas Moratorium itu Indonesia mendapatkan komitmen kucuran dana hingga US$ 1 miliar dari Norwegia.
"Dana yang Us$ 30 juta sudah cair dan saat ini sudah ditangan UNDP (United Nation Development Program) sebagai lembaga yang ditunjuk sebagai pengelola dana," jelas Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Agus Purnomo beberapa waktu lalu.
(hen/hen)
sumber:
http://us.detikfinance.com/read/2011/05/22/122612/1644114/1036/industri-sawit-minta-tunda-moratorium-hutan
Sabtu, 21 Mei 2011
Pertumbuhan Perusahaan Perkebunan Sawit Tidak Diiringi Kesejahteraan Petani
MedanBisnis – Aek Kanopan. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), melakukan konsolidasi hingga ke tingkat desa untuk menghimpun petani kelapa sawit yang ada di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura).
Sekjend SPKS Labura, Maruli Sitorus yang hadir dalam acara konsolidasi yang dilaksanakan di Desa Padang Maninjo, Kecamatan Aek Kuo, Selasa (17/5), pertumbuhan perusahaan perkebunan yang terus melakukan ekspansi tidak diiringi dengan peningkatan kesejahteraan petani kelapa sawit.
“Masyarakat petani di sekitar perusahaan perkebunan semakin sengsara, terbukti dengan semakin banyaknya konflik tanah bahkan banyak petani yang tergusur akibat kehadiran perusahaan-perusaahaan perkebunan besar,” kata Maruli.
Selain itu, jelasnya, petani kelapa sawit juga sering kesulitan memperoleh akses pupuk suibsidi bahkan petani kelapa sawit sering menjadi korban dalam penentuan harga TBS (Tandan Buah Segar).
“Kebijakan pemerintah selama ini masih mengedepankan kepentingan pengusaha besar ketimbang kesejahteraan petani kelapa sawit,” jelasnya.
Karena itu, kehadiran SPKS di Labura untuk melakukan pemberdayaan para petani kelapa sawit. Untuk itu, perlu dilakukan konsolidasi dengan pembentukan kelompok-kelompok petani kelapa sawit serta kepengurusan SPKS hingga ke tingkat desa.
Ketua SPKS Kecamatan Kuo, Ngatimin, mengatakan, masalah lain yang dihadapi petani kelapa sawit, seringnya kewalahan dalam meningkatkan kualitas TBS nya karena keterbatasan pengetahuan dalam memilih bibit. Selain itu, petani juga kesulitan melakukan replanting karena keterbatasan modal.
“Dengan hadirnya SPKS di Labura ini, diharapkan dapat menjadi wadah bagi para petani kelapa sawit yang ada di Labura dalam menyelesaikan berbagai masalahnya,” jelas Ngatimin.
(ricardo simanjuntak)
sumber:
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/05/18/34701/pertumbuhan_perusahaan_perkebunan_sawit_tidak_diiringi_kesejahteraan_petani/#.TcnIxFsrrO8
Sekjend SPKS Labura, Maruli Sitorus yang hadir dalam acara konsolidasi yang dilaksanakan di Desa Padang Maninjo, Kecamatan Aek Kuo, Selasa (17/5), pertumbuhan perusahaan perkebunan yang terus melakukan ekspansi tidak diiringi dengan peningkatan kesejahteraan petani kelapa sawit.
“Masyarakat petani di sekitar perusahaan perkebunan semakin sengsara, terbukti dengan semakin banyaknya konflik tanah bahkan banyak petani yang tergusur akibat kehadiran perusahaan-perusaahaan perkebunan besar,” kata Maruli.
Selain itu, jelasnya, petani kelapa sawit juga sering kesulitan memperoleh akses pupuk suibsidi bahkan petani kelapa sawit sering menjadi korban dalam penentuan harga TBS (Tandan Buah Segar).
“Kebijakan pemerintah selama ini masih mengedepankan kepentingan pengusaha besar ketimbang kesejahteraan petani kelapa sawit,” jelasnya.
Karena itu, kehadiran SPKS di Labura untuk melakukan pemberdayaan para petani kelapa sawit. Untuk itu, perlu dilakukan konsolidasi dengan pembentukan kelompok-kelompok petani kelapa sawit serta kepengurusan SPKS hingga ke tingkat desa.
Ketua SPKS Kecamatan Kuo, Ngatimin, mengatakan, masalah lain yang dihadapi petani kelapa sawit, seringnya kewalahan dalam meningkatkan kualitas TBS nya karena keterbatasan pengetahuan dalam memilih bibit. Selain itu, petani juga kesulitan melakukan replanting karena keterbatasan modal.
“Dengan hadirnya SPKS di Labura ini, diharapkan dapat menjadi wadah bagi para petani kelapa sawit yang ada di Labura dalam menyelesaikan berbagai masalahnya,” jelas Ngatimin.
(ricardo simanjuntak)
sumber:
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/05/18/34701/pertumbuhan_perusahaan_perkebunan_sawit_tidak_diiringi_kesejahteraan_petani/#.TcnIxFsrrO8
Jumat, 20 Mei 2011
Dilarang Buka Kebun Sawit Hingga 2 Tahun ke Depan
Moratorium Hutan
Dilarang Buka Kebun Sawit Hingga 2 Tahun ke Depan
Suhendra - detikFinance
Jakarta - Instruksi Presiden (Inpres) Inpres No 10 Tahun 2011 terkait
moratorium (penundaan) izin kawasan hutan alam dan gambut mengecualikan 4
hal. Dari pengecualian tersebut, sektor perkebunan kelapa sawit tak masuk,
sehingga pembukaan lahan barunya tetap dilarang.
Berdasarkan Inpres itu, moratorium izin penggunaan kawasan hutan alam primer
dan lahan gambut tak berlaku atau dikecualikan kepada empat hal yaitu:
Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan.
Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital yaitu geothermal minyak
dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu.
Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang
telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku.
Restorasi ekosistem.
Dalam Inpres itu diatur juga soal penundaan pemberian izin baru berlaku
untuk hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi,
hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa
atau tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain.
Tidak dimasukkannya perkebungan kelapa sawit dalam pengecualian moratorium
tersebut langsung dikecam kalangan pengusaha kelapa sawit. Ketentuan
tersebut dinilai sebagai bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap industri
kelapa sawit.
"Apakah ini diskriminasi kesannya sawit dianggap pejahat. Berarti dengan
kata lain sawit tidak diangap vital oleh pemerintah, padahal ini sama-sama
komoditi," kata Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Joko
Supriyono kepada detikFinance, Jumat (20/5/2011).
Joko menambahkan selama ini sektor sawit memberikan imbas yang sangat
positif terhadap pengurangan kemiskinan, penciptaan tenaga kerja, penerimaan
negara dari sisi devisa dan pajak dan pembangua wilayah
"Kalau fungsi itu tidak dianggap vital saya nggak tahu berarti vital itu
apa," katanya.
Joko menegaskan pihaknya merasa kecewa dengan keputusan pemerintah melalui
Inpres tersebut. Padahal kata dia, pelaku sawit tak meminta macam-macam
yaitu hanya meminta tidak dimasukannya area penggunaan lain (APL) dalam
moratorium.
"Area penggunaa lain itu harusnya haknya industri, itu halal untuk industri
agar bisa tetap berkembang. Area penggunaan lain bukan kawasan hutan itu
halal karena untuk pengembangan ekonomi, kalau sekarang ini dimoratorium,"
katanya.
Meskipun Joko mengakui dalam Inpres tersebut ada pengecualian terkait izin
prinsip yang sudah diberikan. Didalamnya ada kemungkinan izin yang sudah
diberikan kepada sektor sawit meski ia belum puas.
"Pasti iya (izin prinsip itu ada untuk sawit), tapi yang kita konsen adalah
izin baru, kalau izin prinsip itu untuk pengembangan semua. Harusnya sawit
difasilitasi untuk berkembang," katanya.
