kamis, 07 Mei 2009
Oleh : Supriyanto
Sumber ; http://www.pontiana kpost.com/ index.php? mib=berita. detail&id= 18401
Sejak pertama kali dibuka di Landak tahun 1981, perkembangan perkebunan
kelapa sawit di Kalimantan Barat terus mengalami peningkatan. Bahkan dalam
beberapa tahun terakhir, tanaman generasi awal sudah diremajakan. Sayangnya,
perkembangan "pohon uang di tanah tropis" ini tidak pernah lepas dari
berbagai konflik dan kontroversi. Konflik kepemilikan lahan dan masalah
kerusakan lingkungan menjadi tantangan paling berat dalam pengembangan
komoditas ini dari dekade ke dekade.
Mengutip data pemerintah, kemampuan menanam kelapa sawit di Kalbar ternyata
rata-rata hanya 20.000 hektar pertahun. Sangat rendah dibanding izin yang
sudah diberikan pemerintah yang mencapai 1,5 juta ha. Apalagi jika
dibandingkan proyeksi (arahan lahan) pemerintah yang mencapai 4 juta ha.
Hingga tahun 2009, dengan luas kebun tidak lebih dari 500.000 ha, berarti
realisasinya kurang dari 35 persen. Membaca data ini, adakah yang salah
dalam sistem perkebunan kita? Bagaimana hubungannya dengan konflik dan
kontroversi yang terjadi? Menjawabnya memang tidak mudah. Tetapi mencermati
konflik dan kontroversi seperti terekam dalam pemberitaan media massa selama
ini, masalah sebetulnya terfokus pada dua hal.
Pertama, kerusakan lingkungan muncul sebagai akibat proses konversi
penggunaan lahan belum dilakukan dengan teknologi ramah lingkungan. Beberapa
diantaranya karena perencanaannya kurang matang dan menyalahi ketentuan
sehingga dampak lingkungan yang mestinya bisa dihindari menjadi tidak
tertangani. Fenomena banjir, kebakaran lahan atau gangguan lingkungan lain
yang berhubungan dengan proyek pengembangan kelapa sawit, sebetulnya
merupakan dampak yang bisa diduga. Tetapi karena adanya penyelewengan
terhadap ketentuan dan prosedur yang ada ditambah lemahnya penegakan hukum,
dampak terduga ini berubah menjadi seolah-olah bencana yang tak bisa
dihindari. Kedua, tidak terakomodasinya kepentingan dan hak masyarakat
sekitar lokasi pengembangan, terutama yang berhubungan dengan kepentingan
sosial-ekonomi. Beberapa kasus juga karena terabaikannya kebudayaan dan adat
setempat.
Komoditas Elit
Awalnya, pengembangan kelapa sawit Indonesia terinspirasi Malaysia yang
sukses menjadi penghasil produk berbasis kelapa sawit terbaik dan terbesar
di dunia. Melihat keunggulan seperti kesesuaian agroklimat, luas lahan
tersedia serta melimpahnya tenaga kerja, pemerintah Indonesia menetapkannya
sebagai komoditas unggulan dengan ekspektasi tinggi menjadi penggerak
ekonomi negara. Di lain pihak, Malaysia yang sudah kehabisan lahan dan
tenaga kerja kasar berusaha mempertahankan dominasinya dengan melakukan
ekspansi ke Indonesia. Caranya bekerjasama dengan perusahaan lokal. Bahkan
ada yang beroperasi sebagai penanam modal asing (PMA) murni. Gayung
bersambut. Investor kelapa sawit Malaysia yang terus mengejar keuntungan
dari bisnis minyak nabati ini disambut antusiasme pemerintah Indonesia.
Sayangnya, kenyataan tidak selalu sesuai harapan. Jutaan ha kebun kelapa
sawit berhasil dibangun, tetapi manfaatnya tidak semaksimal yang diharapkan.
Di Kalbar, kelapa sawit menjadi komoditas elit, menjadi "bisnis elit" antara
investor (dari luar Kalbar) dengan oknum-oknum elit daerah yang memiliki
akses luas terhadap penguasaan lahan. Rendahnya realisasi penggunaan lahan
dibanding izin yang sudah diberikan adalah indikasi yang cukup kuat bahwa
praktek "pengkaplingan" dan percaloan perizinan lahan oleh oknum-oknum
pejabat daerah adalah bukan isapan jempol belaka. Selain itu, sistem
tataniaga kelapa sawit yang menyerupai kartel internasional menyebabkannya
sulit diakses petani.
Revitalisasi Peran Pemerintah
Upaya yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan ini adalah dengan
semakin memperkuat peran pemerintah dalam mendorong agar komoditas ini bisa
menjadi komoditas rakyat. Ada dua langkah strategis yang dapat dilakukan.
Pertama, memperluas kesempatan kepemilikan kebun oleh masyarakat lokal
melalui berbagai kelembagaan petani. Pembukaan kebun diupayakan mandiri oleh
petani melalui lembaga berbadan hukum seperti koperasi yang dikelola petani
dengan bantuan pembiayaan dari lembaga keuangan (di bawah jaminan
pemerintah). Kedua, membantu kemandirian petani dalam proses pengolahan dan
pemasaran. Untuk kasus ini, pemerintah dapat meniru Provinsi Gorontalo
dibawah Fadel Muhammad yang sukses membangun Gorontalo menjadi produsen
jagung nasional. Pemerintah berupaya keras mencarikan jalur pemasaran baru
untuk kelapa sawit petani, baik melalui kerjasama dengan BUMN yang sudah ada
ataupun dengan membentuk lembaga pemasaran baru berisi para profesional guna
mencari posisi tawar baru dalam sistem tataniaga yang berlaku.
Dua langkah strategis ini idealnya dilakukan secara bersama-sama. Meski
demikian, langkah kedua tampaknya sangat mendesak dilakukan lebih dahulu
guna membantu petani yang kini posisinya sangat tidak menguntungkan. Kedua
langkah tersebut memang merupakan pekerjaan besar. Tetapi jika dapat
dilaksanakan akan menggerakkan perekonomian daerah lebih cepat karena
lapisan terbawah masyarakat memperoleh kesempatan lebih luas untuk maju. **
* Penulis, Dosen Fakultas Pertanian Untan, Praktisi Perkebunan.
Rabu, 06 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar