Kamis, 31 Mei 2012

Kutalimbaru Kembali Memanas, Posko Mitra PTPN 2 Dibakar


BINJAI-Setelah bentrok pada Selasa (22/5) lalu, suasana di Kutalimbaru kembali memanas. Sebuah rumah atau posko yang biasa menjadi tempat pembayaran gaji karyawan dan tempat penyimpanan pupuk mitra PTPN 2 dibakar orang tak dikenal.

Adalah rumah yang dihuni Ibrahim Perangin-angin (65) warga Dusun III Namurube Jahe, Desa Namurube Julu, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang, dibakar pada Jumat (25/5) dini hari, tepatnya sekira pukul 01.30 WIB.

Menurut Sekdes Namurube Julu, Rusidi Waruwu (41) saat ditemui di lokasi mengatakan, peristiwa itu terjadi saat sedang mati lampu. Penghuni rumah, Riadi (anak Ibrahim), mendengar jejak kaki dari belakang rumah. Namun dia tak menggubris langkah kaki tersebut karena sudah larut malam dan kondisi sangat gelap.

Tak lama setelah terdengar suara jejak kaki tersebut, suara gemuruh dinding yang terbakar mulai terdengar. Dia pun mencoba melihat suara gemuruh tersebut. Ternyata, dinding tepas di belakang rumah sudah terbakar. Riadi pun berlari menuju perkampungan untuk meminta pertolongan.
Lebih jauh diceritakan Rusidi, saat dirinya dan sejumlah masyarakat datang ke lokasi, api sudah membesar dan hampir menghanguskan seluruh bangunan rumah. Untungnya, kata dia, rumah tersebut berada jauh di pemukiman warga, sehingga api tidak menyulut ke rumah-rumah lainnya.
Dikatakan dia, rumah tersebut selama ini dijadikan posko CV Firma Sejati, selaku perusahaan yang bekerjasama dengan pihak PTPN2. “Rumah ini milik Ibrahim Peranginangin yang disewakan ke CV Firma Sejati milik Ramalan Sinuraya,” ungkapnya.

Selama ini, lanjutnya, rumah tersebut dijadikan posko tempat pembayaran gaji karyawan, tempat penyimpanan pupuk dan lain sebagainya. Karena, kata dia, Firma Sejati telah mengontrak lahan PTPN2  seluas 80 hektar. “Rumah ini disewa oleh Ramalan Sinuraya, selaku KSO yang mempunyai lahan tebu seluas 80 Ha diatas areal eks HGU PTPN2. Selama ini yang jaga malam anak Ibrahim Peranginangin, Riadi (25),” cetus Rusidi Waruwu.

Kepala Desa Namurube Julu, Setta Effendi Ginting, ketika dikonfirmasi membenarkan kejadian tersebut. Dirinya mendapat kabar dari warga sekitar pukul 03.00 WIB. Selanjutnya, dia melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib. “Lokasi ini masih masuk ke wilayah saya,” kata Setta.
Dia menduga, terbakarnya posko CV Firma Sejati itu terkait konflik lahan di areal eks PTPN 2 Kutalimbaru yang terjadi beberapa waktu lalu. “Karena lokasinya masih dalam areal yang sama,” ucapnya.

Mengenai pelaku pembakaran, Setta belum bisa memastikan siapa pelaku di balik pembakaran rumah tersebut. “Sampai saat ini kami belum menerima laporan adanya keterlibatan warga disini terkait pembakaran itu. Karena, penghuni rumah (Riadi), tidak melihat satu orang pun pelaku,” urainya.
Sementara itu, Kanit Reskrim Polsek Kutalimbaru Ipda Manis Sembiring, saat ditemui di lokasi kebakaran mengatakan, kejadian tersebut tidak dapat dipastikan siapa pelakunya. “Kita tidak dapat memastikan apa motif terjadinya pembakaran ini. Karena, menurut penjaga malam Riadi, pada malam itu, ia hanya ada mendengar suara dari belakang rumah, waktu dia terbangun dilihatnya api sudah membesar dan langsung pergi meninggalkan rumah itu,” tegasnya.

Terkait pembakaran rumah itu, puluhan personel dari Mapoldasu, Polresta Medan dan Polresta Binjai, terjun ke lokasi pembakaran untuk mengetahui pasti peristiwa tersebut. Setelah melakukan olah TKP, petugas kepolisian langsung memasang garis polisi di sekeliling rumah.

Memanasnya kembali Kutalimbaru, membuat Wakapoldasu Brigjen Cornelis Hutagaol berencana mengunjungi lokasi. Rencana kunjungan Wakapoldasu tersebut, sontak membuat seluruh petinggi Polresta Binjai turun ke lokasi menunggu kehadiaran orang nomor dua di Poldasu tersebut. Namun, hingga pukul 17.30 WIB, jenderal bintang satu ini tak kunjung datang sehingga petugas Polresta Binjai secara berangsur-angsur meninggalkan lokasi.

Disebut Soal Mafia Tanah, Anggota Dewan Tertawa

Soal sengketa tanah yang melibatkan PTPN 2, banyak pihak yang menduga terjadi karena keterlibatan pengusaha ‘nakal’. Beberapa kalangan malah menyebut beberapa nama. Satu di antaranya, seorang pengusaha yang dikenal sebagai ‘raja property’ di Sumut bernama Benny Basri. Terkait dengan itu, Sumut Pos berusaha mengkonfirmasi pada Benny Basri soal tudingan itu. Benny Basri pun langsung membantah bila dirinya berada di belakang peristiwa Binjai dan Durin Tunggal.
“Di Binjai, tidak ada saya itu. Informasi dari mana? Jangan katanya-katanya,” jawabnya.

Bagaimana pula dengan soal tanah PTPN 2 di Brayan dan Marelan, yang kabarnya juga melibatkan dirinya? Kembali lagi, Benny Basri membantah hal itu dengan mengatakan, dia tidak pernah mengambil alih tanah-tanah milik PTPN 2.

“Saya tidak pernah bermain dengan PTPN 2. Tidak ada itu,” akunya lagi.
Nah bagaimana dengan tanah-tanah di pinggiran Sungai Deli, Tanah PJKA, Polonia dan sebagainya di Kota Medan? Kembali lagi, bantahan yang dilontarkan oleh Benny Basri terkait semua yang ditanyakan kepadanya itu. “Tidak ada itu!” katanya.

Sedangkan Anggota Komisi A DPRD Sumut, Syamsul Hilal, saat disinggung Sumut Pos terkait sejumlah nama yang disebut-sebut sebagai mafia tanah, politisi senior PDI P Sumut hanya tertawa. “Anda  sudah tahu itu siapa-siapa orangnya,” katanya.

Kemudian Sumut Pos menyinggung, jika Benny Basri membantah semua isu yang menyebutkannya sebagai mafia tanah, kembali Syamsul Hilal tertawa dan menjawab dengan sebuah pepatah. “Tidak ada maling yang mau mengaku maling,” tukasnya.

Bagaimana dengan bentrok di Kutalimbaru dari sudut pandangnya? Terkait hal itu, Syamsul Hilal secara tegas menyatakan, tim khusus yang bertugas untuk menyelesaikan persoalan tanah sama sekali tidak bekerja. Kendati sudah dibiayai baik oleh PTPN II maupun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut 2012 sebesar Rp600 juta.

“Kuat indikasinya ada konspirasi antara tim itu, PTPN dan BPN. PTPN disinyalir kuat memperlambat proses pematokan-pematokan itu. Jadi kuat dugaan adanya unsur memperlambat proses penyelesaian masalah ini. Jawaban atau solusinya, pemerintah harus serius menjalankan Undang-undang (UU) Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, dengan mengembalikan tanah-tanah perkebunan itu kepada rakyat. Berdasarkan UU itu, negara bukan untuk memiliki tapi hanya sekedar menguasai. Jika UU pertanahan zaman kolonial tahun 1987, negara bisa memiliki tanah tapi tidak menguasai,” terangnya. (ndi/ari)
http://www.hariansumutpos.com/2012/05/34567/kutalimbaru-kembali-memanas-posko-mitra-ptpn-2-dibakar.htm

BUMN Ogah Lepas Lahan Eks HGU PTPN 2

JAKARTA-Mulai terkuak alasan mengapa Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) belum mau melepaskan sejumlah lahan eks HGU PTPN 2, yang kerap memicu konflik. Kementerian yang kini dipimpin Dahlan Iskan itu menilai, Tim Khusus Pemprovsu bentukan Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho tidak becus.

Kementerian BUMN menilai, pemetaan lahan yang dilakukan oleh tim tersebut yang melibatkan instansi lain seperti BPN Sumut, dianggap belum menyelesaikan masalah. Deputi Bidang Usaha Industri Primer Kementerian BUMN, Muhammad Zamkani, secara khusus kepada Sumut Pos menjelaskan, pemetaan oleh Tim Khusus bentukan Gatot itu memasukkan sejumlah lahan yang nyata-nyata masih diduduki warga tapi diusulkan untuk diperpanjang HGU-nya untuk PTPN.
“Sementara, ada lahan yang masih ada pohon-pohonnya, yang masih ada tanaman produktifnya (milik PTPN2, Red), malah tak diusulkan untuk diperpanjang,” ujar Muhammad Zamkani, Senin (28/5).

Berapa luas lahan yang masih ada tanaman milik PTPN 2 tapi tak diusulkan diperpanjang HGU-nya itu? Zamkani mengaku lupa. Yang pasti, katanya, berapa pun luasnya, jajaran direksi PTPN 2 punya tanggung jawab untuk mengelola dan menyelamatkan aset itu.

Masalah makna pelepasan aset lahan itu sendiri, menurut Zamkani, juga belum ada persamaan persepsi. Menurut versi Kementerian BUMN, jika HGU habis, tidak serta merta lahan itu menjadi milik masyarakat atau milik negara cq Pemda. Jika PTPN 2 sebagai pihak lama yang mengelolanya masih mau, maka HGU diperpanjang lagi untuk PTPN 2.

Namun Zamkani tidak memungkiri, jika sudah ada putusan pengadilan yang bersifat incrach yang memerintahkan lahan itu dilepaskan, maka Kementerian BUMN juga akan melepaskannya. “Tapi kewenangan izin pelepasan harus lewat RUPS. Kalau memang ada putusan pengadilan, apa boleh buat,” ujarnya.

115 Kasus Konflik Lahan PTPN 2

Dikatakan, masalah lahan ini semakin rumit, lantaran ada sebagian yang sudah dikuasai pihak ketiga. “Bahkan saya dengar ada yang sudah diperjualbelikan. Memang rumit kasus di sana (Sumut). Ada yang mengklaim itu tanah nenek-moyangnya, tanah adat, macem-macem lah,” imbuhnya.
Dia menyebutkan, khusus di PTPN 2 saja, ada sekitar 115 kasus konflik lahan. “Hampir setiap minggu muncul konflik di sana. Memang harus kita hadapi. Kadang-kadang kita perlu sabar, mengajak diskusi, menyamakan persepsi. “Cuma ada yang memanfaatkan beda persepsi ini,” ujarnya, yang tak membantah banyak mafia tanah yang ikut bermain mencoba ambil keuntungan.
Kementerian BUMN terus mencari solusi, termasuk membuat list status lahan yang sudah diputus pengadilan dan yang masih berproses. “Jajaran direksi juga sudah menyiapkan solusinya, konsepnya. Tapi memang kita sangat hati-hati, karena ini juga menyangkut tanggung jawab kita menjaga aset,” imbuhnya.

Terpisah, Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Managam Manurung menyebutkan, masalah lahan di PTPN 2 itu sudah tak lagi menjadi ranah BPN untuk proses penyelesaiannya. BPN sudah memutuskan tidak lagi memperpanjang HGU untuk PTPN 2 di lahan-lahan yang bermasalah.  “Berapa hektar itu, saya lupa,” tegas Managam, kemarin.

Selanjutnya, BPN menyarankan Pemprov Sumut dan Pemkab/Pemko terkait untuk menggunakan lahan eks HGU itu. “BPN minta supaya Pemda atur peruntukan sesuai tata ruang dan mengusulkan pelepasan aset. Selama belum dilepaskan, ya nggak bisa diapa-apain itu,” ujar Managam.
Muhammad Zamkani membenarkan bahwa pihaknya sudah menerima surat permintaan pelepasan aset. Tapi Kementerian BUMN belum mau melepaskan aset, dengan alasan seperti yang sudah dijelaskan di atas.  BUMN belum puas dengan hasil pemetaan Tim Khusus. “PTPN 2 sendiri tidak masuk dalam tim itu,” ucapnya.

Sebelumnya, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumut, Rahmat Shah, mengingatkan aparat keamanan, Kementerian BUMN, BPN, PTPN 2, dan gubernur, untuk segera mengambil solusi yang komprehensif. Selama ini, menurutnya, penyelesaian-penyelesaian hanya bersifat sporadis, setiap kali muncul bentrok. Solusi yang permanen belum pernah muncul.

Rahmat juga menagih hasil kerja Tim Khusus bentukan Gatot yang bertugas pengukuran dan pemetaan areal lahan eks HGU PTPN 2. Tim Khusus ini dibentuk dengan SK Gubsu tertanggal 23 September 2011.  Namun tim khusus ini tidak dapat menyelesaikan tugasnya sehingga diperpanjang hingga bulan Mei 2012. “Ini sudah akhir Mei, tapi belum juga selesai,” ujar Rahmat.

Harus Tegas Laksanakan Kesepakatan

Maraknya aksi demo masyarakat petani terhadap tanah eks HGU PTPN 2 harus menjadi perhatian kalangan eksekutif. Jika tidak, maka dapat menjadi bumerang dan gangguan terhadap kondusifitas Sumut. “Plt Gubsu, BPN dan PTPN 2 harus tegas dan melaksanakan kesepakatan bersama Komite Tani Menggugat yang menghasilkan bahwa areal eks HGU PTPN 2 seluas 5.873,06 hektar sesuai SK Kepala BPN No 42, 43 dan 44/HGU/BPN/2002 dan Nomor 10/HGU/BPN/2004 tidak akan dilakukan penerbitan sertifikat,” ungkap  anggota Komisi A DPRD Sumut dari Fraksi PKS, Raudin Purba, kemarin.

Raudin Purba menyebutkan, salah satu kasus yang diikuti sampai saat ini adalah masalah tanah eks HGU PTPN 2 seluas 74 hektar di Pasar IV Desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deliserdang. Di lahan itu telah berdiri perumahan. “Kepada Bupati Deliserdang segera meninjau kembali IMB yang telah dikeluarkan dan menghentikan pembangunan fisik yang saat ini berlangsung di tanah 74 hektar tersebut (di samping Graha Metropolitan Helvetia). Karena, bertentangan dengan peraturan dan perundangan. Seyogianya untuk mendapatkan izin membangun harus mempunyai alas hak berupa sertifikat ataupun surat tanah lainnya yang tidak sedang silang sengketa,” tegasnya.
Sementara itu   anggota Komisi A DPRD Sumut dari Fraksi Demokrat, Ahmad Ikhyar Hasibuan mengatakan, timbulnya gejolak pertanahan di Sumut khususnya eks HGU PTPN 2 karena tidak adanya ketegasan. Selain itu, adanya pembiaran oleh  BPN Sumut dan PTPN 2. “Tidak adanya ketegasan membuat kelompok mafia tanah mempergunakan atau memanfaatkan masyarakat dengan bertamengkan hukum mempergunakan surat-surat yang diduga palsu untuk merampas tanah negara,” sebutnya.

Di sisi lain, di Jakarta anggota DPR Sukur Nababan mengatakan Pemda tidak bisa berpangku tangan soal sengketa tanah. Namun sudah saatnya mengefektifkan kembali perkebunan-perkebunan rakyat. Ini penting, agar masyarakat dapat menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. “Jadi harus benar-benar dibenahi. Sehingga dampaknya akan jauh lebih terasa daripada mereka hanya dijadikan pekerja,” katanya.  (sam/ila/gir)
http://www.hariansumutpos.com/2012/05/34736/bumn-ogah-lepas-lahan-eks-hgu-ptpn-2.htm

BPN Deliserdang dan Langkat Bantah Terbitkan Sertifikat

Minggu, 27 Mei 2012
LUBUK PAKAM- Badan Pertanahan Nasional (BPN) Deliserdang dan Langkat menolak keras sinyalemen yang menyebutkan institusi yang mengurusi pertanahan itu menjadi pemicu berkembangnya sengketa dan konflik di atas lahan eks HGU PTPN2 di Deliserdang dan Binjai. Kedua kantor BPN itu tak mau dipersalahkan atas eskalasi konflik antar PTPN2 dan warga yang meluas belakangan ini.

Menurut Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendataan Tanah BPN Deliserdang, Muklis, dan Kepala Sub Bidang Pendaftaran Tanah, Supli, hingga saat ini dari sekitar 5.873 lahan eks HGU milik PTPN2 yang hendak dilepaskan itu tak pernah melibatkan pihaknya. BPN Deliserdang sebatas tempat pendaftaran sertifikat yang diterbitkan BPN pusat dan Kanwil BPN Sumut.

Muklis mengungkapkan, Kanwil BPN Sumut yang dilibatkan sebagai Kelompok Kerja (Pokja) yang diketuai Gubsum adalah pihak yang melaksanakan pemetaan, pengukuran, dan pematokan atas lahan-lahan eks HGU. Pasalnya salah satu tugas pokok Pokja itu  adalah memetakan dan membuat patok di lahan eks HGU PTPN2. ”Ini lanjutan dari kerja tim B plus yang pernah dibentuk tapi sudah dibubarkan. Hampir 12 tahun hasil kerja tim B plus itu tapi sekarang ditindaklanjuti,” ujarnya.

Lahan eks HGU PTPN2 yang masuk dalam 5.873 hektare itu sampai saat ini sertifikat tanahnya belum pernah diterbitkan. Data rincinya juga tak pernah dimiliki  BPN Deliserdang. “Data ada di Kanwil BPN Sumut, silakan tanya ke sana, kami tak diajak dalam Pokjaitu,” kata Muklis.
Terkait instruksi agar BPN Deliserdang membuat kajian wilayah di atas lahan eks HGU PTPN2 pada tahun 2006 silam disangkal Muklis karena itu bukan kewenangan BPN  tingkat kabupaten/kota.
Muklis mengakui lahan eks HGU PTPN2 yang bersertifikat pernah diterbitkan bersamaan dikeluarkannya sertifikat lahan kantor Gubsu. Tetapi pelepasan lahan eks HGU disesuaikan kebutuhan tata ruang yang dibuat pemerintah, serta permintaan kelompok petani pengarap. ”Kewenangan BPN Deliserdang sebatas menerbitkan sertifikat seluas 2 hektare untuk lahan pertanian, dan 2.000 meter untuk lahan perumahan,” katanya.

BPN Langkat juga mengakui tak punya kewenangan menerbitkan sertifikat lahan hingga ribuan hektar. Menurut seorang staf di BPN Langkat, konflik penguasaan lahan antara PTPN maupun pihak swasta dan petani memang seringkali terjadi. Namun staf itu tak bersedia berkomentar lebih jauh karena merasa bukan kapasitasnya memberikan pernyataan soal itu.

“Untuk lebih jelasnya silakan bertemu langsung pimpinan BPN atau staf yang membidangi (seksi) sengketa,” tukas staf tersebut. Sayangnya, Ketua BPN Langkat, Nurhayati, dan Kepala Seksi Bidang Sengketa yang hendak dikonfirmasi Sumut Pos, tidak berada di tempat. Konfirmasi lewat telepon juga tidak membuahkan hasil.

Humas PTPN2 Rachmuddin yang ditanyai justru tak bisa memaparkan jumlah lahan milik PTPN2 yang dikuasai pihak ketiga. Kerugian PTPN2 atas sengketa itu juga belum diketahui jumlahnya. “Kami belum hitung berapa nilai kerugian, luas lahannya juga belum kami tahu pasti,” katanya.
Terkait aksi penyerangan di Gohor Lama Langkat, Jumat (25/5). Rachmuddin menyatakan, ada sekelompok warga yang mengatas namakan petani penggarap hendak memasuki lahan perkebunan sawit PTPN2 seluas 400 hektare. Lahan itu ditumbuhi tanaman sawit.
Sementara itu, pihak Poldasu mulai menyelidiki kasus-kasus tanah yang terjadi di Sumut. Tim penyelidikan masalah-masalah sengketa lahan yang diduga melibatkan oknum pemerintaham dan pengusaha juga segera dibentuk. ”Kasus sengketa lahan ini menjadi prioritas kami,” ujar Kapoldasu Irjen Wisjnu Amat Sastro.

Dia menegaskan pihaknya siap menurunkan personel untuk mengantisipasi terjadinya konflik berulang di lahan-lahan yang disengketakan tersebut. ”Kami sadar masalah lahan ini krusial dan sensitif,” ujar Wijsnu kepada wartawan, Sabtu (26/5).

Terkait penanganan pasca bentrokan antara petani dan karyawan PTPN II di Kecamatan Kutalimbaru, Rabu (23/5) lalu, pihak Poldasu sudah memeriksa 20 saksi dari warga,  kelompok tani setempat, serta karyawan PTPN2. Wisjnu menekankan pihaknya tidak akan berhenti pada kasus tanah di Dusun Salang Desa Namo Rube Julu, namun juga akan mengusut sejumlah kasus lahan rentan konflik lainnya di Sumut. (btr/mag-4/rud)
http://www.hariansumutpos.com/2012/05/34617/bpn-deliserdang-dan-langkat-bantah-terbitkan-sertifikat.htm

PTPN 2 Ngotot Pertahankan Lahan


MEDAN-PTPN 2 akan terus mempertahankan lahan di Kapveld E Rayon B Kebun Sei Semayang Desa Sei Mencirim Kecamatan Kutalimbaru, yang kini dikuasai oleh penggarap. Soalnya kawasan yang masuk dalam lahan seluas 413,48 hektar itu, masih berada di lahan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN 2 dengan nomor sertifikat 92.

“Meskipun terjadi bentrok antara karyawan PTPN 2 dengan penggarap, bukan berarti kita patah semangat. Kami akan terus mempertahankan hak kami,” kata Djon Ismed, Kabag Hukum dan Pertanahan PTPN 2 kepada Sumut Pos, Kamis (24/5) sore.

Dia menjelaskan, sertifikat HGU yang dikeluarkan oleh BPN itu berlaku hingga 2028.
Hal ini seiring dengan perpanjangan HGU yang dilakukan PTPN 2 sesuai dengan batas HGU yang telah ditentukan. “Secara umum lahan kita ini sudah punya SK sejak 1965 dan keluar sertifikat HGU pada 1985. Sertifikat HGU terakhir keluar dari 2003 hingga 2028. Jadi kami pun dari PTPN 2 memiliki hak legal atas penguasaan tahan ini,” ucap Djon Ismed.

Dia menceritakan, upaya untuk perebutan lahan yang dikuasai oleh penggarap ini sudah lama dibicarakan. Bahkan perusahaan plat merah itu juga sudah mengundang pihak kepolisian terkait pengamanan ketika terjadi bentrok antara karyawan dan penggarap. Upaya ini dilakukan selain dari desakan karyawan, juga dilakukan atas desakan serikat pekerja. Hal ini selain untuk mempertahankan aset PTPN 2, juga untuk meningkatkan produksi tebu yang ditanam di areal tersebut.

“Selama ini areal yang digarap warga itu kita tanami tebu. Tapi belakangan karena arealnya dikuasi penggarap maka produksi tebu menjadi berkurang hingga akhirnya berdampak pada jam operasi pabrik yang tidak menentu akibat pasokan tebu yang minim,” beber Djon Ismed.

Lantas apa yang dilakukan saat ini? Ditanya begitu Djon Ismed menjawab pascabentrok dengan penggarap itu pihaknya sudah melaporkan kejadian tersebut kepada pihak Poldasu. Serta membuat laporan tertulis kepada Kementerian BUMN di Jakarta, Komnas HAM, dan pihak-pihak terkait. “Intinya, kita akan tetap mempartahankan hak kami,” tegasnya.