Dilarang Buka Kebun Sawit Hingga 2 Tahun ke Depan
Suhendra - detikFinance
Jakarta - Instruksi Presiden (Inpres) Inpres No 10 Tahun 2011 terkait
moratorium (penundaan) izin kawasan hutan alam dan gambut mengecualikan 4
hal. Dari pengecualian tersebut, sektor perkebunan kelapa sawit tak masuk,
sehingga pembukaan lahan barunya tetap dilarang.
Berdasarkan Inpres itu, moratorium izin penggunaan kawasan hutan alam primer
dan lahan gambut tak berlaku atau dikecualikan kepada empat hal yaitu:
Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan.
Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital yaitu geothermal minyak
dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu.
Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang
telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku.
Restorasi ekosistem.
Dalam Inpres itu diatur juga soal penundaan pemberian izin baru berlaku
untuk hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi,
hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa
atau tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain.
Tidak dimasukkannya perkebungan kelapa sawit dalam pengecualian moratorium
tersebut langsung dikecam kalangan pengusaha kelapa sawit. Ketentuan
tersebut dinilai sebagai bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap industri
kelapa sawit.
"Apakah ini diskriminasi kesannya sawit dianggap pejahat. Berarti dengan
kata lain sawit tidak diangap vital oleh pemerintah, padahal ini sama-sama
komoditi," kata Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Joko
Supriyono kepada detikFinance, Jumat (20/5/2011).
Joko menambahkan selama ini sektor sawit memberikan imbas yang sangat
positif terhadap pengurangan kemiskinan, penciptaan tenaga kerja, penerimaan
negara dari sisi devisa dan pajak dan pembangua wilayah
"Kalau fungsi itu tidak dianggap vital saya nggak tahu berarti vital itu
apa," katanya.
Joko menegaskan pihaknya merasa kecewa dengan keputusan pemerintah melalui
Inpres tersebut. Padahal kata dia, pelaku sawit tak meminta macam-macam
yaitu hanya meminta tidak dimasukannya area penggunaan lain (APL) dalam
moratorium.
"Area penggunaa lain itu harusnya haknya industri, itu halal untuk industri
agar bisa tetap berkembang. Area penggunaan lain bukan kawasan hutan itu
halal karena untuk pengembangan ekonomi, kalau sekarang ini dimoratorium,"
katanya.
Meskipun Joko mengakui dalam Inpres tersebut ada pengecualian terkait izin
prinsip yang sudah diberikan. Didalamnya ada kemungkinan izin yang sudah
diberikan kepada sektor sawit meski ia belum puas.
"Pasti iya (izin prinsip itu ada untuk sawit), tapi yang kita konsen adalah
izin baru, kalau izin prinsip itu untuk pengembangan semua. Harusnya sawit
difasilitasi untuk berkembang," katanya.
Senin, 16 Mei 2011
Ekspansi Sawit, Blunder ketiga
sumber : http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=26945
DISKUSI DI UTRECHT (3)
Ekspansi Perkebunan Sawit, Blunder Ketiga Penghancuran Hutan Tropis di Indonesia
Kamis, 12 Mei 2011 , 17:03:00 WIB
Laporan: A. Supardi Adiwidjaya
RMOL. Masalah agraria di Indonesia diperbincangkan juga di Utrecht, Belanda, dalam sebuah diskusi.
Bertempat di gedung sekolah Prinses Beatrixlaan No.2, Utrecht, diskusi tersebut digelar pada hari Minggu lalu (8/5). Salah satu pembicara utama yang hadir adalah dosen Universitas Darma Agung Medan, Saurlin Siagian. Saurlin sendiri sedang mengadakan penelitian di Den Haag.
