Senin, 16 Januari 2012

Standar Berkeadilan untuk Buruh Sawit

BURUH di perkebunan sawit ibarat tiang utama penyangga keberlanjutan proses industrialisasi komoditi unggulan Indonesia ini. Tetapi, dalam rantai industri ini, buruh adalah pihak yang paling tidak mendapat tempat, baik di level domestik, maupun di level para pemangku lintas negara. Satu setengah juta jiwa buruh di kebun skala besar milik swasta dan pemerintah di Indonesia, tidak jelas hak-hak normatifnya.
 
Perempuan dan tandan sawit(fhoto:king)
Butuh Perlakuan Khusus
Perkebunan sawit berada puluhan kilometer dari jangkauan akses-akses publik. Kekhususan karakter pekerjaan di perkebunan sawit, seperti pekerjaan berisiko tinggi, jauh dari pemantauan publik, sulitnya akses informasi, pendidikan, dan kesehatan ke pedalaman-pedalaman dimana perkebunan perkebunan menempatkan pekerjanya, membuat perlunya sistem khusus yang menjamin buruh memperoleh hak hak dasarnya.

Belum ada pihak yang peduli dengan kebutuhan khusus yang dibutuhkan oleh buruh perkebunan ini. Di level nasional, belum ada pembicaraan publik, apalagi kebijakan khusus untuk mengakomodasi kepentingan khusus buruh perkebunan ini. Institusi inisiatif swasta semacam BKS-PPS (Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera), juga belum berkeadilan dalam menetapkan upah, yang di beberapa kabupaten, justru lebih rendah dari upah yang ditetapkan pemerintah.

Sementara inisiatif di level multi pihak lintas negara semacam RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), tidak ada arah pembicaraan mengenai buruh perkebunan sawit, hingga pertemuannya yang ke 9, yang telah berakhir kemarin, November 2011, di Sabah Malaysia. Sangat disayangkan, pertemuan multipihak yang mengaku mempertemukan semua stakeholder sawit ini, justru melupakan buruh, tiang utama dari rantai industri itu sendiri.

Praktek Perburuhan
Akhir bulan  November 2011 diramaikan dengan berita  di berbagai media tentang praktek buruh anak di perkebunan sawit skala besar di Indonesia. Berita ini berawal dari publikasi hasil riset beberapa lembaga non pemerintah di Indonesia, seperti Kelompok Pelita Sejahtera, Lentera Rakyat dan Sawit Watch, yang menunjukkan berbagai temuan miris tentang sistem perburuhan di perkebunan sawit. Utamanya, temuan itu menyampaikan bahwa ada upaya sistematis pengaburan status buruh, yang berdampak buruh perkebunan tidak punya daya tawar dalam mengakses hak-hak normatifnya sebagai buruh.

Pernyataan GAPKI (Jakarta Post, 26 November 2011), bahwa secara legal tidak ada buruh anak di perkebunan sawit, tidak keliru sama sekali. Penelitian yang berjudul "Berjuta-juta dari Kebon Sawit" itu juga tidak menyebutkan ada legalitas buruh anak di perkebunan sawit. Bahkan, penelitian yang sama menyebutkan, bukan hanya anak-anak dan perempuan, tetapi buruh harian lepas, hingga karyawan tetap yang dikenal sebagai SKU, ditemukan tidak memiliki administrasi yang jelas-legalitasnya- di perkebunan PSB. Oleh karena itu, akar persoalannya adalah ketidak-jelasan hubungan kerja yang diciptakan sedemikian rupa, sehingga buruh tidak bisa mengakses haknya.

Jika Anda menanyakan kepada seorang karyawan tetap, apa yang membuktikan Anda sebagai karyawan tetap di perkebunan ini? Dia akan bingung, karena tidak memiliki bukti apa-apa, kecuali slip gaji setiap bulan. Tetapi, faktual, dia bekerja sehari-hari di perkebunan, dan disebut sebagai karyawan tetap. Selain itu, orang-orang sekitarnya, termasuk mandor, menyebut dia-tentunya dengan lisan-bahwa dia seorang karyawan tetap.

