Antara/Kasriadi
JAKARTA--MI: Ekspansi sekitar 400 hektare per tahun untuk perkebunan kelapa
sawit di Indonesia dinilai dapat mengancam lingkungan hidup. Terlebih lagi,
kebun sawit di Indonesia yang luasnya mencapai 9 juta hektare sebagian besar
terdiri dari lahan produktif.
Hal tersebut disampaikan Head of Department Campaign and Public Education
Sawit Watch Jefri Gideon Saragih dalam acara jumpa pers dengan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) Indonesia tentang perkebunan kelapa sawit
Indonesia, di Jakarta, Selasa (6/4).
"Ekspansi yang kita catat 400 ribu hektare per tahun dan sekarang mulai
makin banyak ke timur," katanya.
Sebaiknya, ekspansi perkebunan sawit di Indonesia bisa menggunakan 7,3 juta
hektare lahan terlantar yang diumumkan Badan Pertanahan Nasional beberapa
waktu lalu. Namun setelah diselidiki, Jefri mengungkapkan bahwa lahan
terlantar tersebut banyak dimiliki perusahaan-perusaha an yang sulit
melepaskan haknya. Maka perusahaan sawit tidak mau susah dengan memilih
lahan produktif yang tersedia.
Jefri menyarankan agar Indonesia lebih baik mengoptimalkan perkebunan sawit
yang sudah ada daripada memperluasnya lagi.
"Kenapa kita ngotot ekspansi? Malaysia saja yang luas kebunnya cuma 4,9 juta
hektare bisa menghasilkan 18 juta ton. Kita dengan 9 juta hektare hanya bisa
menghasilkan 21 juta ton," jelasnya.
Selain itu, ia khawatir dengan banyaknya penguasaan asing di perkebunan
sawit Indonesia. Jefri melihat Indonesia hanya sebagai penyedia tenaga kerja
dan lahan. "Masalahnya kita bangga dengan luas kebun kita, hasil produksi
tiap tahun kita, padahal sebenarnya itu bukan punya kita sendiri," ujarnya.
Tidak hanya lingkungan hidup, ekspansi perkebunan sawit juga meninggalkan
masalah lainnya, seperti konflik dengan masyarakat adat sekitar daerah
perkebunan sawit setempat.
Director of International Advocacy and Foreign Affairs Aliansi Masyarakat
Adat dan Nusantara (AMAN) Mina Susana Setra menilai ekspansi perkebunan
sawit yang dilakukan perusahaan produsen crude palm oil (CPO) tidak
menghormati kepemilikan tanah adat di daerah sekitarnya. "Tidak ada
pengakuan tanah yang dimiliki masyarakat adat," katanya.
Ditambah lagi, pemerintah tidak mengawasi tata ruang lingkungan sehingga
perusahaan CPO bisa seenaknya menggunakan lahan.
"Pemerintah tidak pernah menegur Taman Nasional Danau Sentarum dilepas jadi
perkebunan sawit. Perbatasan Kalbar (Kalimantan Barat-Malaysia) juga sudah
carut marut tata ruang dan pertahanan TNI-nya," cetus Mina.
Sementara itu, buruh perusahaan produsen CPO selama ini mendapat perlakuan
tidak adil. Mereka memperoleh skema upah rendah dan tidak memiliki kenaikan
gaji secara berkala.
Berdasarkan pengamatan Direktur Pengawasan dan Perlindungan Hak Buruh
Kelompok Pelita Sejahtera Medan, Gindo Nadapdap, buruh perusahaan produsen
CPO di Sumatra Utara hanya menerima upah Rp 8-15 ribu per hari. "Jumlah ini
jauh di bawah upah minimum provinsi yang seharusnya Rp 965 ribu per bulan,"
jelasnya. (*/OL-7)
http://www.mediaind onesia.com/ read/2010/ 04/06/134196/ 89/14/Ekspansi- 400-Hektare-per-Tahun- Kebun-Sawit- Ancam-Lingkungan -Hidup
Minggu, 11 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar