Minggu, 05 Februari 2012

Exclusive: Indonesia to set up $5.6 billion plantation firm

By Janeman Latul and Fathiya Dahrul

JAKARTA | Thu Feb 2, 2012 6:24am EST

(Reuters) - Indonesia's government plans to create one of the world's
largest palm oil and rubber firms in March by combining state planters
with total assets of $5.6 billion, a government minister told Reuters on
Thursday.

A planned listing of the firm will tap investor interest in a country
with a recently acquired "investment grade" rating and create a rival to
top regional planters such as Malaysia's Sime Darby and Singapore's Wilmar.

The government will consolidate the assets of 15 state firms, whose
revenues last year stood at around 40 trillion rupiah ($4.45 billion),
under parent company PT Perkebunan Nusantara III.

"This holding will become one of the largest plantation firms in the
world with one million hectares of palm oil and rubber," State
Enterprises Minister Dahlan Iskan said in an interview.

The sprawling archipelago of 17,000 islands is the world's biggest
exporter of palm oil, second biggest producer of rubber and robusta
coffee and third biggest producer of cocoa . The state firms produce all
these commodities as well as tea, rice, cassava and sugar.

Analysts said the consolidation of the state firms would produce some
economies of scale but would not have a dramatic impact on commodity supply.

"They have been producing. It is not new supply coming into the market.
This is just a rationalization of government linked assets," said Carey
Wong, an analyst with OCBC Bank in Singapore.

The last mega-plantation merger was in 2008 when Malaysia's government
pushed for the tie-up of three state-linked planters to form Sime Darby,
which it touted as the largest plantation firm by assets.

BORNEO RICE BOWL

Indonesian state plantation firms will combine to produce an extra
500,000 tonnes of rice from planting 100,000 hectares of new paddy
fields in east Kalimantan on Borneo island, Iskan said, without giving a
timeframe for the production.

Indonesia <http://www.reuters.com/places/indonesia>, the world's fourth
largest country by population, is trying to become self-sufficient in
production of its staple grain. But it surprised regional markets last
year with hefty imports from Thailand and Vietnam. Expanding paddies
could help its aim not to import again this year.

"I expect Indonesia could produce an additional 280,000-300,000 tonnes
of paddy from the newly planted areas of 100,000 hectares," said
Chookiat Ophaswongse, the honorary president of the Thai Rice Exporters
Association.

Plantation firms have been restricted this year from expanding in
forested areas such as Borneo by Indonesia's two-year moratorium on new
forest clearance and land acquisition is in any case seen as a hurdle in
a country known for red tape.

Indonesia in December passed a land bill designed to speed up land
acquisition for state projects deemed in the public interest and the law
could enable the new firm to get access to land for rice.

TOP LANDBANK

Iskan said the combined profits of the firms to be amalgamated were
around 3.6 trillion rupiah. The government plans to first list one of
the firms, PT Perkebunan Nusantara VII, as a unit of the holding firm
this year on Jakarta's stock exchange.

" After PTPN VII, we're open for other units to list on the stock
exchange but eventually we will list the parent company and I don't
think we should retain a majority stake once it is listed," Iskan said.

The combined palm oil and rubber landbank of the holding company
Perkebunan Nusantara III will be bigger than that of the main existing
listed regional planters. Sime Darby currently tops the list with
525,795 hectares for palm oil and has a market value of $18.2 billion.

Analysts said the new Indonesian merger's hefty landbank would pull in
investors.

"It is massive. They are talking about a million hectares. That would be
massive. I'm sure the stock market will be very excited," said John
Rachmat, a palm oil analyst at the Royal Bank of Scotland in Singapore.
source: http://www.reuters.com/article/2012/02/02/us-indonesia-plantation-idUSTRE8110QC20120202

Peta Navigasi Studi Agraria

Sketsa Perkembangan Reforma Agraria dan Studi Agraria: Sekelumit "Peta Navigasi"

by Shohib Sifatar on Wednesday, 1 February 2012 at 18:17
Oleh: Mohamad Shohibuddin


Pengantar

Peta navigasi ternyata diperlukan bukan hanya untuk penerbangan pesawat di udara, namun juga untuk perdebatan reforma agraria.

