Kamis, 30 Juli 2009

IMPLIKASI STRATEGIS MERGER PERUSAHAAN KELAPA SAWIT MALAYSIA

Policy Brief:
IMPLIKASI STRATEGIS MERGER PERUSAHAAN KELAPA SAWIT MALAYSIA
oleh: Bambang Dradjat
* Peneliti Senior di Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI)

Pendahuluan

Pada akhir tahun 2006, dunia usaha kelapa sawit diramaikan dengan adanya merger perusahaan-perusahaan Malaysia yang core business nya perkebunan, pengolahan dan perdagangan minyak sawit dan produk turunannya. Perusahaan-perusahaan tersebut berbasis di Malaysia dan Singapura dengan jaringan usaha yang dimilki sampai Cina , India , Indonesia , Eropa Timur (Ukraina) dan Afrika.
Memperhatikan merger perusahaan-perusahaan berbasis kelapa sawit Malaysia tersebut, beberapa praktisi perkebunan kelapa sawit di Indonesia, terutama dari kalangan PTPN ingin tahu apa konsekuensi logis dan implikasi strategis bagi dunia usaha kelapa sawit Indonesia, terutama di pasar internasional.
Policy Brief ini mencoba mengangkat beberapa hal tentang merger perusahaan-perusahaan berbasis kelapa sawit Malaysia, seperti pelaku merger, rasionalitas merger, kebijakan pemerintah Malaysia, dan konsekuensi logis yang mungkin terjadi. Hal yang tak kalah penting adalah implikasi strategis bagi Indonesia , baik dari sisi pemerintah maupun dunia usaha.
Pelaku Merger: Perusahaan Perkebunan, Pengolahan dan Distribusi Produk Berbasis Kelapa Sawit dan Biji-bijian

Pada akhir bulan November 2006, perusahaan perkebunan Sime Darby Bhd, Kumpulan Guthrie Bhd dan Golden Hope Plantation Bhd melakukan merger dan diambil alih oleh Synergy Drive Bhd. Nilai kapitalisasi perusahaan baru diperkirakan RM 31 miliar.
Pada pertengahan bulan Desember 2006, merger dilakukan antara Grup Wilmar International Ltd sebagai perusahaan dagang yang beroperasi di Singapura dengan Grup Kuok sebagai perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perusahaan dalam Grup Wilmar yang dimerger adalah Wilmar Holding Pte Ltd (WHPL) dan Archer Daniels Midland Asia (ADM). Sedangkan perusahaan dalam Grup Kuok yang dimerger adalah PPB Oil Palm Berhard (PPBOP) PGEO Group Sdn Bhd dan Kuok Oils and Grains Pte Ltd. Nilai kapitalisasi perusahaan baru diperkirakan US$ 7 miliar (RM 25 miliar).
Khusus untuk perusahaan merger antara Wilmar dan Kuok, perusahaan-perusahaan pendukungnya beroperasi di (i) Cina, India, Ukraina dan Afrika untuk usaha pengolahan, branding dan distribusi minyak (WHPL dan ADM), (ii) Malaysia dan Indonesia untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan pengolahan CPO (PPB Oil), Malaysia untuk usaha pemurnian edible oils dengan 90% hasilnya diekspor ke Cina, Uni Eropa, India, Korea Selatan, Jepang dan AS (PGEO), dan (iii) Cina, Malaysia, Indonesia , Vietnam, Selandia Baru, Belanda dan Jerman untuk usaha pengolahan minyak nabati dan produk biji-bijian (KOG).
Perusahaan merger akan memiliki 33 pabrik pemurnian dengan kapasitas 10 juta ton per tahun. Pabrik biodesel akan dibangun Dengan kapasitas 1,15 juta ton per tahun. Luas areal perkebunan yang dikuasai meliputi 573.405 ha dengan luas pertanaman kelapa sawit 160.786 ha.
Alasan-alasan Merger yang dikemukakan Mr. Kuok (Chairman and CEO of Wilmar)

Dengan merger, Wilmar akan mempunyai kemampuan yang sangat kuat dalam pengolahan dan pemasaran lebih lanjut untuk minyak sawit di Indonesia dan Malaysia . Selanjutnya Wilmar akan mempunyai kekuatan untuk menjadi salah satu pemimpin global dalam pengolahan dan pemasaran minyak sawit dan memperkuat kemampuan untuk bertahan terhadap goncangan. Minyak sawit akan menjadi komoditas global ke depan dengan adanya perluasan areal.
Dengan perkembangan harga minyak sawit yang menguntungkan ke depan karena pertumbuhan permintaan makanan dan energi, Wilmar akan memperluas areal perkebunan. Penambahan kekuatan dan keahlian dari PPBOP akan memungkinkan perluasan areal lebih agresif untuk menjadi pemilik perkebunan terbesar ke depan.
Di Cina, Wilmar akan beroperasi pada berbagai macam komoditas dengan keterlibatan kuat di pengolahan minyak biji-bijian, pemurnian edible oils , produksi oleokimia dan lemak spesial, dan perdagangan barang-barang konsumsi. Dengan strategi menggandeng ADM, Wilmar akan menjadi pengolah dan pedagang yang dominan untuk produk-produk pertanian di Cina.
Merger adalah strategi yang tepat dan akan menghasilkan sinergi dan manfaat yang mendasar dalam sumber bahan baku , produksi, logistik dan perdagangan untuk perusahaan merger. Perusahaan merger akan menjadi lebih berdaya saing di bisnis minyak bukan minyak sawit dan biji-bijian.
Kebijakan Pemerintah Malaysia

Deputy Prime Minister : Malaysia telah menjadi produsen pertama minyak sawit, sekarang Malaysia bertujuan menjadi produsen biodiesel terbesar di dunia. Semua upaya akan dilakukan oleh Pemerintah untuk mempromosikan pengembangan biodiesel di Malaysia untuk mencapai negara produsen biodiesel terbesar di dunia.
Kebijakan di atas terutama ditujukan untuk mengurangi biaya impor minyak bumi, meningkatkan permintaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel, dan meningkatkan harga minyak sawit terutama pada saat permintaan ekspor minyak sawit melemah.
Beberapa dasar kebijakan di atas adalah (i) permintaan biodiesel akan meningkat terus seiring dengan naiknya harga dan akan tetap tinggi dari harga minyak bumi, (ii) kesadaran lingkungan terhadap polusi udara yang berasal dari penggunaan bahan bakar minyak bumi, (iii) pemenuhan kebutuhan biodiesel di Eropa hanya 1/6 sehingga terdapat potensi pasar yang besar, dan (iv) penduduk pedesaan yang bekerja di perkebunan akan memperoleh manfaat dari naiknya harga minyak sawit.
Merger sesuai dengan tujuan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan peran sektor pertanian, dalam hal ini perkebunan, dalam perekonomian dan menciptakan perusahaan besar yang mampu berkompetisi secara global.
Konsekuensi Logis Merger

Sektor perkebunan Malaysia mulai saat ini sedang menuju konsolidasi untuk memperbaiki efisiensi dari perkebunannya. Perusahaan merger perkebunan Malaysia ingin meraih keuntungan dari skala ekonomi. Logika yang digunakan adalah lebih besar lebih baik untuk perkebunan. Merger antara Wilmar dan Kuok mungkin menjadi tanda bagi seluruh industri untuk mengikuti langkah merger.
Indikasi tentang langkah merger untuk perusahaan lain mulai kelihatan. IOI Corporation Bhd kemudian membuka kesempatan untuk dibeli jika ada kesempatan untuk menjual. Beberapa perusahaan lain diperkirakan akan melakukan merger dan akuisisi pada tahun 2007 karena permintaan global untuk minyak sawit meningkat dan pergerakan ini dapat menjadi ajang untuk memperkuat posisi dan pemasarannya di pasar global.
Bagi Malaysia, merger dan akuisisi oleh perusahaan-perusahaan Malaysia yang melibatkan industri perkebunan merupakan sesuatu yang dianggap positif. Perusahaan-perusahaan yang terlibat akan mempunyai keuntungan karena mereka dapat mempengaruhi harga minyak sawit karena mereka menjadi mempunyai kekuatan untuk mengontrol supply . Merger juga akan memberikan keuntungan dan keterbukaan yang dibutuhkan perusahaan untuk menarik investasi asing.
Synergi Drive dan Wilmar akan memburu perluasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Indonesia tetap sebagai pengolah CPO saja, tidak sampai pemurnian CPO ataupun mengolah CPO menjadi biodiesel. Nilai investasi Malaysia di perkebunan kelapa sawit di Indonesia hingga April 2006 diperkirakan Rp. 3,2 triliun dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit sekitar 800.000 ha atau 14,5% dari luas perkebunan kelapa sawit Indonesia.
Perubahan perilaku perusahaan kelapa sawit Malaysia tersebut menimbulkan beberapa risiko yang dihadapi Indonesia. Dengan catatan tidak ada perubahan perilaku perusahaan perkebunan Indonesia, posisi Indonesia di pasar internasional secara permanen dijadikan sebagai follower Malaysia dan secara sistematis diarahkan sebagai pengekspor CPO atau penyedia bahan baku biodiesel.
Risiko lain yang mungkin dialami adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta yang mengalami kesulitan, terutama perusahaan inti akan diincar untuk diakuisisi. Akuisisi perusahaan inti (swasta) ini secara tidak langsung merupakan salah satu jalan untuk menguasai perkebunan rakyat (plasma). Seperti diketahui, sebagian perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah perkebunan rakyat, baik sebagai plasma dalam PIR maupun non-plasma. Dengan akuisisi ini sedikit banyak akan mempengaruhi perkebunan rakyat.
Implikasi Strategis dan Kebijakan