Dalam diskusi tersebut, Saurlin membawakan makalah berjudul "Potret masalah Perkebunan Sawit di Indonesia." Isi dalam makalah tersebut mendapat perhatian serius dari para peserta diskusi. Merujuk pada arti penting masalah perkebunan sawit yang disampaikan Saurlin Siagian dalam makalahnya, Redaksi berkeinginan memuat isi makalah tersebut. Ini adalah bagian terakhir dari makalah tersebut.
***
BAKU bantah antara pengusaha perkebunan sawit dengan aktivis lingkungan tentang apakah perkebunan sawit berdampak terhadap perubahan iklim dengan memakai parameter yang berbeda-beda, tentunya kurang bijaksana. Sementara perdebatan itu masih belum usai, monokultur tidak terbantahkan menghancurkan biodiversity. Ekspansi perkebunan sawit disebut sebagai blunder ketiga penghancuran hutan tropis di Indonesia.
Kebijakan pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) masing-masing disebut sebagai blunder pertama dan kedua. Hanya di satu kabupaten saja, Labuhan Batu Utara, penelitian Lentera (2011) menemukan setidaknya terdapat 20 perkebunan skala menengah dan besar yang berada di kawasan hutan.
Berbeda dengan data yang dikeluarkan pemerintah bahwa sisa hutan di Indonesia seluas 107,48 juta hektar, Walhi menyebut angka 64 juta hektar sebagai hasil dari penghancuran hutan antara 1,6 juta hektar hingga 1,17 juta hektar pertahun.
Masalah Sosial Perburuhan
Penelitian di Sumatera Utara, terdapat setidaknya 80.000 dari 236.000 buruh yang bekerja tanpa jaminan sosial, atau yang dikenal dengan buruh harian lepas. Kondisi kesehatan yang sangat buruk, perumahan yang tidak memadai, dan
pendidikan yang sangat rendah. Mereka juga tidak tergabung dalam serikat buruh perkebunan.
Selain itu, serikat buruh yang ada di perkebunan tidak berpihak terhadap kepentingan buruh, tetapi kepada kepentingan pengusaha. Seperti SP BUN yang ada di perkebunan perkebunan Sumatera Utara.
Beberapa kasus ditemukan, bila buruh terlibat organisasi buruh yang tidak dikehendaki perusahaan, mereka akan dipecat atau dimutasi, seperti yang terjadi di PTPN III, kebun Marbo Selatan, di Labuhan Batu.
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan.
Pertama, membangun kemandirian dan kedaulatan petani melalui koperasi petani. Cooperative rice farming versus Rice Estate atau menggunakan istilah Soekarno: "Kaum marhaen, bersatulah."
Kedua, menghentikan rencana ekspansi 22 juta hektar untuk korporasi sawit. Rakyat harus menjadi pemilik, atau setidaknya pihak penentu dalam perkebunan sawit yang ada sekarang seluas sekitar delapan juta hektar di Indonesia.
Ketiga, menolak masterplan rezim SBY yang mematikan petani.
Keempat, memperbaiki nasib buruh damn memastikan buruh mendapatkan hak hak dasar seperti gaji dan jaminan sosial. (Habis)
DISKUSI DI UTRECHT (3)
Ekspansi Perkebunan Sawit, Blunder Ketiga Penghancuran Hutan Tropis di Indonesia
Kamis, 12 Mei 2011 , 17:03:00 WIB
Laporan: A. Supardi Adiwidjaya
RMOL. Masalah agraria di Indonesia diperbincangkan juga di Utrecht, Belanda, dalam sebuah diskusi.
Bertempat di gedung sekolah Prinses Beatrixlaan No.2, Utrecht, diskusi tersebut digelar pada hari Minggu lalu (8/5). Salah satu pembicara utama yang hadir adalah dosen Universitas Darma Agung Medan, Saurlin Siagian. Saurlin sendiri sedang mengadakan penelitian di Den Haag.