Di sisi lain, reaksi keras disampaikan beberapa tokoh Sumut terkait bentrokan karyawan PTPN 2 dengan warga di Kecamatan Kutalimbaru. Bahkan, ada yang memprediksi bentrok lain akan terjadi di tanah Sumut dan melebihi kasus di Mesuji, Lampung. Pasalnya, penyelesaian persoalan tanah di Sumut hanya janji-janji.

“Setiap pekan hampir selalu ada bentrok, tapi yang ini (bentrok di Kutalimbaru, Red), memang keras. Dan, bisa muncul yang lebih keras lagi,” ujar Anggota DPD RI, Rahmat Shah kepada Sumut Pos, Kamis (24/5).

Sebagai anggota DPD RI dan Komite I yang membidangi  Pertanahan, Rahmat Shah menyesalkan kejadian tersebut. “Kami sudah berkali-kali melakukan pertemuan dengan berbagai pihak. Baik dengan Pemprovsu, Kanwil BPN serta Kakan. Lalu, BPN se-Sumut, dengan Ka BPN Pusat, Menteri Negara BUMN, Menteri Keuangan, instansi terkait, beserta kepala daerah yang berhubungan dengan lahan eks HGU di Kantor DPD RI. Dan, terakhir dengan sembilan puluh lima aliansi berbagai elemen yang datang ke Senayan, namun semuanya hanya menyampaikan janji-janji dan mengulur-ulur waktu,” tambahnya.

Dia mengingatkan aparat keamanan, BPN, PTPN II, dan gubernur, untuk segera mengambil solusi yang komprehensif. Selama ini, menurutnya, penyelesaian-penyelesaian hanya bersifat sporadis, setiap kali muncul bentrok. Solusi yang permanen belum pernah muncul.Jika begini terus, kata Rahmat, maka potensi bentrok yang lebih besar lagi dibanding bentrok di Kutalimbaru, bisa muncul. Bahkan, bisa lebih besar dibanding kasus Mesuji, Lampung, beberapa waktu lalu. “Bisa lebih ngeri dibanding Mesuji,” cetus Rahmat, dengan nada tinggi.

Menurut dia, para petinggi, baik di Sumut maupun di Jakarta, tampak menyepelekan masalah kasus tanah ini. “Kepala BPN, kepala daerah, menteri, semua sombong di hadapan rakyat. Mentang-mentang tidak ada aparat yang membekingi rakyat. Masyarakat sungguh tak mendapatkan keadilan,” ujarnya lagi.

Dikatakan, sebenarnya sikap Presiden SBY sudah tegas, yakni putusan pengadilan yang sudah incrach, yang menyatakan lahan milik rakyat, harus segera dieksekusi, lahan dikembalikan ke rakyat. “Tapi BPN tidak menindaklanjutinya, tidak menerbitkan sertifikat hak milik untuk rakyat,” kata Rahmat.

Sejatinya, Plt Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho telah membentuk tim khusus penanganan areal lahan eks HGU PTPN II, yang dipayungi SK Gubsu tertanggal 23 September 2011. Tugas tim ini, kata Rahmat, melakukan pengukuran dan pemetaan lahan.

Namun tim khusus ini tidak dapat menyelesaikan tugasnya sehingga diperpanjang hingga Mei 2012. “Ini sudah akhir Mei, tapi belum juga selesai,” ujar Rahmat.

Sayangnya, saat dikonfirmasi soal tim ini kepada Gatot secara langsung, dia tidak merespon. Pun saat Sumut Pos menghubunginya melalui Blackberry Messenger (BBM), Gatot enggan menjawab pertanyaan. Namun ketika Sumut Pos menyebutkan, adanya indikasi dugaan korupsi salah seorang Kepala Dinas (Kadis) di lingkungan Pemprovsu, Gatot bersedia membalasnya.

Sebelumnya, Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, BPN sebenarnya sudah menindaklanjuti putusan-putusan pengadilan yang sudah incrach. Yakni, BPN menerbitkan surat perintah agar ditunda dulu perpanjangan HGU untuk PTPN II. “Sehingga banyak tanah PTPN II tak dapat diperpanjang HGU-nya karena ada tanah rakyat di situ,” imbuhnya.

Hanya saja, langkah BPN hanya sebatas itu, tidak langsung menyerahkan tanah dimaksud kepada warga. Ini yang menurut Iwan mengundang nafsu para mafia tanah untuk menguasai lahan yang status kepemilikannya terus digantung itu.

Sementara, pihak BPN di Jakarta sulit untuk dimintai konfirmasi. Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Yuswanda A. Tumenggung, saat dihubungi pun, tak sudi mengangkat telepon.

Di sisi lain, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Jafar Nainggolan berjanji akan menelusuri kasus di Kutalimbaru hingga tuntas. Menurutnya, apapun akar persoalan yang ada, satu hal yang paling utama, bahwa sedini mungkin pemerintah daerah harus dapat mengendalikan situasi. “Jadi saya mau meminta keterangan secara rinci dari Pemda Deliserdang. Saya akan coba menghubungi bupatinya,” ungkapnya di Jakarta, kemarin.

Langkah ini dinilainya cukup penting sebagai langkah awal. Sehingga sebagai anggota dewan, dirinya dapat lebih fokus lagi menjembatani persoalan yang ada. “Saat ini saya belum punya data lengkapnya. Makanya untuk itu, kita akan pelajari dan cari data lebih lengkap lagi. Sehingga permasalahan yang ada dapat segera diatasi,”ujarnya. (dra/ila/sam/ari/gir)

Anatomi Konflik PTPN2 vs Warga Kutalimbaru

  1. SK BPN tentang perpanjangan jangka waktu HGU ditengarai sebagai pemicu konflik antara kelompok petani penggarap dan PTPN2.
  2. Sembilan SK Kepala BPN terkait perpanjangan HGU sejumlah lahan harus direvisi karena memicu konflik.
  3. Dari 9 SK itu, 5 di antaranya tentang perpanjangan HGU PTPN II terhadap 42 bidang tanah seluas 38 ribu hektare di Deliserdang, Langkat, dan Binjai.
  4. Lima SK diterbitkan tahun 2000
  5. Empat SK terhadap 55 bidang tanah seluas 17 ribu hektare di wilayah yang sama diterbitkan pada tahun 2002 dan 2004.
NB: Kanwil BPN BPN Sumut membantah sudah menerbitkan HGU perpanjangan
* Data Olahan Sumut Pos

http://www.hariansumutpos.com/2012/05/34517/ptpn-2-ngotot-pertahankan-lahan.htm

Okupasi Tanah Tetap Dilakukan


Tiga hari setelah bentrok fisik antara warga dengan karyawan PTPN2 di Desa Salang Paku, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deliserdang, kondisi perlahan-lahan mulai kondusif. Namun, pihak PTPN 2 tetap bersikeras untuk melakukan okupasi lagi pada lahan yang sama.

Hal ini ditegaskan Humas PTPN 2 Sei Semayang Eka Damayanti ketika dihubungi Sumut Pos.
“Kalau yang di lokasi bentrok kemarin, itu lahannya masih dalam peta HGU kita, jadi kita akan tetap melakukan okupasi,” tegasnya.

Ketika ditanya luas lahan yang sudah digarap warga,  Eka mengaku, sudah ratusan hektar yang dirampas warga untuk menanam jagung dan pohon pisang. “Kalau yang sudah dikuasai warga sekitar 300 hektar,” sebutnya.

Kapan dilakukan okupasi lanjutan? Eka mengatakan, pihaknya saat ini tengah berkoordinasi dengan pihak Poldasu untuk membantu melakukan okupasi lanjutan.

Mengenai waktu pastinya, sejauh ini dirinya belum menerima laporan. “Kapan pastinya, saya belum ada konfirmasi lanjutan dari pimpinan, tapi tetap akan dilakukan okupasi,” terangnya.
Terkait bentrok dengan warga, Eka mengaku, sudah membuat laporan pengaduan ke Poldasu terkait pembakaran lima unit mobil truk PTPN 2 dan penganiayaan terhadap karyawan. “Kita berharap pihak kepolisian dapat menyelesaikan laporan kita,” pintanya.

Ketika ditanya soal adanya preman bayaran yang ikut dalam rombongan karyawan PTPN 2 saat melakukan penyerangan, Eka membantah kabar tersebut. Dia meyakini, kalau seluruh orang yang ikut saat melakukan okupasi merupakan karyawan PTPN 2. “Saya jamin itu karyawan PTPN2 semua, tidak ada preman bayaran, itu karyawan,” jelasnya.

Sementara di areal konflik tepatnya di lahan PTPN2, pihak kepolisian masih terlihat berjaga-jaga. Ada beberapa mobil polisi yang terlihat berpatroli. Dan sebagian berjalan dengan memegang senjata laras panjang.  Petugas keamanan juga sudah membuat tiga buah tenda perkemahan untuk menjaga suasana sampai jangka waktu yang tak ditentukan.

Selain membuat perkemahan, polisi juga melakukan penyisiran ke perkampungan warga guna mencari pelaku pembakaran mobil. Dalam penyisiran yang dilakukan selama dua hari, pihak kepolisian dari Polres Medan, dikabarkan menemukan senjata tajam berupa klewang, panah beracun dan senjata lainnya seperti bambu dan rotan yang diduga digunakan warga maupun pihak PTPN2, saat terjadi bentrok. Senjata itu ditemukan tergeletak di seputaran lokasi bentrok yang kemungkinan tertinggal.

Di sisi lain, warga sekitar sudah beraktivitas seperti biasanya. Pantauan Sumut Pos di lokasi kejadian, Kamis (24/5) siang, puluhan warga terlihat melakukan aktivitas bercocok tanam dan kegiatan lainnya. Sedangkan anak-anak yang awalnya tidak berani keluar rumah, mulai terlihat berkeliaran di halam rumah warga. Pun begitu, sejumlah kaum pria di lokasi tersebut, tetap melakukan pemantauan terhadap orang yang datang ke kampung tersebut. Soalnya, mereka takut adanya mata-mata dari pihak PTPN 2 yang masuk ke perkampungan untuk mengacaukan suasana.

“Ya, lumayan aman lah, warga pun sudah mulai beraktivitas, Cuma kita tetap waspada, siapa tahu ada penyusup,” kata Zakaria, warga Salang Paku, Kecamatan Kutalimbaru, Deliserdang.
Zakaria juga mengatakan, pihaknya akan tetap mempertahankan lokasi PTPN 2 yang sudah mereka “Kita nggak akan mundur kalau pihak PTPN2 melakukan okupasi. Kita akan tampung mereka hingga titik darah penghabisan,” semangatnya.

Genderang Perang untuk PTPN 4

Di tempat terpisah, ratusan warga terdiri dari Kelompok Tani Bandar Rejo Desa Naga Kesiangan Kecamatan Tebingtinggi Kabupaten Serdangbedagai memblokir jalan masuk ke perkebunan PTPN IV Kebun Pabatu. Merka pun mendirikan posko pemenangan tanah yang dirampas perkebunan seluas 254,33 hektar, Kamis sore (24/5).

Ketua Kelompok Tani Desa Bandar Rejo, Wendi Hutabarat mengatakan bahwa ini adalah awal pertama genderang perang kelompok tani atas ketidakpedulian pihak PTPN IV Kebun Pabatu menanggapi aksi demonstrasi beberapa minggu lalu. “ Kami minta hak rakyat, tanah seluas 254,33 hektar milik warga, maka itu harus dikembalikan kalau tidak ini adalah awal mula genderang perang itu,” ungkap Wendi.

Mendirikan posko pemenangan warga adalah eujud perasaan kecewa dengan pihak PTPN 4 Kebun Pabatu yang hingga kini belum menuntaskan serta memutuskan permasalahan tanah tersebut.  “Apabila waktu yang diberikan hingga batas pekan depan tidak ditanggapi pihak perkebunan dan Pemkab Sergai, kami akan langsung mengeksekusi lahan perkebunan itu dengan paksa. Kita berharap awal pembangunan posko ini jangan ada terjadi benturan fisik,” beber Wendi.

Melihat akitivitas Kelompok Tani Bandar Rejo mendirikan posko dan memblokir akses jalan masuk, pihak Polres Tebingtinggi langsung melakukan pengawasan dengan ketat agar tidak terjadi benturan fisik warga dengan pihak pengamanan perkebunan. “Kita siagakan petugas di lapangan untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, sejauh ini warga masih bisa diberi pengertian oleh pihak petugas,” ungkap Kasubag Humas Polres Tebingtinggi AKP Ngemat Surbakti.

Sementara itu, Humas PTPN 4 Kebun Pabatu Suheri mengungkapkan bahwa warga membangun posko di luar tanah HGU perkebunan dan tidak memblokir jalan masuk ke dalam perkebunan. Menurutnya, soal lahan tersebut sudah terdaftar dalam nomor surat  20 tahun 2007 yang HGU perkebunan resmi ditandatangani pada April 2007 lalu.

Untuk itu, agar masalah tidak tambah runyam, Suheri meminta Ketua Kelompok Tani Bandar Rejo untuk membuat surat tembusan kepada pihak mediasi terutama Pemkab Sergai. “Wendi (ketua kelompok tani) harus membuat surat ke Pemkab Sergai, tetapi apa? Hingga kini Pemkab Sergai belum menerima surat itu,” ungkap Suheri. (ndi/mag-3)
http://www.hariansumutpos.com/2012/05/34516/okupasi-tanah-tetap-dilakukan.htm

Terkait Konflik Lahan Eks HGU PTPN 2, Wapres Turun Tangan


JAKARTA-Konflik lahan eks HGU PTPN 2 yang belum juga usai membuat Wakil Presiden Boediono turun tangan. Tim untuk kasus tersebut pun dibentuk Kantor Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres).

Tim ini melibatkan unsur Pemprovsu, BPN, PTPN 2, Kementerian BUMN, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Iwan Nurdin, Deputi Sekjen KPA, yang terlibat dalam tim itu, menjelaskan, tim dibentuk Setwapres pada 12 Februari 2012. Tim ini fokus berusaha menyelesaikan masalah pada areal-areal PTPN 2 yang hingga saat ini belum diperpanjang HGU-nya oleh BPN.

“Pada Maret 2012, Setwapres juga telah memanggil Pemda Sumut dan PTPN 2 untuk mendengarkan pandangan-pandangan mereka,” ujar Iwan Nurdin kepada Sumut Pos di Jakarta, Selasa (29/5).
Dijelaskan, untuk areal-areal yang hendak diselesaikan tersebut membutuhkan surat pelepasan aset dari menteri BUMN. Juga diperlukan tim untuk memeriksa kondisi lapangan usulan pelepasan aset secara benar untuk memastikan proses ini tepat sasaran. “Proses di Setwapres ini sampai sekarang masih terus berjalan,” imbuhnya.

Iwan tidak menyebut tenggat waktu kerja tim ini hingga menemukan solusi permanen. Iwan mengakui, persoalan ini cukup rumit. Dikatakan, upaya penyelesaian sebenarnya sudah sejak lama dilakukan. Dibeberkan, pada tahun 2000, PTPN 2 telah diberikan HGU oleh Kepala BPN berdasarkan SK.HGU No. 51/HGU/BPN/2000, No. 52/HGU/BPN/2000, 53/HGU/BPN/2000, 57/HGU/BPN/2000 dan No.58/HGU/BPN/2000  atas tanah seluruhnya 38.611,19 Ha yang terletak di Kabupaten Deliserdang dan Langkat.

Terkait dengan dengan penerbitan HGU tersebut, lanjut Iwan, BPN RI mengecualikan tanah seluas 17.062,1562 Ha  dari pemberian HGU tersebut. Pengecualian tersebut berdasarkan pada Risalah Panitia B Plus yang memandang terdapat permasalahan pada tanah tersebut.
Permasalahan tersebut di antaranya, pertama, ada klaim dari masyarakat dan petani yang di atas tanah-tanah tersebut mempunyai hak yang setara dengan hak milik, yaitu surat suguhan, surat keterangan pembagian tanah, dan surat pembagian tanah berdasarkan land reform pada tahun 1960-an akhir.

Kedua, adanya klaim dari masyarakat adat yang mempunyai surat-surat bahwa tanah tersebut adalah tanah masyarakat yang disewa oleh perusahaan perkebunan Belanda sebelum dinasionalisasi menjadi PTPN.

Kepala BPN pada masa itu memerintahkan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai data fisik dan data yuridisnya oleh Panitia Pemeriksa Tanah B Plus Sumatera Utara. “Setelah dilakukan pengecekan dan evaluasi terhadap tanah-tanah yang dikecualikan tersebut, sayangnya hasil evaluasi tersebut tidak dapat diakses publik secara baik. Sebab, akhirnya sebagian tanah yang disebut kepala BPN masa itu bermasalah, sekarang  telah diterbitkan HGUnya oleh BPN dan sekitar 5000-an hektar belum bisa diterbitkan HGU-nya oleh BPN,” papar Iwan.

Iwan menjelaskan, hingga sekarang, pada areal-areal yang diperpanjang HGU-nya oleh BPN tersebut terdapat masalah, yakni di atas tanah-tanah yang telah diterbitkan HGU-nya tersebut terdapat surat-surat kepemilikan masyarakat yang belum pernah melepaskan haknya atau diberi ganti rugi.
“Sehingga setiap saat menyulut konflik, bahkan konflik horizontal antara karyawan dengan masyarakat,” cetus Iwan.

Menurutnya, belum ada upaya sungguh-sungguh dari BPN untuk memeriksa dokumen para pihak yang berkonflik tersebut atau lebih jauh merevisi dan mengevaluasi bersama proses terbitnya  HGU tersebut. Juga belum ada upaya polisi dan jaksa untuk memeriksa bagaimana HGU tersebut bisa terbit di atas tanah hak masyarakat.

Sebagai anggota tim yang dibentuk Setwapres, Iwan menyodorkan tawaran solusi. Pertama, pelepasan aset dari kementerian BUMN hanya dibutuhkan pada areal-areal dimana HGU PTPN tidak diperpanjang namun masih ada tanaman PTPN, dan tidak ada bukti hukum masyarakat di atasnya yang sah dan diakui secara hukum seperti surat pembagian tanah, surat suguhan dan surat land reform yang dimiliki oleh rakyat.

“Biasanya lokasi ini adalah kampung-kampung eks karyawan, dan kampung masyarakat yang dibuat karena ketiadaan lahan masyarakat sehingga memasuki areal PTPN,” imbuhnya.
Namun, menurut Iwan, pada areal yang  ada surat-surat hak kepemilikan rakyat, atau putusan pengadilan yang inkracht BPN harus segera menindaklanjutinya dengan segera memperkuat hak-hak warga negara dengan sertifikat tanah yang sah.

Secara khusus, Iwan menanggapi pernyataan Deputi Bidang Usaha Industri Primer Kementerian BUMN, Muhammad Zamkani yang menyebut usulan tim pemetaan yang dibentuk Plt Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho merugikan PTPN 2.

Iwan tidak berani menyebut bahwa memang ada yang salah pada hasil pemetaan tim tersebut. Iwan hanya mengatakan, tidak adanya korban konflik yang dilibatkan dalam tim tersebut bisa menjadi penyebab hasil kerja tim tidak obyektif. Malah, keanggotaan tim ini menurut Iwan didominasi pihak PTPN 2. “Meskipun dengan SK Pemda Sumut,” ujarnya.

“Dukungan Pemda juga lemah dengan tidak didukung anggaran, sehingga mengundang terjadinya pembiayaan oleh perusahaan yang bermasalah. Dengan demikian, rekomendasi penyelesaian menjadi sangat memihak kepada perusahaan,” terang Iwan.

Pemprovsu tak Terima Dianggap Salah Memetakan Lahan

Pernyataan Zamkami juga mendapat tanggapan pihak Pemprovsu. Bahkan, Pemprovsu langsung berang karena dituding tidak becus terkait persoalan pelepasan sejumlah lahan eks HGU PTPN 2 di Sumut.

“Orang BUMN yang tidak tahu menahu masalah ini, jangan asal sembarangan ngomong. Tim yang ada dari semua pihak yang berkompeten. Dari BUMN ada PTPN 2, ada BPN Sumut dan pemerintah. Sejauh ini kalau dibilang salah, itu tidak benar. Kalau ada kendala, ya memang ada kendala. Ada masyarakat yang tidak terima, unjuk rasa dan melakukan penentangan. Tapi tim terus bekerja,” tegas Sekretaris Daerah (Sekda) Provsu, Nurdin Lubis ketika dimintai tanggapannya oleh Sumut Pos, Selasa (29/5).

Lanjutnya, kinerja dari tim tanah setiap hari memberikan dampak positif. Dan akan dilakukan evaluasi atas hasil yang dikerjakan, pada awal Juni mendatang.

“Berapa persen yang sudah dipetakan, saya lupa detilnya. Tapi ada prospek yang baik dari kinerja tim pemetaan tanah itu. Hasilnya, akan segera kita evaluasi pada awal Juni nanti. Pemetaan ini sudah diperpanjang dua kali. Dan proyeksinya akan selesai sampai akhir Mei ini,” terangnya.

Sertikat Tanah di Lahan Eks HGU Beredar

Sementara itu di Binjai, konflik mulai memanas lagi. Pasalnya beredar sertifikat tanah di lahan eks PTPN2 Sei Seamayang yang dikeluarkan BPN Binjai.

Dalam lembaran surat sertifikat tanah yang diperoleh Sumut Pos, Selasa (29/5), terdapat  beberapa lembar surat, seperti, surat pernyataan pemilik sertifikat, surat perintah setor (SPS) dan sertifikat tanah seluas 6.322 meter persegi.

Sertifikat yang diperoleh atas nama Djamaludin (66) warga Jalan P Diponegoro Lingkungan VIII, Kelurahan Mencirim Binjai Timur. Dalam Surat Pernyataan disebutkan, berdasarkan UUPA No.5 Tahun 1960, PP No 24 tahun 1997, Peraturan Menteri Negara / Kepala BPN Pusat No 3 tahun 1997, menyatakan dengan sesungguhnya telah menguasai tanah sebelum tanggl 24 Setember 1960, sesuai sertifikat tanah hak milik No 107 seluas 6.322 meter persegi di Kelurahan Mencirim, Kecamatan Binjai Timur, Kodya Binjai (dulunya termasuk di wilayah Ka mpung Nangka Kecamatan Sunggal, Deliserdang) atau sekarang berada di Lingkungan IX, Kelurahan Mencirim, Kecamatan Binjai Timur, tepat berada di lahan eks PTPN2 Sei Semayang.

Selanjutnya, dalam surat penyataan itu menerangkan, tanah tersebut telah dikuasai sejak 1952 sampai 1977 oleh Djamaludin yang selanjutnya digusur secara paksa oleh PTP IX (sekarang PTPN2) pada 1977. Tanah tersebut juga dijadikan objek Landerfrom pada 1965 dengan surat No.580/PLR/II/1965 taanggal 1 Mei 1965, selanjutnya diberikan Sk Gubernur No 10/HM/LR/1969 dengan status tanah hak milik dan kemudian diterbitkan sertifikat hak miliknya.

Surat pernyataan itu, disaksikan oleh M Sofyan selaku warga Lingkungan IX, Kelurahan Mencirim, Kecamatan Binjai Timur dan M Sawiwi, selaku Kepala Lingkungan VII, Kelurahan Mencirim, Binjai Timur serta diketahui Sekretaris Kelurahan Mencirim Sudarmen. Surat penyataan itu dibuat pada tahun 2000 di atas materai 6000.

Kemudian, atas dasar surat pernyataan tersebut, diduga munculah sertifikat tanah yang dikeluarkan BPN Binjai atas nama Djamaludin. Sertifikat itu bernomor seri AU 6259 27 sesuai sertifikat hak milik No 107. Sertifikat tersebut, langsung ditandatangani Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Binjai Imam Zulfikar SH. Sertifikat tersebut dikeluarkan pada 31 Agustus 2005.
Namun, yang aneh dari sertifikat ini, meski luas areal sama (6.322 meter persegi), tapi tak ada petunjuk yang menentukan antara perbatasan di tiap-tiap sudutnya. Parahnya lagi, sertifikat ini kerab dijadikan ajang bisnis oleh kelompok tertentu untuk menguasai lahan eks PTPN2 di Kelurahan Mencirim, Binjai Timur. Bahkan, sertifikat tersebut digunakan untuk mengkapling-kapling lahan eks PTPN2. Selain sertifikat yang diterima Sumut Pos, ada beberapa sertifikat lain yang beredar atas nama Kemis.

Menyikapi hal itu, Kepala BPN Binjai Ir Fuad Efendi MM, melalui Kepala Seksi (Kasi) Sengketa Lahan, Cipto SH mengaku, pihaknya tidak pernah mengeluarkan sertifikat di lahan sengketa tersebut. “Tahun berapa? Setahu saya, sampai sekarang kami tidak pernah menerbitkan sertifikat tanah di lahan sengketa tersebut,” bantahnya. (sam/ari/ndi)
http://www.hariansumutpos.com/2012/05/34794/terkait-konflik-lahan-eks-hgu-ptpn-2-wapres-turun-tangan.htm

Lintas Malam:”Tni Bubarkan Unjuk Rasa Petani”

Tni membubarkan paksa unjuk rasa petani di Medan, Sumatera Utara.
Anggota Tni Batalyon Arhanud 11 membubarkan paksa unjuk rasa petani di depan Lapangan Merdeka, Medan. Daerah ini merupakan salah satu kawasan yang akan dilalui rombongan Wakil Presiden, Boediono.
Pasukan pengamanan bertindak represif terhadap pengunjukrasa yang dinilai akan mengganggu kedatangan Wakil Presiden. Massa dari Komite Tani menggugat sengaja akan menghadang rombongan Wakil Presiden Boediono. Mereka menuntut penyelesaian konflik tanah di Sumatera Utara yang belum juga selesai.

Tapi aksi diwarnai kericuhan akibat pemukulan terhadap petani dan wartawan yang berada dilokasi unjuk rasa. Tni membantah jika ada insiden pemukulan. Massa Komite Tani menggugat meminta Pemerintah segera menyelesaikan sejumlah kasus tanah, antara petani dan perusahaan perkebunan seperti di Helvetia, Selambo dan pagar merbau. Akibat konflik warga kehilangan tempat mencari nafkah.
http://news.mnctv.com/index.php?option=com_content&task=view&id=23171&Itemid=14

Ratusan Petani Demo di Kantor BPN Sumut

MEDAN (Pos Kota) – Ratusan petani penggarap dari Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, unjukrasa di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara, Jalam Brigjen Katamso, Medan, Selasa (15/5). Mereka menuntut pihak BPN agar berpihak pada rakyat terkait pelepasan lahan eks HGU PT Perkebunan Nusantara Dua yang sebagian besar dikuasai para pengembang.

Aksi petani dihiasi dengan berbagai poster dan spanduk berisi kecaman terhadap sikap BPN dan pemerintah yang dituding tidak berpihak kepada rakyat dalam menyelesaikan konflik tanah di Sumut.
Bahkan dalam orasinya, massa menuding adanya campur tangan mafia tanah yang membuat posisi penggarap yang sudah bertahun-tahun menguasai lahan bekas HGU PTPN II semakin terjepit.
Dalam aksinya massa menuntun BPN segera menyelesaikan kasus tanah yang ada di 5 titik di Medan, yakni di Helvetia, Selambo, Marendal I, Dagang Kerawan dan Pagar Merbau, yang sampai sekarang tak kunjung selesai.

“Hentikan pemberian sertifikat tanah kepada para mafia tanah”, teriak kordinator aksi, T Simamora.
Aksi ini mendapat kawalan puluhan personil dari Polsek Medan Kota. Polisi terlihat berbaris di depan gerbang pintu masuk kantor BPN untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. (samosir)
http://www.poskotanews.com/2012/05/15/ratusan-petani-demo-di-kantor-bpn-sumut/

DPRDSU: Mafia Tanah Belum Tersentuh Hukum

>> tono, medan

DPRD Sumut berpendapat, para mafia tanah yang selama ini diduga ikut bermain dalam kasus tanah di Sumut belum tersentuh oleh hukum,  sehingga mereka semakin merajalela menguasai hak orang lain.

“Ini tugas polisi untuk menangkap para mafia, jangan hanya kelompok tani yang ditangkap,” kata anggota DPRD Sumut, Syamsul Hilal (foto) dalam rapat antara Komisi A dengan Poldasu dan Polresta di gedung dewan, Selasa (8/5). Hadir dalam pertemuan itu, Ketua Komisi A Isma Fadly, dan para anggota, DIrektur Narkoba Kombes Pol Anjan Pramuka dan Kapolresta Kombes Pol. Monang Situmorang, SH dan jajarannya.

Menurut Syamsul Hilal,  setidaknya 875 kasus konflik tanah yang terjadi di Sumut, yang hingga kini belum terselesaikan. “Saya yakin, yang berkuasa mafia, tetapi yang ditangkapi malah kelompok tani. Bagaimana ini, Pak Polisi,” ketus politisi PDI-P itu.

Dia menambahkan,  aparat kepolisian tutup mata meskipun banyak permasalahan sengketa tanah yang terjadi di Sumut. Bahkan, tak jarang kekerasan fisik yang dilakukan para mafia tanah terhadap kaum tani berlangsung secara nyata di depan mata aparatur negara.
Karena itu pula mafia tanah leluasa bermain di Sumut. Banyaknya kasus penyerobotan, pengerusakan lahan pertanian, penganiayaan penculikan dan intimidasi terhadap petani, sepertinya hanya dipetieskan oleh pihak Kepolisian.

“Kalau petani yang melakukan perlawanan terhadap mafia tanah, dituntut dengan hukum yang setinggi-tingginya, padahal kami mempertahankan hak kami,” ujarnya.
Terhadap tudingan ini, baik Kapoldasu diwakil Dirnarkoba dan Kapolresta menyatakan, pihaknya berada di tengah-tengah dan tidak memihak kepada siapapun. “Di Medan, polisi selalu memberikan perlindungan,” kata Kapolresta

BERTINDAK TEGAS
Menghadapi semakin liciknya permainan para mafia tanah, Syamsul menegaskan, aparat kepolisian harus berani bertindak tegas. “ Tangkap dan adili mafia tanah di Sumut, termasuk di Helvetia bersama premannya yang telah melakukan penganiayaan terhadap Saifal Bahri, yang sampai dengan saat ini terkesan dibiarkan saja,” katanya.

Syamsul juga meminta Poldasu agar segera menangkap H Suprianto (Anto Keling), Sarjono Sam beserta dengan preman-premannya yang bernama Sopian Husein, Elisabeth Sembiring, Bambang Budiaji CS.

Selanjutnya, Syamsul meminta tanah yang sudah habis HGU-nya, dan sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui tim B plus seluas 5.867,3 ha agar segera didistribusikan untuk kemakmuran rakyat. ***
http://www.inimedanbung.com/node/9290

Komite Tani Menggugat Kembali Berunjuk Rasa di BPN Sumut

MEDAN (BeritaHUKUM.com) - Kembali ratusan Massa dari Komite Tani Menggugat melakukan Aksi berunjuk rasa di depan Kantor BPN Sumut Rabu siang, kali ini dalam aksinya seratusan massa yang didominasi oleh kaum Petani ini meminta agar Pemerintah segera menyelesaikan seluruh sengketa tanah yang terjadi disejumlah daerah di Sumatera Utara. Dalam tuntutannya masih tetap sama seperti aksi mingu lalu di kantor BPN Sumut, mereka meminta agar pihak BPN Sumut jangan mengeluarkan surat ataupun, sertifikat apapun yang melegalkan pihak pengembang melakukan pembangunan diatas tanah milik rakyat.

Dalam orasinya massa yang sebelumnya berkumpul lalu bergerak long march’ dari Mesjid Raya Medan menuju kantor BPN Jl.Brigjen Katammso, mengatakan setidaknya ada beberapa kasus konflik tanah yang saat ini terjadi, yaitu di Desa Helvetia, Desa Marendal I, Desa Selambo, Desa Dagang Karwang, serta Desa Pagar Merbau.

Menurut mereka konflik tanah yang terjadi ini menunjukkan masih berkuasanya para mafia tanah dalam menguasai tanah rakyat. Sehingga dalam tuntutanya mereka meminta agar BPN tidak mengeluarkan Sertifikat apapun dalam setiap tanah rakyat yang bersengketa.

Kordinator aksi dari Komite Tani Mengugat Johan Merdeka mengatakan kepada pewarta BeritaHUKUM.com Rabu (23/5), "bahwa dalam pertemuan di ruang aula BPN Sumut siang tadi, pihak BPN Sumut mengatakan memang telah ada mengelurakan seritipikat tanah di desa Helvetia, namun itu di keluarkan oleh BPN Deli Serdang, menurut pengakuan dari A.Yani,SH perwakilan BPN Sumut.” Ujarnya.

Sementara itu Johan Merdeka juga menambahkan lebih lanjut, “agar pihak PBN Sumut, mencabut surat yang telah di keluarkan, dan dalam hal ini meminta Pemerintah Prov.SU untuk mengoposisi dan mengembalikan lahan milik warga yang telah di perjual belikan oleh Oknum di BPN Deli Serdang, dan meminta aparat penegak Hukum agar cepat turun untuk menyikapi hal ini, agar tidak terjadi bentrok dan korban di lapangan, seperti terjadi kemarin di PTPN 11 Sei semayang,” ujarnya.

Johan mengancam akan kembali berunjuk rasa ke kantor BPN Deli Serdang, “sampai hak tanah petani yang di perjuangkannya, dapat kembali ke pada mereka yang memiliki dan menggarabnya selama ini,” jelas Johan Merdeka yang juga menjabat sebagai sekjen PPRM SUMUT.

Akibat dari aksi massa Komite Tani Mengugat kali ini juga telah memacetkan arus lalu lintas di kawasan Brigjen Katamso Medan selama dalam aksinya, massa menggunakan seluruh badan jalan untuk menggelar orasi, dan Jl Brigjen Katamso di alihakan satu arah.(bhc/put)

http://www.beritahukum.com/detail_berita.php?judul=Komite+Tani+Menggugat+Kembali+Berunjuk+Rasa+di+BPN+Sumut

SK BPN Ditenggarai Memicu Konflik Tanah di Kutalimbaru

Metrotvnews.com, Deli Serdang: Surat keputusan Badan Pertanahan Nasional RI tentang perpanjangan jangka waktu hak guna usaha (HGU) ditenggarai sebagai pemicu konflik antara kelompok petani penggarap dan PT Perkebunan Nusantara II di Kutalimbaru, Deli Serdang, Sumatra Utara, dua hari silam. Hal itu diungkapkan Arief Sugiarto, salah seorang anggota Majelis Eksaminasi Publik saat penyerahan putusan eksaminasi publik kepada kelompok petani yang tergabung dalam Forum Rakyat Bersatu Sumatra Utara di Tanjung Morawa, Deli Serdang, baru-baru ini.

Arief mengatakan sembilan SK kepala BPN RI terkait perpanjangan HGU sejumlah lahan harus direvisi karena telah menimbulkan konflik tanah antara warga dan PTPN II. Dari 9 SK itu, 5 di antaranya tentang perpanjangan HGU PTPN II terhadap 42 bidang tanah seluas 38 ribu hektare di Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, dan Kota Binjai. Lima SK itu diterbitkan tahun 2000. Sedang empat SK terhadap 55 bidang tanah seluas 17 ribu hektare di wilayah yang sama yang diterbitkan pada tahun 2002 dan 2004.(DSY)
http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2012/05/24/151606/SK-BPN-Ditenggarai-Memicu-Konflik-Tanah-di-Kutalimbaru

Bentrok Lebih Ngeri dari Mesuji Bisa Terjadi di Sumut

NASIONAL - SOSIAL
Jum'at, 25 Mei 2012 , 06:35:00


JAKARTA - Reaksi keras disampaikan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumut, Rahmat Shah, menanggapi bentrok antara warga dengan karyawan PTPN 2 di Kecamatan Kutalimbaru, Selasa (24/5) lalu. Empat truk polisi dibakar massa.

Bereaksi keras, tapi mengaku tidak kaget. Pasalnya, Rahmat sendiri sudah beberapa kali mengingatkan semua pihak terkait mengenai potensi bentrok yang dipicu konflik lahan ini. "Setiap pekan hampir selalu ada bentrok, tapi yang ini (bentrok di Kutalimbaru, red), memang keras. Tapi bisa muncul yang lebih keras lagi," ujar Rahmat Shah kepada JPNN, kemarin (24/5).

Dia mengingatkan aparat keamanan, BPN, PTPN II, dan gubernur, untuk segera mengambil solusi yang komprehensif. Selama ini, menurutnya, penyelesaian-penyelesaian hanya bersifat sporadis, setiap kali muncul bentrok. Solusi yang permanen belum pernah muncul.

Jika begini terus, kata Rahmat, maka potensi bentrok yang lebih besar lagi dibanding bentrok di Kutalimbaru, bisa muncul. Bahkan, bisa lebih besar dibanding kasus Mesuji, Lampung, beberapa waktu lalu. "Bisa lebih ngeri dibanding Mesuji," cetus Ramhat, dengan nada tinggi.

Menurut dia, para petinggi, baik di Sumut maupun di Jakarta, tampak menyepelekan masalah kasus tanah ini. "Kepala BPN, kepala daerah, menteri, semua sombong di hadapan rakyat. Mentang-mentang tidak ada aparat yang membekingi rakyat. Masyarakat sungguh tak mendapatkan keadilan," ujarnya lagi.

Dikatakan, sebenarnya sikap Presiden SBY sudah tegas, yakni putusan pengadilan yang sudah incrach, yang menyatakan lahan milik rakyat, harus segera dieksekusi, lahan dikembalikan ke rakyat. "Tapi BPN tidak menindaklanjutinya, tidak menerbitkan sertifikat hak milik untuk rakyat," kata Rahmat.

Sebelumnya, Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, BPN sebenarnya sudah menindaklanjuti putusan-putusan pengadilan yang sudah incrach. Yakni, BPN menerbitkan surat perintah agar ditunda dulu perpanjangan HGU untuk PTPN II. “Sehingga banyak tanah PTPN II tak dapat diperpanjang HGU-nya karena ada tanah rakyat di situ,” imbuhnya.

Hanya saja, langkah BPN hanya sebatas itu, tidak langsung menyerahkan tanah dimaksud kepada warga. Ini yang menurut Iwan mengundang nafsu para mafia tanah untuk menguasai lahan yang status kepemilikannya terus digantung itu.

Rahmat Shah juga tampak putus asa menyikapi lambannya sikap pihak terkait. Delegasi Komite I DPD pada 30 Nopember 2010 melakukan pertemuan dengan BPN Kanwil Sumut yang diikuti seluruh Kepala BPN Kabupaten/Kota se-Sumut, membahas masalah tanah eks HGU PTPN II dan tanah Sari Rejo.

Hasil pertemuan, Kakanwil BPN Sumut menjanjikan dalam tempo dua bulan akan diselesaikan pemetaan lahan eks HGU PTPN. "Tapi hingga kini tidak ada," cetus Rahmat.

Plt Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho juga telah membentuk tim khusus penanganan areal lahan eks HGU PTPN II, yang dipayungi SK Gubsu tertanggal 23 September 2011. Tugas tim ini, kata Rahmat, melakukan pengukuran dan pemetaan lahan.

Namun tim khusus ini tidak dapat menyelesaikan tugasnya sehingga diperpanjang hingga bulan Mei 2012. "Ini sudah akhir Mei, tapi belum juga selesai," ujar Rahmat.

Khusus tanah Sari Rejo, lanjut Rahmat, sebenarnya secara hukum sudah jelas karena sudah ada putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 18 Mei 1995, yang menyatakan tanah-tanah sengketa adalah tanah garapan penggugat. Hingga kini, kata Rahmat, mereka masih berharap agar BPN menerbitkan sertifikat kepemilikan tanah mereka. (sam/jpnn)\
http://www.jpnn.com/read/2012/05/25/128379/Bentrok-Lebih-Ngeri-dari-Mesuji-Bisa-Terjadi-di-Sumut-

Setwapres Tangani Konflik Lahan PTPN 2

NUSANTARA - SUMUT
Rabu, 30 Mei 2012 , 08:08:00

JAKARTA - Saking rumitnya konflik lahan eks HGU PTPN 2, Kantor Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) harus turun tangan. Tim bentukan Setwapres ini melibatkan unsur Pemprov Sumut, BPN, PTPN 2, Kementerian BUMN, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Iwan Nurdin, Deputi Sekjen KPA, yang terlibat dalam tim itu, menjelaskan, Tim yang dibentuk Setwapres pada 12 Februari 2012 itu fokus berusaha menyelesaikan masalah pada areal-areal PTPN 2 yang hingga saat ini belum diperpanjang HGU-nya oleh BPN.

"Pada Maret 2012, Setwapres juga telah memanggil Pemda Sumut dan PTPN 2 untuk mendengarkan pandangan-pandangan mereka," ujar Iwan Nurdin kepada JPNN di Jakarta, kemarin (29/5).

Dijelaskan, untuk areal-areal yang hendak diselesaikan tersebut membutuhkan surat pelepasan asset dari menteri BUMN. Juga diperlukan tim untuk memeriksa kondisi lapangan usulan pelepasan asset secara benar untuk memastikan proses ini tepat sasaran. "Proses di Setwapres ini sampai sekarang masih terus berjalan," imbuhnya. Iwan tidak menyebut tenggat waktu kerja tim ini hingga menemukan solusi permanen.

Iwan mengakui, persoalan ini cukup rumit. Dikatakan, upaya penyelesaian sebenarnya sudah sejak lama dilakukan. Dibeberkan, pada tahun 2000, PTPTN2 telah diberikan HGU oleh Kepala BPN berdasarkan SK.HGU No. 51/HGU/BPN/2000, No. 52/HGU/BPN/2000, 53/HGU/BPN/2000, 57/HGU/BPN/2000 dan No.58/HGU/BPN/2000  atas tanah seluruhnya 38.611,19 Ha yang terletak di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat.

Terkait dengan dengan penerbitan HGU tersebut, lanjut Iwan, BPN-RI mengecualikan tanah seluas 17.062,1562 Ha  dari pemberian HGU tersebut. Pengecualian tersebut berdasarkan pada Risalah Panitia B Plus yang memandang terdapat permasalahan pada tanah tersebut.

Permasalahan tersebut diantaranya, pertama, ada klaim dari masyarakat dan petani yang di atas tanah-tanah tersebut mempunyai hak yang setara dengan hak milik yaitu surat suguhan, surat keterangan pembagian tanah dan surat pembagian tanah berdasarkan land reform pada tahun 1960an akhir.

Kedua, adanya klaim dari masyarakat adat yang mempunyai surat-surat bahwa tanah tersebut adalah tanah masyarakat yang disewa oleh perusahaan perkebunan Belanda sebelum dinasionalisasi menjadi PTPN.

Kepala BPN pada masa itu memerintahkan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai data fisik dan data yuridisnya oleh Panitia Pemeriksa Tanah B Plus Sumatera Utara.

"Setelah dilakukan pengecekan dan evaluasi terhadap tanah-tanah yang dikecualikan tersebut, sayangnya hasil evaluasi tersebut tidak dapat diakses public secara baik. Sebab, akhirnya sebagian tanah yang disebut kepala BPN masa itu bermasalah, sekarang  telah diterbitkan HGUnya oleh BPN dan sekitar 5000an hektar belum bisa diterbitkan HGU-nya oleh BPN," papar Iwan.

Iwan menjelaskan, hingga sekarang, pada areal-areal yang diperpanjang HGU-nya oleh BPN tersebut terdapat masalah, yakni di atas tanah-tanah yang telah diterbitkan HGU-nya tersebut terdapat surat-surat kepemilikan masyarakat yang belum pernah melepaskan haknya atau diberi ganti rugi.

"Sehingga setiap saat menyulut konflik, bahkan konflik horizontal antara karyawan dengan masyarakat," cetus Iwan. Menurutnya, belum ada upaya sungguh-sungguh dari BPN untuk memeriksa dokumen para pihak yang berkonflik tersebut atau lebih jauh merevisi dan mengevaluasi bersama proses terbitnya  HGU tersebut. Juga belum ada upaya polisi dan jaksa untuk memeriksa bagaimana HGU tersebut bisa terbit di atas tanah hak masyarakat.

Sebagai anggota tim yang dibentuk Setwapres, Iwan menyodorkan tawaran solusi. Pertama, pelepasan asset dari kementerian BUMN hanya dibutuhkan pada areal-areal dimana HGU PTPN tidak diperpanjang namun masih ada tanaman PTPN, dan tidak ada bukti hukum masyarakat di atasnya yang sah dan diakui secara hukum seperti surat pembagian tanah, surat suguhan dan surat land reform yang dimiliki oleh rakyat.

"Biasanya lokasi ini adalah kampung-kampung eks karyawan, dan kampung masyarakat yang dibuat karena ketiadaan lahan masyarakat sehingga memasuki areal PTPN," imbuhnya.

Namun, menurut Iwan, pada areal yang  ada surat-surat hak kepemilikan rakyat, atau putusan pengadilan yang inkracht BPN harus segera menindaklanjutinya dengan segera memperkuat hak-hak warga negara dengan sertifikat tanah yang sah.

Secara khusus, Iwan menanggapi pernyataan Deputi Bidang Usaha Industri Primer Kementerian BUMN, Muhammad Zamkani yang menyebut usulan tim pemetaan yang dibentuk Plt Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho merugikan PTPN 2.

Iwan tidak berani menyebut bahwa memang ada yang salah pada hasil pemetaan tim tersebut. Iwan hanya mengatakan, tidak adanya korban konflik yang dilibatkan dalam tim tersebut bisa menjadi penyebab hasil kerja tim tidak obyektif. Malahan, keanggotaan tim ini menurut Iwan didominasi pihak PTPN 2. "Meskipun dengan SK Pemda Sumut," ujarnya.

"Dukungan Pemda juga lemah dengan tidak didukung anggaran, sehingga mengundang terjadinya pembiayaan oleh perusahaan yang bermasalah. Dengan demikian, rekomendasi penyelesaian menjadi sangat memihak kepada perusahaan," terang Iwan.

Sebelumnya diberitakan, Kementerian BUMN belum mau melepaskan sejumlah lahan eks HGU PTPN II. Deputi Bidang Usaha Industri Primer Kementerian BUMN, Muhammad Zamkani, menjelaskan, pemetaan oleh Tim Khusus bentukan Gatot itu memasukkan sejumlah sejumlah lahan yang nyata-nyata masih diduduki warga tapi diusulkan untuk diperpanjang HGU-nya untuk PTPN.

"Sementara, ada lahan yang masih ada pohon-pohonnya, yang masih ada tanaman produktifnya (milik PTPNII, red), malah tak diusulkan untuk diperpanjang," ujar Muhammad Zamkani. (sam/jpnn)
http://www.jpnn.com/read/2012/05/30/128909/Setwapres-Tangani-Konflik-Lahan-PTPN-2-

Selasa, 29 Mei 2012

Rakyat "Pemilik" Lahan Terancam Kian Miskin


Rabu 30 Mei 2012

BATANG, KOMPAS -  Rakyat, yang mengaku sebagai pemilik lahan yang bersengketa dengan perusahaan swasta atau badan usaha milik negara/daerah, terancam kian terpuruk dalam kemiskinan jika mereka kehilangan tanah itu. Karena itu, mereka akan berjuang hingga ”titik darah penghabisan” untuk dapat merebut hak atas tanah itu. Pemerintah harus memiliki agenda nyata untuk menuntaskan berbagai kasus sengketa lahan.

Dari catatan  Kompas, warga terlibat dalam konflik agraria berkepanjangan di sejumlah wilayah ( Kompas, 28-29/5) karena hidup mereka bergantung pada lahan itu. Seperti warga di Jorong Simaladuang, Nagari Sungai Kemuyang, Kecamatan Luhak, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, yang sampai Selasa (29/5) masih bersengketa dengan pemegang hak guna usaha (HGU) PT Jenyta Ranch di Pengadilan Negeri Payakumbuh. Warga, tutur Naldi Gantika dari Koalisi untuk Keadilan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Qbar, bergantung hidupnya pada tanah ulayat yang menjadi obyek sengketa sejak tahun 1997 itu.
Niton alias Alim, warga Dusun Gumukbago, Desa Nogosari, Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember, Jawa Timur, bekerja sebagai buruh tani. Ia kini berharap pemerintah membolehkan dirinya menanam padi di lahan HGU yang dikuasai pabrik gula Semboro PT Perkebunan Nusantara XI. Lahan itu dipersoalkan warga. Tanpa bisa menggarap lahan itu, ia dan 8 anaknya tak mungkin keluar dari jurang kemiskinan.

Lapangan kehidupan
Ketua Organisasi Tani Jawa Jawa Tengah Wahyudi di Batang mengakui, rakyat terancam kalau sampai kehilangan lahan yang selama ini jadi gantungan hidupnya. Warga yang terutama bekerja sebagai buruh tani akan kian terpuruk dalam kemiskinan.
Rakyat yang turun-temurun menggarap tanah hutan atau lahan yang disengketakan dianggap melanggar hukum. Di sisi lain, lahan pertanian kian sempit dan rakyat kian tak mampu membeli lahan. 
”Jika konflik agraria tidak juga diselesaikan, kemiskinan pasti kian meluas. Jika manusia kelaparan, tak mungkin bisa berpikir jernih. Apa saja bisa dilakukan untuk mendapatkan makanan,” kata Wahyudi.
Menurut dia, pemerintah perlu segera mengidentifikasi lahan yang selama ini dikelola oleh rakyat. Bukan hanya lahan yang ditelantarkan atau lahan yang tidak bermasalah, seperti yang selama ini sudah diredistribusi. ”Pemerintah selama ini seolah-olah tak mau mengurusi lahan yang masih berstatus HGU, padahal tanah ini juga bermasalah dengan masyarakat,” ujar Wahyudi.
Kebijakan pemerintah dengan redistribusi lahan di beberapa daerah selama ini sekadar untuk meredam gerakan rakyat yang menuntut hak atas tanah. Sebab, redistribusi lahan itu masih belum merata.

Aktivis Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Erwin Dwi Kristianto, menambahkan, selama ini sering terjadi kriminalisasi terhadap warga yang terlibat sengketa lahan dengan perusahaan swasta dan milik negara/daerah. Warga bertahan karena akses mereka pada lahan itu sangat rendah. Redistribusi lahan saja tidak cukup untuk mengatasi konflik agraria, yang berangkat dari sengketa lahan. Pemerintah juga harus melakukan konsolidasi lahan.

Ketua Pusat Studi dan Penelitian Hak Asasi Manusia Universitas Sumatera Utara Hasim Purba mengingatkan, pemerintah perlu membentuk lembaga otonom untuk menyelesaikan konflik lahan yang marak terjadi, termasuk di Sumut. Lembaga otonom ini untuk menerobos penyelesaian melalui jalur hukum formal, yang selama ini terbukti belum berhasil menyelesaikan sengketa lahan.

Inisiator Tim Penyelesaian Agraria DPR, Arif Wibowo, mengatakan, Badan Pertanahan Nasional tak mungkin bekerja sendiri menyelesaikan sengketa lahan. Apalagi, penyelesaian masalah agraria semestinya bukan kasus per kasus. Ada kebijakan yang perlu diambil pemerintah sesuai Ketetapan MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

(EGI/INK/REN/MHF/JON/ITA/IRE/EKI/SIR/BIL/UTI)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2012/05/30/01442748/rakyat.pemilik.lahan.terancam.kian.miskin

Anthropology: Essential element for successful development

A- A A+
When Prof. Jim Yong-kim was recently appointed head of the World Bank, several eyebrows were raised: Why was this man, Obama’s candidate for the job, chosen? He had no qualifications in economics or finance. His PhD is in social anthropology and he is a medical doctor.

How could he possibly be qualified for the job? One answer that was quickly forthcoming from Gillian Tett, a managing editor of the Financial Times, was that Kim “has tried to blend the seemingly opposed worlds of science and social science. His development work, for example, examined tuberculosis and Aids, both through the prism of germs and biology, but also the cultural and economic interactions of the poor. This type of research is called medical anthropology.” (Tett, FT 31 March p. 6)

The point that she — and US President Barack Obama — are making is that however much money is poured into development and however sophisticated your mathematical models are, unless that development is grounded in a real understanding of the circumstances of the everyday lives of the poor then development policy will have very little chance of success. To devise appropriate policies with a chance of success before you commence you must know a lot about “the cultural and economic interactions of the poor”.

It seem an obvious point, yet it has too often been ignored in the Indonesian context as Dr. Daoed Joesoef, a former Indonesian education and culture minister, has been repeating in several caustic opinion pieces in Kompas recently.

Policymakers, business consultants, and, dare I say it, academic institutions in Indonesia and world-wide are obsessed by the need for quantification, and believe with the passion of religious fanatics that statistics and graphs, surveys and questionnaires, in short what they call hard science, can solve every problem. And when the evidence shows them that they are wrong, they refuse to acknowledge it.

Countless development projects in Indonesia and elsewhere have failed because that hard statistical approach of economic modeling was flawed and inappropriate. In Indonesia the disastrous consequences of this blindness can be seen in the fields of education, health and conservation.

In education I have already demonstrated in these columns the futility for Indonesia of the concept of a world-class university measured in terms of performance indicators which are inappropriate for understanding the country’s higher education needs.

In health matters we have seen many recent attempts to make health treatment free for the poorest, but policymakers who have no experience of the processes through which poor people go when they are ill and seek treatment do not realize that the policies they develop in offices in Jakarta are ineffective.

Furthermore, basic programs such as KB (family planning) are failing because policymakers do not understand that the number of people who take up family-planning methods — the statistic they rely on to measure the success of the KB program — is not an indication that family planning is being practiced.

It was an awareness of this discrepancy between the apparent soundness of health policies on paper and their failure in the field, because people for whom they were intended did not want to take up the new initiatives, which Kim noted, and this observation turned him into medical anthropologist.

He wanted to know why people did not take up certain treatments: What were the cultural and economic constraints that inhibited them. The same point is made by Professor Sir Leszek Borysiewicz, the vice-chancellor of Cambridge University, who is a consultant surgeon in cervical cancer. In a talk last year he said “successful take-up depends on a program whose acceptability to patients must be informed by rigorous social science research that complements and completes the medical science” (Daily Telegraph, Oct. 20, 2011).
Again, he is hammering home the point that you need to find out how people live before you carry out a policy, and implicit in what he is saying is that surveys and questionnaires will not give you the answer: informed ethnographic observation of an anthropological kind will.

It is in the area of environmental conservation in Indonesia that the failure to make use of an anthropological insight has had perhaps the most disastrous consequences.

Conservation bodies are headed by teams of people with degrees in biology and genetics who are specialists in their field and very good at the job of, for example, monitoring populations of endangered species and their decline over time or mapping the loss of forest habitat.

Their reports contain figures, charts, and statistics and they use these very well to show that environmental damage is taking place and species are being lost as a result of human activity.

On paper the results look impressive, but go into the field and you will see that most conservation projects described in the reports in are failures which the statistics have disguised. The reason for the failure is that the hard scientists fail to see that that collection of data is only a very small corner of the picture.

We have known for some time that environmental degradation and ecological damage are taking place; what we need to do is to devise policies to prevent, or at least mitigate, the human activity that is leading to the loss. And here the hard science conservationist are at a loss.

They simply do not understand that the surveys they administer, using the usual Likert scale, the results of which tell them, for example, that 90 percent of the local population approve of environmental education, is meaningless.

What they need to do is understand in depth how local people interact with and think about their environment, and for this there is no substitute for the hard anthropological graft of talking and listening to people and observing on a daily basis what they do.

It is this belated recognition that has led at last to the publication of an excellent manual — to which I must confess to being a contributor — entitled Conducting Research in Conservation. A Social Science Perspective (Newing 2011).

The book or at least the approach that it advocates should be mandatory for everyone working in the field of conservation, since it sets out why an anthropological approach is so essential if conservation management is to succeed and gives practical instruction about how to go about conducting the appropriate research.

The presence of good anthropologists in teams planning and implementing development is not a guarantee of success but it makes the chance of it far more likely.

The writer is professor at School of Business and Management, Bandung Institute of Technology (ITB), and emeritus professor at School of Anthropology and Conservation, University of Kent, UK.

source: http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/26/anthropology-essential-element-successful-development.html

Senin, 28 Mei 2012

Sengketa Lahan Dibiarkan


Selasa
29 Mei 2012

Batam, Kompas -  Sengketa lahan, yang dapat berujung pada konflik sosial, bukan persoalan baru. Namun, sengketa itu cenderung dibiarkan, tanpa penyelesaian yang berarti. Rakyat tetap tersisihkan. Padahal, sebenarnya ada beberapa model penyelesaian yang bisa dilakukan pemerintah.
”Seperti juga tahun sebelumnya, sepanjang tahun 2012 konflik agraria merata di Indonesia. Ada konsentrasi pengusahaan lahan oleh perusahaan besar. Sebagian besar konflik disebabkan masalah pertanahan yang tidak pernah selesai,” papar Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, Senin (28/5), di Batam
Tahun ini, selain terjadi di Mesuji (Sumatera Selatan dan Lampung), letupan konflik agraria juga terjadi di Sungai Mencirim (Sumatera Utara) dan Jember (Jawa Timur). Sengketa lahan terjadi antara warga atau perambah dan perusahaan swasta atau badan usaha milik negara, khususnya PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan badan usaha milik daerah. Sengketa lahan umumnya terkait perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.
Di Sumsel, konflik antara warga dari sejumlah desa dan PTPN VII Cinta Manis, Senin, makin memanas pula. Ratusan pekerja PTPN VII Cinta Manis, yang tergabung dalam Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SPPN) VII, kemarin, berunjuk rasa di Polda Sumsel dan Kantor Gubernur Sumsel di Palembang. Pekerja mendesak Polri dan Pemerintah Provinsi Sumsel memberikan perlindungan kepada pekerja dan perusahaan itu.
Pekerja juga meminta penduduk tidak mengklaim lahan tanpa bukti kepemilikan yang sah. Kasus perebutan lahan antara warga dari 13 desa di sekitar perkebunan tebu dan PTPN VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir terjadi sejak tahun 1982. Warga menilai lahan mereka diambil alih dengan ganti rugi yang tak sesuai.
Di Aceh, sengketa lahan antara warga dan perusahaan pemegang hak guna usaha (HGU) dan izin konsesi lain mengancam Kawasan Rawa Tripa. Kawasan yang dikelola perusahaan perkebunan sawit pemegang HGU tumpang tindih dengan lahan hutan, yang mencapai 62.000 hektar. Warga dari tujuh desa di sekitar kawasan itu menolak perkebunan kelapa sawit yang mereka nilai mengambil alih lahan mereka secara tidak sah. Menurut Koordinator Program Rawa Tripa Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Halim Gurning, konflik lahan di kawasan itu terjadi sejak tahun 1990 dan sampai kini masih berlangsung.
Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Hendrikus Adam menambahkan, ekspansi perkebunan kelapa sawit di provinsi itu sejak empat tahun terakhir memicu 288 konflik antara perusahaan dan warga. Sengketa itu juga cenderung dibiarkan oleh pemerintah, termasuk oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sengketa warga dengan perusahaan memuncak karena banyak perusahaan memaksakan kerja sama pemakaian lahan yang merugikan warga. ”Dari 10 hektar lahan yang diserahkan pada perusahaan, warga mendapat paling banyak 3 hektar kebun kelapa sawit. Warga masih dibebani kredit Rp 50 juta dengan dalih untuk menyiapkan lahan,” kata Adam.
Tahun 2012 muncul pula konflik lahan baru. Hal itu terlihat di Kalimantan Selatan, tempat warga Dayak di Gunung Meratus memprotes penerbitan izin hutan tanaman industri (HTI) di wilayah adat mereka. ”Konflik ini memperpanjang daftar perampasan hak warga oleh negara dan pemodal,” ujar Iwan Nurdin.
Sengketa diperburuk dengan peraturan yang cenderung memihak pemodal. Misalnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang memungkinkan negara mengabaikan perlindungan terhadap warga.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih di Jakarta mengungkapkan, konflik lahan terjadi dan akan terus terjadi. Hal ini sebagai dampak dari kebijakan pertanian (perkebunan) Pemerintah Indonesia yang berorientasi ekspor. ”Misalnya, seberapa pun besar permintaan minyak sawit di pasar dunia akan dipenuhi oleh Indonesia. Konflik lahan pun tak terelakkan,” ungkapnya. Pengusaha dan petani pasti tergiur oleh harga komoditas sawit yang sangat tinggi. Apalagi pemerintah mendukung.
KPA mencatat, tahun lalu konflik agraria ini melibatkan 69.975 keluarga di seluruh Indonesia. Mereka bersengketa atas areal seluas 476.048 hektar. ”Tahun lalu 22 orang tewas akibat konflik pertanahan,” kata Iwan.
BPN harus aktif
Dari Medan, Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Raden Heru Prakoso mengatakan, polisi berupaya menyelesaikan konflik yang berawal dari sengketa lahan secara dialogis. Pertengahan Januari lalu, Polda Sumut mengundang berbagai kalangan untuk berdialog terkait konflik agraria itu.
Bahkan, unsur pimpinan daerah Sumut, seperti Kepala Polda Inspektur Jenderal Wisjnu Amat Sastro dan Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, sudah bertemu membahas upaya dialogis penyelesaian konflik lahan. Pertemuan juga dihadiri Panglima Kodam I/Bukit Barisan Mayor Jenderal TNI Lodewijk F Paulus, Kepala Kejaksaan Tinggi Basuni Masyarif, dan semua kepala daerah.
Kantor Wilayah BPN Sumut diminta aktif menangani kasus sengketa lahan pula. BPN menjadi simpul penting dalam sengketa lahan yang rawan konflik. ”Kami berharap pertemuan itu ditindaklanjuti BPN dan pemerintah daerah,” kata Heru.
Menurut Heru, sengketa lahan di Sumut sangat rawan memicu konflik horizontal. Polda Sumut mencatat, tahun 2005-2011 terjadi 2.833 konflik lahan di provinsi itu (Kompas, 28/5).
Kepala Tata Usaha BPN Sumut Ahmad Yani menjelaskan, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) berupaya memetakan lahan yang selama ini menjadi obyek sengketa. BPN Sumut bertugas mengukur lahan itu untuk dijadikan patokan batas lahan. Rencananya akhir Mei ini pengukuran itu rampung.
Siapkan formula
Staf khusus Kepala BPN, Usep Setiawan, di Jakarta menuturkan, BPN menyiapkan formula kebijakan pembaruan agraria untuk mengatasi sengketa lahan dan konflik terkait tanah yang kian meningkat. Akan tetapi, diakui, BPN tak mungkin menyelesaikan konflik tanah sendirian. Semua pemangku kepentingan terkait agraria harus mau duduk bersama merumuskan langkah pembaruan agraria.
”Formula yang ideal bagi penyelesaian konflik agraria adalah pelaksanaan pembaruan agraria secara menyeluruh. Formula ini sekarang sedang disiapkan BPN,” ujar Usep.
Usep mengatakan, titik sentral dalam pelaksanaan pembaruan agraria adalah mengatasi ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah serta kekayaan alam lainnya. Salah satu langkah pembaruan agraria yang jamak dilakukan adalah redistribusi lahan milik negara atau swasta kepada petani tak bertanah alias petani gurem.
Namun, BPN tak mungkin bekerja sendiri. ”Butuh juga langkah yang sama dilakukan instansi terkait, termasuk pemerintah daerah. Pendekatan sporadis dan parsial dalam menangani konflik yang beragam dan masif tak akan efektif,” kata Usep.
Menurut Usep, sepantasnya Presiden turun tangan. Konflik lahan adalah bom waktu yang bisa menjadi sumber gangguan sosial dan politik. Presiden harus mengarahkan semua sektor agar membuat strategi khusus bersama mengatasi konflik agraria.
(AHA/RAZ/BIL/IRE/EGI/MAS/MHF/HAN/INK/UTI/JON/REN)

Bom Waktu" Sengketa Lahan


Senin 28 Mei 2012
 Jakarta, Kompas -  Ratusan perambah di kawasan hutan Register 45 Mesuji, Lampung, hari Minggu (27/5) mengamuk. Mereka merusak fasilitas milik perusahaan pemegang hak pengelolaan hutan tanaman industri, PT Silva Inhutani Lampung.
Akibat aksi itu, kaca dan perlengkapan pos satuan pengamanan PT Silva Inhutani Lampung (SIL) di areal gerbang masuk Alba V rusak. Massa juga sempat mengancam akan membakar pabrik pengolahan minyak kelapa sawit milik PT Tunas Baru Lampung (TBL) yang berlokasi di dekat Register 45 Mesuji. Aktivitas di PT TBL terhenti.
”Pabrik diancam akan dibakar. Semua karyawan tidak bekerja dan menjaga pintu gerbang. Jika massa datang, kami akan mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan pabrik,” kata Suratno, karyawan PT TBL, seperti disebut dalam laporan Pemerintah Kabupaten Mesuji.
Bupati Mesuji Khamamik datang ke lokasi kerusuhan di Register 45 Mesuji. Dia mendesak polisi menindak perambah yang anarkistis. Aksi perambah itu menjadi ”balasan” setelah 20 rumah semipermanen milik perambah di kawasan eks Pelita Jaya atau Blok 28, yang masuk wilayah Register 45 Mesuji, Sabtu ditertibkan perusahaan. Sebagian perambah yang tidak menerima penertiban itu, bersama perambah dari kawasan lain, membalas dan merusak pos PT SIL.
Kepala Kepolisian Resor Persiapan Mesuji Ajun Komisaris Besar Nazaruddin membenarkan, PT SIL melakukan penertiban terhadap sebagian kecil perambah secara mandiri. Namun, jumlah perambah semakin bertambah menyusul mencuatnya konflik agraria di Mesuji akhir tahun lalu.
Ribuan sengketa lahan
Kekerasan dan anarkisme terkait sengketa lahan di Register 45 Mesuji, berdasarkan catatan Kompas, hanya satu dari ribuan kasus sengketa lahan di negeri ini. Kasus di Mesuji memang berulang kali meletup. Namun, bentrokan terkait penguasaan dan pemanfaatan lahan itu sebenarnya tidak hanya terjadi di Mesuji.
Minggu lalu, pekerja PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II di Deli Serdang, Sumatera Utara, terlibat bentrokan dengan warga Namo Rube Julu, Kecamatan Kutalimbaru. Konflik itu terkait kepemilikan lahan perkebunan tebu Sei Semayang. Lima warga dan 17 pekerja PTPN II terluka dan dilarikan ke rumah sakit.
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan, sampai 2011 terdapat 14.337 sengketa pertanahan dengan berbagai tingkatan. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum juga mencatat, pada September 2009-April 2011 ada 910 perkara sengketa tanah yang dilaporkan.
Sengketa lahan yang setiap saat bisa meledak menjadi aksi kekerasan dan anarkisme, bahkan gangguan sosial, terjadi di hampir seluruh Indonesia. Di Sumut saja, dalam kurun 2005-2011 terjadi 2.833 kasus konflik lahan. Data dari Polda Sumut menunjukkan, konflik lahan terjadi hampir merata di wilayah provinsi itu.
Konflik karena persoalan lahan sering terjadi di Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Simalungun, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, dan Mandailing Natal. Konflik itu biasanya terjadi antara warga dan perambah dengan PTPN dan perusahaan perkebunan swasta. Konflik yang mencuat berupa perusakan, pembakaran fasilitas perusahaan dan rumah, serta pembunuhan.
Di Kalimantan Barat, menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalbar, konflik akibat sengketa lahan terjadi di hampir semua kabupaten di provinsi itu. Konflik itu antara lain terjadi di Bengkayang, Sintang, Ketapang, Sanggau, Kapuas Hulu, Landak, Kubu Raya, dan Sambas. Konflik umumnya terjadi karena penduduk merasa lahan yang mereka miliki secara turun-temurun diambil alih perusahaan untuk kebun kelapa sawit.
Konflik misalnya terjadi di Desa Seruat Dua, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, yang melibatkan warga dan PT Sintang Raya (SR). Masyarakat mengklaim, hutan adat seluas 700 hektar dari total 900 hektar diserobot PT SR. Hutan adat yang bersebelahan dengan kawasan kelola PT SR kini sudah gundul dan ditanami bibit kelapa sawit. Namun, Manajer PT SR Jhony membantah, pihaknya menyerobot hutan adat milik desa itu.
Dari Jawa Timur, Kepala BPN Kabupaten Jember Raharjo Sanyoto mengakui, sampai saat ini masih ada enam lahan hak guna usaha (HGU) yang dikuasai perusahaan swasta, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah yang bersengketa dengan warga. Banyak warga tak punya bukti kuat untuk penguasaan lahan HGU itu. Mereka mengaku bukti itu dimusnahkan pemerintah Hindia Belanda atau pemerintah Orde Baru.
Sengketa lahan di Jember diwarnai penangkapan warga oleh Polres Jember. Lima warga ditahan karena dituduh merusak pohon karet milik PT Hasfarm. Warga sebelumnya memaksa merebut lahan PT Hasfarm seluas 397 hektar, tetapi berbenturan dengan aparat.
Di Sumatera Selatan, warga juga menuntut lahan yang dikuasai PTPN VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir. Bahkan, aksi menuntut lahan itu, dengan melakukan pendudukan, pematokan lahan, hingga penutupan jalan perkebunan, dilakukan oleh warga dari 13 desa. Akibatnya, kata Kepala Bagian Humas PTPN VII Abdul Hamid, pabrik gula Cinta Manis berhenti giling dan merugi Rp 15,52 miliar.
Di Sumsel terdapat sekitar 30 sengketa lahan yang belum selesai. Ade Kurnia, Kepala Desa Karanganyar, Kecamatan Lawang Wetan, Kabupaten Banyuasin, misalnya, mengatakan konflik lahan di wilayahnya sudah lebih dari lima tahun belum selesai. Pemerintah tidak tegas. Warga desanya berebut lahan dengan PT Guthrie Pecconina Indonesia yang mengembangkan perkebunan kelapa sawit.
Meledak kapan pun
Bungaran Antonius Simanjuntak, antropolog dari Universitas Negeri Medan, mengingatkan, konflik antarwarga akibat sengketa lahan bisa meledak kapan saja. Konflik terjadi lantaran pemerintah dinilai tidak tegas dan cenderung membela pengusaha atau badan usaha. Rakyat dibiarkan tertindas.
Padahal, kata Bungaran, sebelum ada administrasi modern seperti sekarang, semua tanah itu milik rakyat. Mereka menandai batas tanahnya dengan menanam pohon atau kuburan. Lahan itu pada masa lalu direbut pemerintah dan diserahkan kepada pengusaha atau badan usaha.
Untuk itu, ia mengimbau agar pemerintah menelusuri sejarah setiap lahan yang menjadi pemicu konflik. Pendekatan jangan melulu administrasi karena banyak yang tidak jelas dan tumpang tindih.
Aktivis pertanahan Benget Silitonga mengatakan, konflik lahan tak akan selesai dengan damai jika pemerintah tetap mengedepankan sikap formal dan represif. Pemerintah perlu menginisiasi musyawarah di luar jalur hukum.
(AHA/BIL/HAM/IRE/UTI/MHF/RAZ/HAN/SIR/JON)