Sabtu, 22 Desember 2012

Harga Sawit Buat Petani Menjerit

EKONOMI - BISNIS
Jum'at, 12 Oktober 2012 , 11:25:00

JAMBI – Sampai saat ini, petani non plasma masih menjerit panjang. Pasalnya, harga sawit non plasma masih cukup rendah. Harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkatan petani masih Rp 600 per Kg. Inilah yang membuat pendapatan petani terjun bebas.

“Apalagi saat ini mengalami trek, yang membuat hasil panen mengalami penurunan , tidak seperti biasanya, ‘‘ keluh salah seorang petani di Bungo, Maryono.

Petani sawit di kabupaten Batanghari juga demikian. Mereka menyampaikan, saat ini sulit panen. Pasalnya, antara biaya panen dan hasil panen tidak sesuai.
‘’Harganya turun sekali, kita nggak kuat mau memanenkan sawit,’’ ucap petani itu, Redo.

Penurunan harga sawit ini memang sudah cukup lama berlangsung. Meski kondisi krisis ekonomi di Eropa sudah membaik, harga sawit juga masih turun.  Ketua DPW Apkasindo Jambi, Muhammad mengatakan, harga sawit memang menurun drastis.

 “Minggu ini, harga sawit non plasma hanya Rp 700 hingga 600 rupiah. Kalau harga plasma masih  Rp 1.200,” tandasnya.

Dengan penurunan itu, Dia menyarankan agar Petani Non plasma atau petani sawit yang bukan dibawah naungan perusahaan, agar bisa bergabung dan bekerjasama dengan Perusahaan Kelapa Sawit (PKS).

“Kalau mereka bekerjasama, setidaknya harga tidak jatuh,” ujarnya.

Dia memperkirakan, harga sawit semakin menurun. “Kalau harga pecah dari 1000,  kita kasihan dengan petani,” kata dia.  Untuk itu, diakuinya, belum lama ini, Apkasindo sudah menghadap gubernur Jambi untuk membahas penurunan harga sawit.“Kita tidak bisa menyalahkan semua pihak dalam maslah ini,” tandasnya.

Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Jambi, Tagor Mulya juga mengatakan bahwa, penggunaan dari produksi sawit memang menurun.  Dengan menurunnya penggunaan minyak Kelapa sawit itu, tentunya, perusahaan-perusahaan pengelolaan sawit juga menurunkan produksinya.  “Kita contohkan di China dan Thailand. Mereka telah menurunkan produksinya,” ujarnya.

Meskipun demikian, suplai sawit makin naik. Sehingga, menumpuk di perusahaan. Khusus untuk Jambi, ada beberapa factor yang menambah turunya harga Sawit itu. Sehingga, minyak-minyak sawit Jambi tertahan. Perusahaan hanya membeli secukupnya.

Lantas, apa langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah - menurut tagor, kasus ini adalah pelajaran bagi Provinsi Jambi.  “Kita akan memperbanyak tangki timbun, apakah di pelabuhan ataukah di pabrik-pabrik. Saat ini, pabrik juga kebingungan,” ujarnya.

Kedepan, pemerintah akan berkoordinasi dengan pabrik-pabrik agar mereka memperbanyak tangki-tangki timbun. Dalam satu tahun, produksi sawit di Jambi mencapai 1,400 juta ton.

Pengamat Ekonomi Jambi, Pantun Bukit mengatakan,  dalam masalah yang seperti ini, pemerintah harus ada solusi yang digagas. Misalnya, yakni melakukan intervensi harga sembako sehingga daya beli masyarakat tidak menurun. Selain itu, pemerintah harus lebih tepat memberikan subsidi. “Jangan hanya mengalokasikan anggaran mobil yang banyak, sementara subsidi ke petani kurang,” paparnya.

Ia mencontohkan, subsidi itu bisa berupa pemberian pupuk, bibit atau kebutuhan petani lainnya.  Kemudian, lanjutnya, pemerintah bisa mengalokasikan kredit untuk petani.  “Sehingga petani tetap melakukan usaha pertaniannya. Tolong jangan lupakan petani,” ujarnya.