Dalam diskusi tersebut, Saurlin membawakan makalah berjudul "Potret masalah Perkebunan Sawit di Indonesia." Isi dalam makalah tersebut mendapat perhatian serius dari para peserta diskusi. Merujuk pada arti penting masalah perkebunan sawit yang disampaikan Saurlin Siagian dalam makalahnya, Redaksi berkeinginan memuat isi makalah tersebut. Ini adalah bagian terakhir dari makalah tersebut.
***
BAKU bantah antara pengusaha perkebunan sawit dengan aktivis lingkungan tentang apakah perkebunan sawit berdampak terhadap perubahan iklim dengan memakai parameter yang berbeda-beda, tentunya kurang bijaksana. Sementara perdebatan itu masih belum usai, monokultur tidak terbantahkan menghancurkan biodiversity. Ekspansi perkebunan sawit disebut sebagai blunder ketiga penghancuran hutan tropis di Indonesia.
Kebijakan pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) masing-masing disebut sebagai blunder pertama dan kedua. Hanya di satu kabupaten saja, Labuhan Batu Utara, penelitian Lentera (2011) menemukan setidaknya terdapat 20 perkebunan skala menengah dan besar yang berada di kawasan hutan.
Berbeda dengan data yang dikeluarkan pemerintah bahwa sisa hutan di Indonesia seluas 107,48 juta hektar, Walhi menyebut angka 64 juta hektar sebagai hasil dari penghancuran hutan antara 1,6 juta hektar hingga 1,17 juta hektar pertahun.
Masalah Sosial Perburuhan
Penelitian di Sumatera Utara, terdapat setidaknya 80.000 dari 236.000 buruh yang bekerja tanpa jaminan sosial, atau yang dikenal dengan buruh harian lepas. Kondisi kesehatan yang sangat buruk, perumahan yang tidak memadai, dan
pendidikan yang sangat rendah. Mereka juga tidak tergabung dalam serikat buruh perkebunan.
Selain itu, serikat buruh yang ada di perkebunan tidak berpihak terhadap kepentingan buruh, tetapi kepada kepentingan pengusaha. Seperti SP BUN yang ada di perkebunan perkebunan Sumatera Utara.
Beberapa kasus ditemukan, bila buruh terlibat organisasi buruh yang tidak dikehendaki perusahaan, mereka akan dipecat atau dimutasi, seperti yang terjadi di PTPN III, kebun Marbo Selatan, di Labuhan Batu.
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan.
Pertama, membangun kemandirian dan kedaulatan petani melalui koperasi petani. Cooperative rice farming versus Rice Estate atau menggunakan istilah Soekarno: "Kaum marhaen, bersatulah."
Kedua, menghentikan rencana ekspansi 22 juta hektar untuk korporasi sawit. Rakyat harus menjadi pemilik, atau setidaknya pihak penentu dalam perkebunan sawit yang ada sekarang seluas sekitar delapan juta hektar di Indonesia.
Ketiga, menolak masterplan rezim SBY yang mematikan petani.
Keempat, memperbaiki nasib buruh damn memastikan buruh mendapatkan hak hak dasar seperti gaji dan jaminan sosial. (Habis)
Rabu, 11 Mei 2011
UU Perkebunan Abaikan Pasal 33 UUD 1945
JAKARTA--MICOM: Pasal 21 dan 47 Undang -Undang (UU) Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dinilai telah mengabaikan UUD 1945.
"Secara ideologis filsafati keduanya sama-sama mengacu pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945> Tetapi secara yuridis telah terjadi penghapusan keterkaitan norma," ujar ahli hukum agraria Universitas Brawijaya (Unibraw) Suhariningsih dalam sidang pengujian undang-undang yang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki, Jakarta, Selasa (10/5).
Ahli yang dihadirkan oleh pemohon itu menyatakan penghapusan norma itu tidak secara langsung melanggar Pasal 33 UUD 1945, namun berpotensi mengilangkan hak-hak warga negara.
Menurut Suhariningsih, konflik pertanahan yang sering terjadi antara pemerintah maupun badan hukum swasta dengan petani di sekitar perkebunan seringkali tidak berpihak pada rakyat kecil. Negara, katanya, tidak boleh mengorbankan rakyatnya demi kepentingan pihak investor.