Akhirnya, bargaining posisi buruh menjadi sangat lemah. Sedikit protes, bisa berbuah dimutasi, atau bahkan di PHK. Seperti yang terjadi kepada 8 orang karyawan tetap PTPN III di Kebun Marbo Selatan, Labuhanbatu, pada bulan Februari-Maret 2011 yang lalu. Perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha merupakan sebuah pra-syarat utama bagi seorang buruh untuk bisa mengakses haknya.

Sekali lagi, persoalannya, adalah soal apa yang yang dimaksud dengan buruh atau pekerja. Jika yang dimaksud dengan buruh adalah orang orang yang terdaftar di perkebunan sawit , pernyataan GAPKI di atas benar. Tetapi jika buruh adalah orang orang yang bekerja (faktual) setiap hari kerja di perkebunan sawit, baik tercatat maupun tidak tercatat, maka GAPKI keliru. 

Buruh atau pekerja menurut Undang Undang (UU) Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003, pasal 1 ayat 3, dinyatakan bahwa buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jumlah buruh di perkebunan BUMN dan swasta skala besar, atau dalam riset itu disebut sebagai PSB, sulit didapatkan secara persis. Jumlah pekerja di perkebunan BUMN atau PTPN lebih banyak dari jumlah pekerja di perkebunan swasta.

Dari segi luas, di perkebunan skala besar, satu estate ( di beberapa tempat di sebut "divisi") terdiri dari 600 hektar hingga 1.000 hektar, dengan pekerja SKU dan BHL sebanyak 250 hingga 300 orang, belum termasuk kernet. Jika luas perkebunan PSB (PTPN dan Swasta) secara nasional seluas 4 juta hektar, maka dapat diperkirakan jumlah pekerja SKU dan BHL adalah sebanyak 1,2 juta orang, belum termasuk kernet. Setiap buruh, diperkirakan memiliki setidaknya satu orang kernet, sehingga jumlah total jumlah minimal buruh di PSB adalah sebanyak 2,4 juta orang di seluruh Indonesia. 

Pekerja anak terdapat dalam klasifikasi BHL dan kernet yang tidak terdokumentasi di perkebunan PSB. Jika hanya 50% saja dari kernet terdiri dari anak-anak, maka jumlah buruh anak secara nasional minimal sebanyak 600.000 orang. Jika dihitung seluruh perkebunan sawit baik PSB maupun non korporasi dan petani, maka pekerja anak akan mencapai angka jutaan orang.

Buruh Tidak Dilibatkan
General Assembly ke sembilan RSPO Borneo yang berlangsung akhir November 2011 ini telah berakhir. Memprihatinkan, karena tidak ada pembicaraan mengenai nasib dan situasi buruh perkebunan sawit. Apalagi pelibatan mereka dalam membicarakan masa depan dan keberlanjutan industri ini secara global. Buruh selayaknya terlibat dalam membicarakan masa depan mereka sendiri, di organisasi RSPO yang mengklaim representasi stakeholder rantai industri sawit.

Pertemuan menghabiskan waktu membicarakan penyerapan minyak sawit bersertifikasi yang tidak maksimal di Eropah, serta melihat kemungkinan penjualan sawit bersertifikasi di Cina dan India, dua negara konsumen terbesar sawit di dunia. Industri sawit mengeluhkan, dari 1 juta ton sawit bersertifikasi, ternyata Eropah hanya mampu menyerap setengahnya dengan harga premium. Sisanya, tetap dengan harga normal.

Pasca rampungnya pembicaraan mengenai pemilik sawit skala kecil-non korporasi, seyogyanya pembicaraan mengarah pada pelibatan buruh, sebagai aktor dan tiang penyangga keberlangsungan industri sawit. RSPO telah merampungkan capaian penting mengenai petani skala kecil, seperti proses sertifikasi gratis.

Publik menunggu adanya arah baru wacana dan kebijakan kepada buruh perkebunan sawit, baik di level domestik, maupun internasional. Para pengambil keputusan penting memulai gagasan untuk dibangunnya sebuah guideline, kerangka kerja tentang standar-standar buruh yang ideal dan berkeadilan di perkebunan sawit. (Saurlin Siagian)

Penulis adalah peneliti, Sekretaris Lembaga Penelitian, Universitas Darma Agung, tinggal di Medan. Penulis dapat dihubungi via saurlin@gmail.com 
source:  http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/12/24/73148/standar_berkeadilan_untuk_buruh_sawit/#.TxTbCIEa5Ak