Dari Tanjabtim dilaporkan, Aris, salah seorang petani sawit di Kecamatan Geragai Kabupaten Tanjab Timur mengatakan, harga saat ini masih jauh dari harapannya. Karena belum lagi biaya untuk perawatan pupuk. "Dibilang rugi ya masih rugi," keluhnya.

Terpisah, Kadis Kehutanan dan Perkebunan Tanjab Timur, Zaenal Arifin mengungkapkan penurunan harga sawit terjadi karena kapal pengangkut TBS sawit di Provinsi Jambi tidak bisa merapat akibat pendangkalan sungai. "Mudah-mudah dengan musim hujan ini kapal tersebut bisa kembali merapat untung mengangkut TBS," ungkapnya.

Sementara itu, salah seorang petani di Tebo Tumiran mengatakan saat ini yang menjadi keluhan mereka adalah jalan yang rusak. Hanya saja saat ini yang menjadi keluhan adalah akses jalan untuk menuju keperkebunan, karena saat ini curah hujan mulai meningkat.  ( cr8/fth/yos/fad/)
sumber: http://www.jpnn.com/read/2012/10/12/143048/Harga-Sawit-Buat-Petani-Menjerit-

Jumat, 07 Desember 2012

Palming off, Indonesia's forests and REDD



CLIMATE-CHANGE talks in Doha this week opened in a mood of pessimism about the chances governments will agree to and implement policies that might limit the rise in global temperature to less than 2ÂșC. But on December 5th a cheering announcement punctured the gloom: that Indonesia’s government had formally approved the country’s first project under the “REDD” scheme (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation).

Indonesia is one of world’s big emitters of carbon, largely because of logging. REDD, to which Norway has committed $1 billion in Indonesia, in essence pays developing countries not to chop down trees. In this project, known as Rimba Raya (“infinite forest”), an area of forest in Indonesian Borneo the size of Singapore will be preserved. Against the odds, it will not be turned into one of the vast palm-oil plantations that are eating up so much of Borneo and other Indonesian islands.

Investors in the project, which include Gazprom, the huge Russian gas producer, and Allianz, a German financial-services giant, will receive or be able to buy about 104m credits over the 30-year life of the project, each representing a tonne of averted carbon emissions. At current market rates, these would be worth as much as $500m. Money will be ploughed back into projects in the area—clean water, health services, microcredit, eco-tourism, etc.

All this is good news for orang-utans, an endangered species. Several hundred have fled the encroaching oil palms to take refuge in a national park, Tanjung Puting, adjacent to the project. There, a care centre run by Biruté Galdikas, a famous primatologist working in the area since 1971, rehabilitates orang-utan refugees. They should now be able to return to the wild.

Rimba Raya seemed on the verge of going ahead in 2010. Then it stalled and, at one point, the government said its area would have to be cut in half, which would have made it unviable. It faced problems that will dog the dozens of other REDD projects being considered in Indonesia.
Most important, for any plot of land to qualify for REDD, there has to be a real threat to the trees. In this case a big palm-oil company had overlapping concessions, which it has only just agreed to relinquish. Reuters news agency, which last year produced an excellent in-depth report on the project, has given one explanation of the combination of forces that persuaded the palm-oil company to change its approach.


Another fundamental difficulty is that forestry management in Indonesia has long been riddled with corruption, having become part of the machinery of crony capitalism under the long Suharto dictatorship. Moreover, even well-intentioned Indonesian officials doubt whether REDD can match the sort of money that timber and palm-oil barons have to offer.

That Rimba Raya has persisted and won through these obstacles is a tribute to the tenacity of its promoters, a small Hong Kong firm called infiniteEARTH. But their project seemed to have so much in its favour: thorough independent certification; influential investors; its location in Central Kalimantan, nominated as Indonesia’s “pilot” province for REDD; even, in those severely endangered orang-utans, the winning charm of some charismatic megafauna.

So the good news comes with two worrying questions:  if a project with so much in its favour faces so much difficulty, what hope is there for the others? And will the governments meeting in Doha do enough to sustain an adequate carbon-credit market?

(Picture credits: Irene Slegt)
source:http://www.economist.com/blogs/banyan/2012/12/indonesias-forests-and-redd?fsrc=scn/tw/te/bl/palmingoff