Banyak diskusi mengenai reforma agraria di tanah air, dalam kesan saya, kerap tidak jelas arahnya karena mereka yang berdebat sering membayangkan "titik koordinat" berbeda saat sama-sama berbicara reforma agraria. Hal ini tak ubahnya seperti berdebat pada "arah mata angin" yang sama tetapi dengan "level ketinggian" yang berbeda, atau dengan "level ketinggian" yang sama namun "arah mata angin"-nya berbeda. Akibatnya diskusi tidak berjalan produktif dan mencerahkan, dalam arti dapat mengantarkan pesertanya pada pemahaman yang lebih baik mengenai masalah reforma agraria—terlepas apapun sikap yang diambil masing-masing setelahnya.

Salah satu contoh "ketiadaan navigasi" itu tercermin pada sikap “setengah curiga” dari sebagian kalangan pejuang reforma agraria terhadap studi kritis agraria. Daripada melihatnya sebagai "mitra tanding" untuk mengembangkan praktik reforma agraria yang lebih baik, studi kritis semacam itu terkadang lebih dianggap sesuatu yang melemahkan perjuangan reforma agraria sendiri. Contoh kecilnya tampak antara lain dalam “debat lama” antara apakah yang mesti diutamakan adalah mengupayakan kepastian penguasaan tanah yang sudah diduduki rakyat ataukah mempedulikan pula kecenderungan diferensiasi agraria dan elitisme yang mulai tampak di antara mereka. Begitu juga, antara devolusi penguasaan hutan dengan kecenderungan diferensiasi manfaat di antara anggota komunitas yang menjadi penerima devolusi tersebut. Sikap yang kurang lebih sama, namun dengan alasan yang sama sekali berbeda, juga sering dikemukakan oleh para birokrat agraria.

Dalam kutub berlawanan, terdapat kalangan yang cenderung skeptis terhadap reforma agraria ini dan kerap mengkritisinya dengan cara yang amat simplistis. Hal ini tampak misalnya dalam kecenderungan mendikotomikan reforma agraria dengan isu ekologi, bahwa land reform niscaya akan menimbulkan masalah lingkungan di tengah pertumbuhan populasi yang terus menanjak tinggi. Begitu pula, ia tampak dalam berbagai pandangan yang mereproduksi skeptisisme lama bahwa land reform kepada petani miskin justru tidak akan produktif, dan tanah itu dengan mudah akan dijual lagi oleh si petani karena usahatani demikian memang tidak memenuhi skala ekonomi yang menguntungkan.[1] Kritisisme yang terlampau simplistis ini dilontarkan dengan mudah seolah apa yang disebut sebagai reforma agraria itu bersifat tunggal dan tidak bernuansa. Padahal, diskursus dan praktik mengenai reforma agraria ini sangatlah dinamis, dan dalam perkembangannya telah melahirkan banyak keragaman dan variasi.

Akibatnya, dalam kedua kasus di atas, apa yang sering terjadi adalah situasi yang suka saya istilahkan sebagai "sindrom teh botol ●●●●●". Seperti kita tahu, pesan utama iklan ini adalah: "Apapun makanannya, teh botol ●●●●● minumannya." Mengambil perumpamaan iklan ini, saya khawatir, bagi para pendukung fanatik reforma agraria, yang terjadi adalah: "Apapun masalahnya, reforma agraria jawabannya!" Sebaliknya, bagi mereka yang cenderung menentangnya, hal sebaliknya yang terjadi, yakni: "Apapun bentuk reforma agrarianya, hanya permasalahan yang ditimbulkannya!"[2] Kedua posisi semacam ini jelas tidak bisa mendukung berjalannya diskusi dan debat yang produktif.
lebih lengkap silahkan klik link berikut ini:
https://www.facebook.com/notes/shohib-sifatar/sketsa-perkembangan-reforma-agraria-dan-studi-agraria-sekelumit-peta-navigasi/10150638152051224?ref=notif&notif_t=comment_mention