Dengan adanya perubahan perilaku perusahaan-perusahaan perkebunan Malaysia di atas (baca : dari hulu ke hilir dalam satu korporat), Indonesia (pemerintah dan perusahaan perkebunan kelapa sawit) harus mengambil sikap. Sikap ini didasarkan pada kemungkinan posisi yang akan diambil Indonesia (implikasi strategis dalam posisi adalah follower atau rivalry ). Beberapa implikasi kebijakan dimaksud adalah :

Sebagai follower , implikasi kebijakan yang dapat ditarik adalah Aliansi strategis . Kebijakan ini berada di tataran pemerintah (G to G) dengan arah ekspansi produksi dan pemasaran minyak sawit dan hasil produksi berbasis minyak sawit. Tujuannya untuk mengisi kebutuhan dunia untuk kedua produk, terutama untuk melayani kebutuhan dunia akan biodiesel. Dengan aliansi strategis ini berarti kedua negara secara bersama dapat menghadapi hambatan-hambatan perdagangan dan memperluas jaringan pemasaran hasil-hasil sawit ke pasar internasional. Ada dua kemungkinan implementasi aliansi strategis ini (i) perusahaan Malaysia dengan kekuatan modal dan kemampuan teknis akan mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dimana ketersediaan lahan dan tenaga kerja memadai dan (ii) perusahaan Malaysia melakukan akuisisi (kemungkinan merger lebih kecil) perusahaan sejenis di Indonesia.
Sebagai rival , implikasi kebijakan yang dapat ditarik adalah merger perusahaan-perusahaan berbasis kelapa sawit Indonesia . Policy design yang sudah ada, yaitu PTPN membentuk Holding Company, dapat dikatakan sudah berada pada the right track . Kebijakan ini mengandung arti bahwa Indonesia mendorong PTPN menjadi rival bagi perusahaan merger Malaysia dalam mengontrol supply CPO dan biodiesel. Sebagai catatan untuk kebijakan ini, aspek selain aspek ekonomi harus diperhatikan. Masalah sosial budaya perusahaan dan pengembangan jaringan pemasaran harus menjadi perhatian utama. Merger perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta juga diperlukan untuk memperkuat posisi Indonesia di pasar internasional untuk minyak sawit dan produk-produk berbasis minyak sawit terutama biodiesel.
Masih dalam kontek rivalitas, implikasi kebijakan yang dapat ditarik adalah pemerintah Indonesia mendorong pengembangan industri hilir berbasis minyak sawit . Kebijakan ini berlaku bagi perusahaan nasional maupun perusahaan Malaysia yang beroperasi di Indonesia. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan perolehan manfaat kenaikan nilai tambah dari minyak sawit ke produk-produk lain, terutama biodiesel. Khusus untuk perusahaan Malaysia yang ada di Indonesia, kebijakan ini perlu dibarengi dengan pendekatan G to G. Dalam kaitan ini, pemerintah perlu menyiapkan insentif investasi (kemudahan-kemudahan, insentif fiskal, penyediaan dan pelayanan infrastruktur, dan lainnya) untuk pengembangan industri hilir.
Khusus untuk perkebunan rakyat, posisi rivalitas mengandung implikasi perlunya perlindungan dan pemihakan bagi perkebunan rakyat. Perlindungan dan pemihakan yang diperlukan bagi perkebunan rakyat diantaranya adalah penyediaan insentif investasi khsusus (kemudahan-kemudahan, insentif fiskal, penyediaan dan pelayanan infrastruktur, penyediaan subsidi pupuk dan lainnya) untuk peremajaan kebun plasma dan pembangunan pabrik pengolahan CPO dan biodiesel milik rakyat.

