Medan-ORBIT: Komersialisasi sawit di Indonesia dimulai sejak tahun
1911. Seiring berjalannya waktu, komersialisasi berkembang ke arah
kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi terutama 10 tahun belakangan
ini.
Ekspansi tersebut dipicu oleh tingginya permintaan pasar global
terhadap Crude Palm Oil (CPO) baik untuk keperluan produk bahan
makanan, aneka produk kosmetik maupun energi (agrofuel).
Hal itu didengungkan demonstran yang tergabung dalam Koalisi Anti
Mafia Hutan saat menyampaikan orasi di depan Hotel Tiara Medan, tempat
berlangsungnya perayaan seratus tahun sawit oleh Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Selasa (29/3).
Menurut Eksekutif Komite Aksi Saurlin Siagian, saat ini luas
perkebunan sawit di Indonesia mencapai 7,9 juta hektar, dengan
komposisi ke pemilikan 65% dikuasai oleh korporasi dan 35% oleh non
korporasi atau petani berdasi.
Namun katanya, investasi korporasi hanya membawa derita bagi rakyat
Indonesia. Selain itu, kerakusan industri ekstraktif, telah mematikan
Daerah Aliran Sungai (DAS), merusak hutan primer.
“Lebih dari 5.000 DAS yang berada di Kawasan Taman Nasional mati
akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Banjir terus meningkat
pengungsi setiap tahun semakin bertambah dan meluas,” ungkapnya
diikuti yel-yel para aktivis lainnya.
Sementara, sambung Saurlin, para pengusaha perkebunan kelapa sawit
yang tergabung di dalam GAPKI hanya ingin merampas dan menguasai
sumber-sumber agraria (lahan rakyat). Dia menilai , pemerintah telah
melalaikan tugasnya untuk melindungi warga negaranya, yang seharusnya
mendapatkan perlindungan maksimal.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Walhi Sumut Syahrul Isman Manik
mengungkapkan argumentasi (penilaian) bahwa ekspansi sawit akan
menyerap tenaga kerja (buruh) dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan
merupakan suatu kebohongan.
Asumsi itu, kata Syahrul, dalam hitungan pemerintah dan korporasi yang
menyebutkan 20 juta hektar lahan perkebunan akan menyerap sekitar
10 juta buruh sangatlah jauh dari kenyataan.
“Fakta yang ditemukan di lapangan dalam 100 hektar lahan hanya
menyerap sekitar 22 orang tenaga kerja sehingga dengan demikian dengan
20 juta Hektar hanya menyerap 4,4 juta buruh,” ujar Syahrul.
Syahrul juga mengatakan praktik kuli kontrak dibangkitkan kembali
dalam bentuk baru yaitu Buruh Harian Lepas (BHL), dan tukang
berondolan (pengutip buah sawit) yang bekerja setiap hari tanpa
jaminan kerja bahkan tanpa ikatan kerja yang jelas.
Kemudian lanjut Syahrul, BHL tidak memperoleh jaminan sosial sebagai
pekerja meskipun sumbangan mereka sangat besar dalam upaya menunjang
proses produksi perkebunan.
Sedangkan Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Wagimin menilai,
korporasi sawit melahirkan konflik agraria terutama konflik lahan
sebagai dampak kapitalisasi perkebunan.
Konflik lahan yang merupakan warisan kolonial perkebunan, kata
Wagimin, hingga saat ini masih terus berlanjut melalui Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Bentrok
Isinya, menjamin masa waktu 95 tahun bagi korporasi untuk menguasai
lahan dengan tidak ada pembatasan yang jelas.
“Hal ini jelas-jelas merupakan kebangkitan kembali kebijakan zaman
kolonial yaitu onderneeming ordonatie dan agrarichst wet 1870 yang
menjamin penguasaan lahan selama 75 tahun. Padahal substansi dan
kenyataan aturan kolonial ini sudah dikoreksi dalam UU pokok agraria,”
terang Wagimin.
Akibatnya, kata Wagimin, tidak hanya kondisi kolonialisme muncul
kembali, melainkan petani miskin yang memperjuangkan tanah dan
penghidupannya dari korporasi sawit pun tergusur.
Malah Wagimin menilai para petani seringkali dikriminalisasi. Hal itu
disebabkan kemenangan korporasi sawit yang mengakibatkan seluruh
wilayah republik ini dapat ditanami dengan tanaman perkebunan tanpa
syarat yang mutlak.
Untuk itu, Koalisi Anti Mafia Hutan yang terdiri dari beberapa elemen
seperti KPS, Lentera, Petra, LBH Medan, Walhi Sumut, LSM Papua,Kontras
Sumut, SPI, SahdaR, BITRA Indonesia, ELSAM, BPRPI, HAPSARI, Greenpeace
dan LSM di Riau mendesak agar ekspansi sawit segera dihentikan.
Sementara itu, di tengah-tengah orasi, massa melakukan pembakaran
tiruan bola bumi sebagai bentuk dukacita terhadap keberlangsungan bumi
yang terus dieksplorasi.
Aksi pembakaran itu mengakibatkan sejumlah aparat kepolisian
berpakaian sipil berusaha menghentikan dan menangkap pembakar tiruan
bola bumi.
Kontan saja upaya provokasi aparat kepolisian itu membuat massa
berontak hingga terjadi keributan yang berlangsung selama lima menit.
Terlihat aparat kepolisian bentrok dengan beberapa demonstran.
Namun aksi bentrok itu tidak berlangsung lama karena kordinator aksi
mengimbau kepada massa agar tidak terprovokasi.
Tolak Proposal GAPKI
Setelah itu, massa kemballi melanjutkan orasinya. Dalam orasinya
mereka juga mendesak agar UU Nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan
serta UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal segera dicabut.
Kemudian mereka juga mengharapakan pemerintah menyediakan lahan untuk
pertanian pangan.
“Kami harap juga kepada Bank Internasional, Bank Nasional dan Bank
Asing untuk menghentikan kredit kepada korporasi dalam rangka ekspansi
sawit. Serta menghentikan sistem perbudakan modern yaitu buruh murah
dalam bentuk Buruh Kontrak, Buruh Harial Lepas di industri perkebunan
kelapa sawit,” tegas Saurlin di sela-sela aksi.
Dalam aksi itu, para demonstran juga menggelar aksi teatrikal dari
aktivis Green Student Movement (GSM) Sumut. Setelah melakukan orasi di
depan Tiara Hotel, para demonstran melanjutkan long march menuju
kantor Gubernur Sumatera Utara.
Di kantor Gubsu, massa kembali berorasi mendesak pemerintah
memperhatikan nasib petani buruh dan rakyat miskin yang semakin
termiskinkan oleh ekspansi sawit.
“Kita menolak proposal yang diajukan GAPKI kepada pemerintah untuk
melakukan ekspansi sawit seluas duapuluh juta hektar lahan sawit,”
tegas Saurlin.
Saurlin juga mengatakan aksi tersebut merupakan puncak dari ranngkaian
kegiatan penolakan ekspansi sawit yang telah berlangsung selama tiga
hari. Seusai menggelar orasi di Kantor Gubsu, massa membubarkan diri.
Om-12/Om-24
http://harianorbit.com/index.php?option=com_content&view=article&id=244:ekspansi-perkebunan&catid=1:berita-korupsi-hangat&Itemid=50