"UU Perkebunan secara substansi dan normatif telah tidak berkesesuaian dengan cita-cita negara hukum Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya," kata Suhariningsih.
Suhariningsih pun mengutip pendapat Prof Achmad Sodiki dalam sebuah seminar nasional, sepuluh tahun lalu. Dalam seminar itu, kata Suhariningsih, Sodiki menyebut ketika negara tidak mampu meningkatkan perekonomian dan selanjutnya bergandengan tangan dengan para pemodal asing maka telah terjadi perubahan substantif.
"Menurut saya materi muatan dalam pasal-pasal itu tidak mengandung asas pengayoman terhadap rakyat miskin. Dalam kenyataan di lapangan, masyarakat hukum adat justru tersingkir dari akses tanah sebagai sumber kehidupan mereka karena hadirnya investor," tukas Suhariningsih.
Hal senada disampaikan oleh pakar antropologi Prof I Nyoman Nurjaya. Guru Besar Fakultas Hukum Unibraw itu mengatakan Pasal 21 UU 18/2004 itu sebagai pasal mengada-ada, karena di KUHAP juga telah mengatur soal pidana.
"Redaksi pasal ini sudah ada di KUHAP. Jadi tak perlu lagi diatur (dalam UU 18/2004)," ujarnya.
Pasal 21 UU tersebut mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa izin karena tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Sementara, Pasal 47 tidak bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis siapapun yang melanggar unsur-unsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya
Permohonan pengujian undang-undang ini diajukan oleh empat petani dari tiga daerah. Mereka adalah Sakri (Blitar, Jatim), Ngatimin alias Keling (Serdang Begadai, Sumut), serta Vitalis Andi dan Japin (Ketapang, Kalbar).
Bersama kuasa hukum mereka, Wahyu Wagiman dan Andi Muttaqien, serta pihak terkait dari LSM Sawit Watch, mereka meminta MK agar membatalkan Pasal 21 juncto Pasal 47 ayat 1 dan 2 UU 18/2004.
Wahyu, usai sidang, menjelaskan ketentuan dalam pasal tersebut juga mencerminkan adanya pembedaan kedudukan, ketidakadilan, serta ketidakpastian hukum yang merugikan petani. UU tersebut, ujarnya, harus mampu melindungi hak-hak masyarakat adat dan penduduk lokal.
"Sebab dengan adanya ketentuan tersebut maka tindakan untuk memperjuangkan hak petani dapat dianggap mengganggu jalannya usaha perkebunan," kata Wahyu.
Ia menuturkan sampai pertengahan 2010, sedikitnya terjadi 106 kasus kriminalisasi petani akibat bersengketa dengan perusahaan perkebunan. Wahyudi pun menerangkan bahwa Ngatimin telah terlibat dalam konflik lahan itu sejak tahun 1968, saat ia masih bersama orang tuanya.
"Kalau tidak direview akan menimbulkan banyak konflik agraria. Seolah-olah konflik dipelihara," tukas Wahyu.
Pada sidang sebelumnya, 20 April 2011, pemerintah menyatakan tujuan UU perkebunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penerimaan negara, produktivitas, nilai tambah dan daya saing. Sedangkan pada pasal yang diuji materi, ahli dari pemerintah Achyar Salmi menyatakan ketentuan pidana dalam pasal itu telah sesuai dengan asas legalitas. (*/OL-3)
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/11/225108/284/1/-UU-Perkebunan-Abaikan-Pasal-33-UUD-1945
"Secara ideologis filsafati keduanya sama-sama mengacu pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945> Tetapi secara yuridis telah terjadi penghapusan keterkaitan norma," ujar ahli hukum agraria Universitas Brawijaya (Unibraw) Suhariningsih dalam sidang pengujian undang-undang yang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki, Jakarta, Selasa (10/5).