RSPO hanya Ulur konflik

Monday, 27 July 2009 16:32

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Julian
Junaidi Polong, menilai keberadaan Sertifikasi RSPO (Roundtable on
Sustainable Palm Oil) hanya akan mengulur konflik yang terjadi pada
perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Palembang, 27/7 (Antara/FINROLL News) - Dosen Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Julian Junaidi Polong, menilai
keberadaan Sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) hanya
akan mengulur konflik yang terjadi pada perkebunan kelapa sawit di
Indonesia.

"Konflik yang semula sempat menaik grafiknya akan kembali menurun,
menyusul adanya ketentuan Sertifikasi RSPO itu," kata JJ Polong, dalam
diskusi terbatas yang diselenggarakan Lembaga Kantor Berita Nasional
(LKBN) ANTARA Biro Sumsel bekerjasama dengan Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) Sumsel, dan diikuti kalangan media massa (wartawan),
unsur dinas dan instansi pemerintah Provinsi Sumsel, akademisi, LSM/NGO,
di Kantor LKBN ANTARA Sumsel.

Diskusi ini bertemakan "Menyibak Sekenario di balik Sertifikat RSPO", dan
terfokus membahas pro dan kontra pengembangan perkebunan sawit atau
"sawitisasi" di Sumatra maupun Sumsel khususnya.

"Bila biaya lingkungan yang semakin tinggi dan manfaat lingkungan semakin
menurun bertemu dalam satu titik, maka hampir pasti akan terjadi konflik
lingkungan. Keberadaan RSPO hanya akan mengulur waktu agar konflik
lingkungan ini tidak cepat terjadi," kata Polong yang juga pernah dikenal
sebagai aktivis pembela hak petani di Sumsel itu pula.

Ia menyatakan, keberadaan Sertifikat RSPO merupakan standard pengelolaan
perkebunan sawit yang sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan hidup
secara berkelanjutan (minyak sawit lestari).

Penerapan Sertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) itu, telah
disepakati pada Konferensi Minyak Sawit Lestari akhir tahun 2002.

Sesuai dengan ketentuan sertifikasi itu, minyak sawit (CPO) yang
dihasilkan benar-benar harus memenuhi delapan prinsip dan tiga kriteria
yang dipersyaratkan, seperti tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan
tidak terlibat dalam konflik sosial dengan masyarakat di sekitar
perkebunan sawit itu, kata dia pula.

Namun, lanjut JJ Polong lagi, dalam pelaksanaan di lapangan, penerapan
sertifikasi tersebut dilaporkan masih banyak menimbulkan sejumlah
persoalan bagi lingkungan maupun masyarakat di dalamnya.

Ia memberikan ilustrasi berdasarkan pengalamannya yang pernah bermukim di
daerah perkebunan kelapa sawit di kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU).

"Sewaktu belum dibuka lahan perkebunan kelapa sawit di daerah itu, manfaat
lingkungan menjadi demikian tinggi, seperti masyarakat sekitar dapat
mengambil kayu bakar dan memanfaatkan hasil hutan lainnya secara leluasa,"
ujar dia.

Namun setelah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, manfaat lingkungan
menjadi menurun bagi masyarakat sekitarnya, dan berimbas dengan biaya
lingkungan menjadi tinggi karena banyak penggunaan zat-zat kimia pestisida
serta biaya lainnya, kata Polong lagi.

Dia menambahkan, keadaan ini akan berpengaruh signifikan kepada masyarakat
yang tidak dapat terintegrasi dalam industri agrobisnis modern ini,
seperti masyarakat yang tergusur akibat pembukaan lahan perkebunan ini.

"Artinya, konflik lingkungan yang terjadi di lahan perkebunan kelapa sawit
pasti akan terjadi walaupun sudah ada RSPO, karena RSPO hanya berfungsi
seperti mengulur waktu saja," kata Polong.

Karena itu, dia menyarankan agar fokus perhatian dari berbagai pihak dalam
kaitan penerapan Sertifikat RSPO itu adalah bagaimana menyeimbangkan
antara kepentingan kapitalis (pemilik modal, Red), masyarakat, dan
lingkungan yang masuk dalam siklus agrobisnis ini dan yang tidak.

Dialog kerjasama WALHI Sumsel dengan LKBN ANTARA Sumsel itu, menghadirkan
narasumber lain, yaitu Ketua Departemen Kampanye Sawit Watch Jefri Gideon
Saragih, Direktur Eksekutif WALHI Sumsel Anwar Sadat, Sekretaris Dinas
Perkebunan Sumsel Anung Riyanta, dan Staf Badan Lingkungan Hidup Sumsel
Muhammad Andhy. (T.PSO-039)

Rabu, 29 Juli 2009

RSPO Hanya untuk Menjaga Citra

Selasa, Juli 28, 2009
Palembang, Kompas - Sertifikat Roundtabel on Sustainable Palm Oil atau
Konferensi Minyak Sawit Berkelanjutan yang diberikan kepada perusahaan
kelapa sawit tidak menjamin perusahaan itu telah melaksanakan
prinsip-prinsip RSPO. Sertifikat RSPO hanya salah satu cara untuk
menimbulkan citra positif bagi perusahaan.

Demikian kesimpulan dalam diskusi yang bertema ”Menyibak Skenario di
Balik Sertifikasi RSPO” yang diselenggarakan Walhi Sumatera Selatan dan
kantor berita Antara, Senin (27/7) di Palembang.

Ketua Departemen Kampanye Sawit Watch, Jefri Gideon Saragih,
mengutarakan, ada empat perusahaan kelapa sawit di Indonesia yang telah
memiliki sertifikat Roundtabel on Sustainable Palm Oil (RSPO). Satu
perusahaan di Sumsel, dua perusahaan di Kalimantan Tengah, dan satu
perusahaan di Sumatera Utara.

Namun, kata Jefri, keempat perusahaan tersebut sebenarnya belum
melaksanakan delapan prinsip dan 39 kriteria RSPO.

”Masih banyak konflik antara perusahaan-perusahaan tersebut dengan
masyarakat. Sawit Watch menerima surat pengaduan dari masyarakat yang
berkonflik dengan perusahaan itu,” kata Jefri.

Jefri mengungkapkan, sertifikat RSPO pada akhirnya hanya untuk
kepentingan pasar. Perusahaan yang mengantongi sertifikat RSPO
seolah-olah sudah berhasil menghasilkan minyak kelapa sawit mentah (CPO)
tanpa konflik dengan masyarakat dan tanpa menimbulkan kerusakan pada
lingkungan.

Menurut Jefri, seharusnya ada sistem yang kuat untuk mengawasi
perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia.

Kepala Subbidang Pengendalian Pencemaran Badan Lingkungan Hidup Sumsel
Muhammad Andhy menuturkan, perusahaan kelapa sawit di Sumsel yang
memiliki sertifikat RSPO bukan yang terbaik dalam pengelolaan
lingkungan. Perusahaan tersebut masuk dalam kategori biru, belum masuk
kategori hijau yang berarti terbaik.

Andhy menuturkan, banyak perusahaan kelapa sawit di Sumsel yang tidak
menyampaikan laporan pengelolaan lingkungan. Padahal, keberadaan
perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan CPO menimbulkan dampak
lingkungan.

Menurut Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, RSPO memiliki kelemahan
karena sifatnya tidak mengikat perusahaan dan tidak ada konsekuensi bagi
perusahaan yang tidak memilikinya. RSPO juga tidak mempunyai otoritas
melakukan intervensi.

Sekretaris Dinas Perkebunan Sumsel Anung Riyanta mengungkapkan, Sumsel
memiliki 3,2 juta hektar lahan perkebunan, tetapi yang dimanfaatkan baru
2,03 juta hektar.

Menurut akademisi Unsri, Julian Junaedi, RSPO adalah strategi
memperlambat meletusnya konflik antara perusahaan perkebunan kelapa
sawit dan masyarakat.

Penangkapan

Jefri memaparkan, banyak perusahaan kelapa sawit yang masih berkonflik
dengan masyarakat terkait sengketa lahan. Rata-rata setiap tahun di
seluruh Indonesia ada 20 orang yang ditangkap polisi karena masalah
sengketa lahan dengan perusahaan kelapa sawit. Sejak Sawit Watch berdiri
tahun 2004 sampai tahun 2009, terdapat 576 kasus konflik lahan.

Menurut Jefri, masalah sengketa lahan muncul karena masyarakat tidak
mempunyai sertifikat tanah sehingga tidak bisa membuktikan kepemilikannya.

”Warga ditangkap ketika berunjuk rasa memasuki wilayah perusahaan,
mencabuti tanaman kelapa sawit, atau melakukan perusakan,” kata dia.