Ahli yang dihadirkan oleh pemohon itu menyatakan penghapusan norma itu tidak secara langsung melanggar Pasal 33 UUD 1945, namun berpotensi mengilangkan hak-hak warga negara.
Menurut Suhariningsih, konflik pertanahan yang sering terjadi antara pemerintah maupun badan hukum swasta dengan petani di sekitar perkebunan seringkali tidak berpihak pada rakyat kecil. Negara, katanya, tidak boleh mengorbankan rakyatnya demi kepentingan pihak investor.
"UU Perkebunan secara substansi dan normatif telah tidak berkesesuaian dengan cita-cita negara hukum Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya," kata Suhariningsih.
Suhariningsih pun mengutip pendapat Prof Achmad Sodiki dalam sebuah seminar nasional, sepuluh tahun lalu. Dalam seminar itu, kata Suhariningsih, Sodiki menyebut ketika negara tidak mampu meningkatkan perekonomian dan selanjutnya bergandengan tangan dengan para pemodal asing maka telah terjadi perubahan substantif.
"Menurut saya materi muatan dalam pasal-pasal itu tidak mengandung asas pengayoman terhadap rakyat miskin. Dalam kenyataan di lapangan, masyarakat hukum adat justru tersingkir dari akses tanah sebagai sumber kehidupan mereka karena hadirnya investor," tukas Suhariningsih.
Hal senada disampaikan oleh pakar antropologi Prof I Nyoman Nurjaya. Guru Besar Fakultas Hukum Unibraw itu mengatakan Pasal 21 UU 18/2004 itu sebagai pasal mengada-ada, karena di KUHAP juga telah mengatur soal pidana.
"Redaksi pasal ini sudah ada di KUHAP. Jadi tak perlu lagi diatur (dalam UU 18/2004)," ujarnya.
Pasal 21 UU tersebut mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa izin karena tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Sementara, Pasal 47 tidak bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis siapapun yang melanggar unsur-unsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya
Permohonan pengujian undang-undang ini diajukan oleh empat petani dari tiga daerah. Mereka adalah Sakri (Blitar, Jatim), Ngatimin alias Keling (Serdang Begadai, Sumut), serta Vitalis Andi dan Japin (Ketapang, Kalbar).
Bersama kuasa hukum mereka, Wahyu Wagiman dan Andi Muttaqien, serta pihak terkait dari LSM Sawit Watch, mereka meminta MK agar membatalkan Pasal 21 juncto Pasal 47 ayat 1 dan 2 UU 18/2004.
Wahyu, usai sidang, menjelaskan ketentuan dalam pasal tersebut juga mencerminkan adanya pembedaan kedudukan, ketidakadilan, serta ketidakpastian hukum yang merugikan petani. UU tersebut, ujarnya, harus mampu melindungi hak-hak masyarakat adat dan penduduk lokal.
"Sebab dengan adanya ketentuan tersebut maka tindakan untuk memperjuangkan hak petani dapat dianggap mengganggu jalannya usaha perkebunan," kata Wahyu.
Ia menuturkan sampai pertengahan 2010, sedikitnya terjadi 106 kasus kriminalisasi petani akibat bersengketa dengan perusahaan perkebunan. Wahyudi pun menerangkan bahwa Ngatimin telah terlibat dalam konflik lahan itu sejak tahun 1968, saat ia masih bersama orang tuanya.
"Kalau tidak direview akan menimbulkan banyak konflik agraria. Seolah-olah konflik dipelihara," tukas Wahyu.
Pada sidang sebelumnya, 20 April 2011, pemerintah menyatakan tujuan UU perkebunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penerimaan negara, produktivitas, nilai tambah dan daya saing. Sedangkan pada pasal yang diuji materi, ahli dari pemerintah Achyar Salmi menyatakan ketentuan pidana dalam pasal itu telah sesuai dengan asas legalitas. (*/OL-3)
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/11/225108/284/1/-UU-Perkebunan-Abaikan-Pasal-33-UUD-1945
Langganan:
Postingan (Atom)